SIARAN PERS
Tes Covid-19 Indonesia, Minim dan Rentan Dikorupsi
JAKARTA – Tes Covid-19 di Indonesia masih jadi problem meski pandemi sudah berlangsung lebih dari setahun. Selain jumlahnya masih minim dan tidak merata, tes Covid-19 juga rentan dikorupsi dengan modus pemalsuan dan pemakaian alat tes bekas. Tanpa pengawasan ketat pemerintah, praktik buruk ini bakal berlanjut.
Pengungkapan penggunaan alat tes swab antigen bekas di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, menunjukkan lemahnya pengawasan tes Covid-19 di Indonesia. Ini hanyalah puncak gunung es dari masalah tes Covid-19 di Indonesia. Bisa jadi, modus yang sama juga dilakukan di bandara dan laboratorium lainnya, kata Amanda Tan, relawan LaporCovid19, Sabtu (1/5/2021).
Seperti diberitakan media sebelumnya, Polda Sumatera Utara menetapkan lima tersangka penggunaan alat tes usap antigen bekas pakai di Laboratorium Kimia Farma Bandara Kualanamu. Tersangka beraksi sejak Desember 2020 dengan perkiraan korban sekitar 30.000 orang. Mereka bahkan meraup Rp 1,8 miliar.
Sebelum itu, keluhan masyarakat tentang pemalsuan surat hasil tes PCR ataupun antigen juga sudah berulangkali terjadi. Salah satu yang terungkap, seperti di salah satu puskesmas di Mojokerto, Jawa Timur, baru-baru ini. Pemalsuan surat hasil tes juga sempat terjadi di Bandara Soekarno Hatta sejak November 2020 dengan melibatkan petugas laboratorium hingga agen perjalanan.
Selain membahayakan keselamatan masyarakat, buruknya pelaksanaan tes ini juga rentan dengan tindak korupsi dan kolusi. Sejauh ini, kita juga belum mendengar adanya validasi merek rapid antigen yang dipakai di Indonesia. Apakah memang sesuai dengan yang direkomendasikan WHO? ungkapnya.
Laporan investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama sejumlah media mengungkap banyaknya rumah sakit mengembalikan ratusan ribu alat tes Covid-19 kepada BNPB. Potensi kerugian negara diprediksi sekitar Rp 170 miliar dari pengadaan alat tes tersebut.
Permasalahan itu mulai dari kualitas reagen hingga VTM (viral transport medium) yang buruk. Ini menunjukkan rentannya korupsi pengadaan tes, yang bisa berdampak langsung bagi keselamatan publik. Aparat keamanan perlu memantau pelaksaan tes di berbagai bandara dan laboratorium, ujarnya.
Kondisi ini juga ironis dengan minimnya tes Covid-19 di Indonesia. Misalnya, laporan Kementerian Kesehatan pada 30 April 2021 menunjukkan, jumlah orang yang diperiksa dengan RT-PCR hanya 26.939 orang, TCM (tes cepat molekuler) 246 orang, dan antigen 24.479 orang.
Jumlah ini sangat tidak memadai. Apalagi untuk tes PCR yang memiliki tingkat kekuratan sangat tinggi. Mnimnya tes ini terlihat dari tingginya positivity rate di Indonesia, yang rata-rata masih di atas 10 persen atau dua kali lipat dari ambang batas aman yang disarankan WHO, yakni 5 persen.
Selain jumlah tes yang terbatas, cakupan tes Covid-19 di Indonesia juga belum merata. Jakarta masih mendominasi pemeriksaan. Pada 30 April, proporsi tes PCR yang dilakukan di Jakarta mencapai 36% persen dari seluruh tes secara nasional.
Masalah lainnya adalah, transparansi pelaporan jumlah dan hasil tes di tiap daerah yang buruk. Sejauh ini hanya Jakarta yang secara konsisten melaporkan jumlah tesnya secara harian ke publik. Padahal, publik berhak mengetahui informasi tes. Data itu juga jadi basis kebijakan pemerintah, lanjut Amanda.
Tim LaporCovid19 juga menerima keluhan warga terkait penggunaan tes antigen yang belum 100 persen akurat seperti metode PCR. Hasil tes antigen, misalnya, menyatakan negatif Covid-19, tetapi setelah tes PCR hasilnya menunjukkan positif Covid-19.
Ini gawat karena swab antigen banyak digunakan sebagai syarat perjalanan, rapat, dan seterusnya, ujar Amanda menirukan laporan warga tersebut.
Amanda mengingatkan, tes merupakan salah satu kunci pengendalian pandemi oleh pemerintah, selain pelacakan dan isolasi. Pihaknya mendesak pemerintah memperketat pengawasan terhadap tes Covid-19, menginformasikan data terbaru, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas tes. Tanpa upaya ini, penanganan pandemi di Indonesia akan berlarut-larut, menelan korban jiwa, dan berimplikasi pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat, ungkapnya.
Referensi