Siaran Pers Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan

Tolak RUU Kesehatan Omnibus Law Hasil Permufakatan Jahat Pemerintah Dengan DPR Yang Merampas Hak Rakyat Atas Kesehatan Dan Mengancam Keselamatan Rakyat Dan Kedaulatan Negara

 

Jakarta, 27 Juni 2023 — Pemerintah dan DPR bersepakat membawa RUU Kesehatan Omnibus Law ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang, meskipun banyak kelompok masyarakat meminta untuk menghentikan pembahasan RUU Kesehatan. Hal ini karena pembuatan RUU Kesehatan menyalahi mandat konstitusi dan UU Pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang mengharuskan adanya partisipasi publik bermakna dalam penyusunan dan pembahasan UU, dan substansi RUU berpotensi merampas hak rakyat atas layanan kesehatan. 

Terhadap kesepakatan Pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan menyatakan MENOLAK RUU Kesehatan Omnibus Law karena RUU tersebut merupakan hasil permufakatan jahat pemerintah dan DPR. RUU Kesehatan bukan hanya berpotensi merampas hak rakyat atas kesehatan, tetapi juga mengancam keselamatan rakyat dan kedaulatan negara. Penilaian kami ini didasarkan atas beberapa indikasi berikut. 

  1. Pemerintah dan DPR telah membuat RUU Kesehatan Omnibus Law dengan cara melanggar hukum dan Konstitusi. Pemerintah dan DPR membuat dan membahas RUU Kesehatan omnibus law dengan meniadakan partisipasi publik yang bermakna sebagaimana diamanatkan UU dan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUUXVIII/2020 terkait partisipasi publik bermakna. Pemerintah dan DPR hendak memaksakan pengesahan RUU, saat masyarakat masih mencari di mana naskah RUU terbaru dan karenanya belum mengetahui isinya. Naskah RUU terbaru sengaja disembunyikan dan dijauhkan dari jangkauan publik. Pemerintah dan DPR hanya menyajikan naskah RUU versi Februari yang menurut Pemerintah sendiri sudah kadaluwarsa. 

Ketika berbagai kelompok masyarakat menyampaikan kritik berdasarkan isi RUU versi kadaluwarsa, pemerintah meresponnya dengan menyatakan bahwa masyarakat tidak paham dan belum membaca naskah RUU terbaru yang sudah mengalami banyak perubahan. Bagaimana masyarakat bisa membaca, mengetahui, dan memahami isi dari naskah RUU terbaru jika pemerintah dan DPR menutup akses atas naskah RUU terbaru? Hingga RUU disepakati untuk disahkan, naskah terbaru RUU Kesehatan belum pernah dibuka untuk publik secara resmi oleh pemerintah dan DPR. Suara masyarakat agar pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU dan memperbaiki proses pembahasannya dengan melibatkan partisipasi segenap komponen masyarakat secara bermakna, sama sekali tidak didengarkan. 

  1. RUU Kesehatan OBL hanyalah cek kosong bagi rakyat. Dengan RUU Kesehatan OBL, Pemerintah dan DPR memberikan begitu banyak janji pada masyarakat untuk memprioritaskan anggaran kesehatan, menyediakan layanan kesehatan bagi semua warga di seluruh wilayah Indonesia sampai ke desa-desa, termasuk daerah 3T, meningkatkan akses warga atas layanan kesehatan berkualitas, mengatasi ketimpangan, dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan, termasuk kualitas sumberdaya manusianya,  fasilitas pendukungnya dan perbekalannya. Namun janji-janji yang dituangkan dalam RUU tersebut pada dasarnya adalah check kosong yang dibuat pemerintah dan DPR untuk masyarakat. Sebab, pada saat yang sama, pemerintah dan DPR juga bersepakat untuk menghapuskan ketentuan tentang alokasi anggaran minimal (mandatory spending) dalam RUU Kesehatan. Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik. Dengan dihapuskannya anggaran minimal untuk kesehatan, maka alokasi anggaran kesehatan diserahkan sepenuhnya penentuan besaran anggarannya ke pemerintah. Jadi anggaran kesehatan di APBN setiap tahunnya bisa berubah-ubah sesuai  dengan prioritas politik pemerintah. 

Penghapusan alokasi anggaran minimum untuk kesehatan oleh pemerintah dan DPR disertai dengan berbagai dalih sesat sebagai pembenaran, di antaranya: 

  • Mandatory spending tidak mengikuti kaidah penganggaran berbasis kinerja dan kaidah money follow program
  • Tidak sesuai dengan tahapan anggaran perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional
  • Terlalu banyak belanja yang bersifat mandatory mengakibatkan kapasitas APBN/APBD dan ruang fiskal menjadi sempit dan tidak fleksibel. 
  • Anggaran kesehatan merupakan kebutuhan dasar
  • Basis besaran persentase mandatory spending belum didasarkan pada penelitian yang memadai. 

Alasan-alasan tersebut menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah dan DPR terhadap kepentingan kelompok miskin yang tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan dasarnya. Berbagai dalih tersebut juga merupakan sesat pikir pemerintah dan DPR karena menganggap mandatory spending tidak disertai dengan pembuatan program atau perencanaan yang baik sesuai dengan tahapan perencanaan pembangunan nasional. Pemerintah mengakui bahwa anggaran kesehatan merupakan kebutuhan dasar, namun ironisnya pemerintah juga berdalih  bahwa mandatory spending membuat ruang fiskal menyempit dan tidak fleksibel. Ini sekali lagi menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap kepentingan kelompok miskin, kelompok rentan, penyandang disabilitas dan warga yang berada di daerah 3T. Anggaran minimal untuk kesehatan dibuat untuk menjaga komitmen pemerintah dalam memenuhi hak rakyat atas layanan kesehatan dan juga untuk mengatasi ketimpangan. Dengan tidak adanya mandatory spending, pemerintah bisa leluasa membuat anggaran kesehatan kurang dari 5% demi memenuhi prioritas politik lainnya, seperti yang sudah dilakukan pemerintah di masa pandemi di mana subsidi untuk kelompok miskin di bidang kesehatan dicabut, sementara pemerintah bisa mengeluarkan anggaran besar-besaran untuk membayar kampanye pariwisata yang melibatkan para influencer. 

Dengan dihapusnya alokasi anggaran minimal/mandatory spending, maka anggaran untuk memenuhi hak rakyat akan layanan kesehatan terancam dikurangi/dipangkas atau bahkan tidak terpenuhi karena pemenuhannya bergantung pada kebaikan hati penguasa. Padahal berbagai kajian menunjukkan, banyak layanan kesehatan di daerah bergantung pada anggaran tersebut. Mulai dari penyediaan obat, pemberian makanan bergizi untuk mencegah stunting, bantuan iuran kepesertaan BPJS, insentif tenaga kesehatan, program edukasi kesehatan, subsidi untuk rumah sakit, dan lainnya. Dengan adanya anggaran minimal untuk kesehatan saja, pemerataan layanan kesehatan masih jauh dari harapan, apalagi bila anggaran minimal itu dihapuskan. Adanya ketentuan tentang anggaran minimal saja masih banyak pemerintah daerah (37,08% pada 2020) yang tidak mematuhi apalagi bila ketentuan itu ditiadakan.1 CISDI mencatat, dengan ada mandatory spending masyarakat masih harus merogoh uang pribadinya hingga 30-35% dari total biaya demi mendapatkan layanan yang lebih baik. Itu menyebabkan hanya orang-orang yang mampu yang mengeluarkan uang untuk layanan kesehatan yang berkualitas untuk dirinya. 

Berdasarkan Deklarasi Abuja tahun 2001, direkomendasikan setiap pemerintah di setiap negara mengalokasikan 15% dari anggaran nasional. Hal ini tertuang dalam Health Financing Working Paper WHO yang berjudul “Spending target for health: no magic number”. Bahkan di dalam Health Financing Guidance No.9 WHO  tahun 2020 menyebutkan target anggaran kesehatan yang besarannya sama atau lebih dari 15% dari anggaran nasional sebelum revisi di setiap tahunnya. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar, Apa acuan yang mendasari Panja RUU Kesehatan Komisi IX menghilangkan angka besaran amanah anggaran kesehatan di dalam RUU? 

Pemerintah juga berdalih bahwa basis besaran persentase mandatory spending belum didasarkan pada penelitian yang memadai. Padahal berbagai kajian menunjukkan, mandatory spending berdampak pada status kesehatan ibu dan anak. 

CISDI mencatat, pada 2010, WHO pernah menerbitkan jurnal yang menyebutkan masyarakat yang tinggal di negara yang mengalokasikan anggaran kesehatan 5-6% dari GDP, lebih mudah mengakses layanan Kesehatan. Senada dengan WHO, Resilient and Responsive Health systems (Resyst), yang merupakan konsorsium peneliti internasional di bidang kebijakan Kesehatan yang didanai pemerintah Inggris menerbitkan kajian serupa pada 2017. Resyst menyebutkan butuh alokasi anggaran Kesehatan lebih dari 5 persen dari GDP untuk bisa memberikan pelayanan yang baik untuk ibu dan anak. Data Bank Dunia menunjukkan, negara-negara yg membelanjakan lebih banyak untuk perawatan kesehatan cenderung memiliki harapan hidup rata-rata lebih tinggi hingga mencapai angka 80 tahun.2 Ini sejalan dengan penelitian WHO (2014) yang menunjukkan bahwa peningkatan realisasi alokasi dana kesehatan memiliki hubungan positif terhadap derajat kesehatan masyarakat.3

  1. RUU Kesehatan OBL menghukum rakyat miskin, kelompok rentan – termasuk perempuan dan anak, penyandang disabilitas, dan rakyat di daerah 3T atas kejahatan yang selama ini dilakukan pemerintah dan DPR. Anggaran minimal untuk kesehatan dibuat untuk menjaga komitmen pemerintah dalam memenuhi hak rakyat atas layanan kesehatan dan juga untuk mengatasi ketimpangan. Dengan menghapus alokasi anggaran minimal (mandatory spending) untuk kesehatan, pemerintah dan DPR hendak cuci tangan atas kewajiban memenuhi hak atas kesehatan rakyat dan  membebankan pembiayaan layanan kesehatan pada masyarakat, pemerintah desa, pemerintah daerah dan sektor swasta lewat berbagai skema, di antaranya : penggunaan dana BPJS yang notabene berasal dari iuran publik, penggunaan dana desa, liberalisasi sektor kesehatan dan perluasan komersialisasi layanan kesehatan, peningkatan peran asuransi swasta, dan lainnya. Alih-alih meringankan beban rakyat, pemerintah dan DPR justru hendak menambah beban rakyat dengan merampas hak warga atas anggaran kesehatan, hak warga atas dana desa, hak warga atas subsidi untuk mendapatkan layanan kesehatan, dan lainnya. Dampaknya adalah bahwa kelompok miskin, kelompok rentan–termasuk perempuan dan anak, penyandang disabilitas dan masyarakat di daerah 3T akan semakin sulit dalam mendapatkan akses atas layanan kesehatan.  Pada akhirnya bisa dikatakan bahwa dengan meniadakan/menghapus ketentuan tentang alokasi anggaran minimal untuk kesehatan, pemerintah dan DPR hendak menghukum rakyat atas kejahatan yang selama ini dilakukan pemerintah dan DPR, yaitu: buruknya tata kelola pemerintahan yang berdampak pada menumpuknya utang yang tidak produktif, dan maraknya korupsi yang terjadi di semua sektor, termasuk sektor kesehatan. 
  2. RUU Kesehatan OBL adalah instrumen Pemerintah dan DPR untuk liberalisasi sektor kesehatan dan perluasan privatisasi/komersialisasi layanan kesehatan. Ini terlihat dari pasal-pasal tentang pendayagunaan dokter asing dan pasal terkait penerbitan perizinan berusaha fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan RUU Kesehatan OBL, masuknya investasi dan dokter asing dipermudah – termasuk untuk Kawasan Ekonomi Khusus, dengan dalih mempercepat produksi dokter. RUU tersebut akan mengubah perawatan kesehatan (health care) menjadi industri kesehatan (health industrie). Dampaknya layanan kesehatan menjadi semakin mahal dan semakin meminggirkan kelompok miskin,  kelompok rentan, penyandang disabilitas, dan masyarakat di daerah 3T. Kelompok-kelompok tersebut semakin kehilangan akses atas layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas. Ketimpangan sosial ekonomi juga akan semakin meningkat. 
  3. RUU Kesehatan OBL memberi ruang bagi pelanggaran etika oleh tenaga medis dan atau tenaga kesehatan dan berpotensi meningkatkan malpraktik dalam layanan kesehatan di Indonesia. RUU tersebut (pasal 304) mengatur tentang penegakan disiplin profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Namun RUU tersebut tidak mengatur tentang penegakan etika profesi. Dalam hal ini pemerintah (Menkes) menyamakan disiplin profesi dengan etika profesi. Padahal etika profesi dan disiplin profesi adalah dua hal yang berbeda. Disiplin profesi adalah ketentuan tentang praktik tenaga medis/tenaga kesehatan (biasanya dalam bentuk standar pelayanan), sementara etika profesi adalah ketentuan tentang yang benar dan yang salah dalam pelaksanaan profesi, yang berlaku untuk profesi tertentu (biasanya dalam bentuk kode etik). Dihilangkannya etika profesi dalam pelaksanaan layanan kesehatan jelas akan berdampak pada penurunan standar kualitas pelayanan kesehatan. Sebab pelanggaran etika profesi akan memicu terjadinya pelanggaran disiplin profesi dan juga pelanggaran hukum.4 Ini akan menurunkan standar pelayanan kesehatan dan bahkan bisa lebih buruk dari itu, yaitu meningkatnya malpraktik dalam layanan kesehatan di Indonesia. 

Selain dari potensi pelanggaran etika dan meningkatnya malpraktik dalam layanan kesehatan di Indonesia, terdapat beberapa isu lain terkait profesi kesehatan, di antaranya sebagai berikut :

  1.     Pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing dikecualikan dalam mengikuti evaluasi kompetensi hanya disebabkan memiliki sertifikat kompetensi dan telah praktik paling singkat 5 tahun di luar negeri. Hal ini akan menimbulkan potensi tenaga medis atau tenaga kesehatan asing tersebut memiliki kompetensi yang sesuai standar di dalam negeri. Hal ini pun akan menimbulkan potensi ancaman bagi keselamatan pasien.
  2.     Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup tertuang pada Pasal 260 RUU ini. Jika mengacu kepada ketentuan di negara lain, paling dekat di Singapura atau Malaysia, tidak ditemukan adanya ketentuan registrasi yang berlaku seumur hidup. Hal ini pun akan menimbulkan potensi ancaman bagi keselamatan pasien.
  3.     Hilangnya pengaturan terkait Badan Pengawas RS, sedangkan pada UU no.44 tahun 2009, keberadaan Badan Pengawas RS (BPRS) sangat penting untuk mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien serta penerapan etika RS.
  4.     Peran organisasi profesi. Pengaturan terkait organisasi profesi kesehtaan yang tidak single bar, menjadi multibar di Pasal 311. Padahal pada draft RUU hasil Baleg DPR, disebutkan terkait keberadaan organisasi profesi yang single bar. Telah ada Putusan MK Nomor 82/PUU-XIII/2015, yang dalam petimbangan angka 3.11.1 dalam Putusan MK aquo antara lain menyatakan “ Dengan hanya satu wadah Organisasi Profesi untuk satu jenis tenaga kesehatan, akan lebih memudahkan Pemerintah untuk melaksanakan pegawasan terhadap profesi tenaga Kesehatan dimaksud ”. MHKI memandang Panja RUU keliru memprioritaskan antara hak berserikat pada Pasal 28 UUD 1945 hanya dapat dijalankan oleh sekelompok individu rakyat, sedangkan hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu pada Pasal 34 ayat (3) merupakan hak fundamental seluruh rakyat. Ketika keberadaan lebih dari satu organisasi profesi akan menimbulkan potensi lebih dari satu standar dalam pelayanan, hal ini akan berpotensi ancaman terhadap keselamatan pasien. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 hasil amandemen pada Pasal 1 ayat (3) disebutkan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Cita akan Negara Hukum sangat terkait dengan konsep ‘rechsstaat’ dan ‘the rule of law’. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum (rechsstaat) mencakup empat elemen penting yaitu : Perlindungan hak asasi manusia, Pembagian kekuasaan, Pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan Peradilan tata usaha negara. Pembagian kekuasan di sini yang menjadi semangat reformasi, bahwa kekuasan tidak mutlak berada pada pemerintah, sehingga beberapa kewenangan pemerintah didelegasikan kepada beberapa lembaga dan institusi untuk bersama mewujudkan ketertiban. Keberadaan organisasi profesi selama ini telah bersinergis dengan pemerintah, dibuktikan selama masa pandemi. RUU ini terlihat jelas menghilangkan peran-peran organisasi profesi kesehatan yang selama ini dijalankan berdasarkan amanah UU lex specialis.
  5. RUU Kesehatan OBL membuka celah bagi pengumpulan informasi data genetik (genom) penduduk Indonesia yang rentan disalahgunakan. RUU Kesehatan OBL pasal 346 (7) memberi ruang bagi Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan untuk melakukan pemrosesan data dan informasi kesehatan di luar wilayah Indonesia. Pasal tersebut membuka celah untuk mengumpulkan informasi data genetik (genom) penduduk Indonesia, yang rentan disalahgunakan. Pada bagian penjelasan dari ayat tersebut dinyatakan bahwa transfer data dan informasi kesehatan itu untuk kepentingan penanggulangan KLB, wabah, ibadah haji, perjanjian alih material, dan kerjasama internasional di bidang kesehatan. Transfer data ini berbenturan dengan UU Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Penyalahgunaan data genetik penduduk Indonesia ini jelas membahayakan kedaulatan dan keselamatan bangsa dan negara ke depan.  Apalagi dengan dibukanya investasi, tenaga medis dan tenaga kesehatan asing di Indonesia, pengumpulan data genetik (genom) akan semakin dipermudah. Kalau data NIK saja pemerintah bisa memperjualbelikannya, apalagi data genetik warganya. Melihat fenomena ke belakang, kebocoran data kesehatan di Indonesia bukan hal yang baru terjadi. Pada Mei 2021, data BPJS Kesehatan yang bocor dan dijual di forum daring diduga berasal dari badan penyelenggara layanan kesehatan, BPJS Kesehatan. Kejadian ini disusul dengan kebocoran 3,2 miliar data pengguna PeduliLindungi pada November 2022, menunjukkan lemahnya pengawasan dan komitmen pemerintah untuk melindungi data warga negara.

Pada Pasal 339 disebutkan Penyimpanan dan pengelolaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data untuk jangka panjang harus dilakukan oleh biobank dan/atau biorepositori yang dapat diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan, institusi pendidikan, dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan Kesehatan, baik milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun swasta. Peran swasta di dalam pengaturan pasal ini akan berpotensi industrialisasi dan komersialisasi pengelolaan data, materi biologi, dan bahkan rekayasa genetik di masa depan.  Pada Pasal 349 disebutkan data dan informai dapat ditransfer ke luar wilayah Indonesia untuk tujuan yang spesifik. Sekali lagi, mengingat fakta beberapa kasus kebocoran data kesehatan, bahkan kebocoran terjadi di institusi Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, maka dengan ketidakjelasan jaminan keamanan data ini membuat keraguan banyak pihak atas perlindungan data pribadinya. Pada Pasal 342 disebutkan setiap orang yang melakukan diskriminasi terhadap hasil pemeriksaan dan analisis genetik seseorang hanya dikenakan sanksi administratif. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-XIX/2021 pada Dasar Menimbang [3.16] menegaskan bahwa pemidanaan pada Pasal 32 juncto Pasal 48 UU ITE adalah perlindungan atas hak seseorang atas informasi atau dokumen elektronik yang dimilikinya. Mahkamah Konstitusi memandang jaminan keamanan data pribadi serta jaminan terselenggaranya pertukaran informasi secara valid dan jujur merupakan prakondisi bagi terpenuhinya hak-hak konstitusional seluruh warga masyarakat. 

  1. RUU Kesehatan OBL disusun secara serampangan dan tidak cermat. Substansi RUU Kesehatan OBL yang disusun secara tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi ini menunjukkan hasil kerja Pemerintah dan DPR yang serampangan dan tidak cermat. Ini terlihat, di antaranya, dari beberapa hal berikut: 
  • Memuat definisi yang keliru tentang orang perseorangan. Dalam Pasal 1 (38) disebutkan: Setiap Orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi. Dalam pasal ini, korporasi yang merupakan badan hukum disamakan dengan individu-individu. Ini jelas keliru. 
  • Pasal-pasal dalam RUU Kesehatan substansinya melanggar, tidak sejalan atau kontradiktif dengan asas penyelenggaraan UU Kesehatan itu sendiri, seperti pemerataan, etika dan profesionalitas, perlindungan dan keselamatan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, non-diskriminatif, partisipatif, kepentingan umum, kesadaran hukum, kedaulatan negara, ketertiban dan kepastian hukum 
  • Ada hal-hal krusial yang diatur dalam RUU Kesehatan tanpa ada pendefinisiannya, seperti Majelis, tenaga pendukung kesehatan, tenaga penunjang kesehatan, dan lainnya 
  • RUU memuat pasal yang mewajibkan perseorangan melaksanakan hal-hal yang menjadi kewajiban negara. Dalam RUU pasal 5 (1) disebutkan: Setiap Orang berkewajiban: a. mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dalam Pasal 5 (2) disebutkan: Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Upaya Kesehatan perseorangan; b. Upaya Kesehatan masyarakat; dan c. pembangunan berwawasan Kesehatan. 
  • Pada Pasal 314 ayat (6) disebutkan “Dalam keadaan darurat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat menetapkan dan melaksanakan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lain.” Ini berpeluang untuk ditafsirkan bahwa pemerintah memiliki diskresi menetapkan sediaan farmasi atau alat kesehatan yang belum teruji secara klinis aman diterapkan kepada manusia.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan Pemerintah dan DPR untuk RUU Kesehatan OBL ini, yaitu (1) Menghentikan pengesahan RUU yang mengancam keselamatan negara dan rakyat dan meninjau  kembali seluruh substansi RUU dng melibatkan segenap stakeholder sesuai perintah UU, atau (2) Batalkan RUU karena lebih banyak mudharat bagi rakyat dan negara ketimbang manfaatnya. 

 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan 

  1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) 
  2. The Institute for Ecosoc Rights (Ecosoc Institute)
  3. IM57+ Institute 
  4. Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) FH UGM 
  5. Indonesia Corruption Watch (ICW) 
  6. Transparency International Indonesia  
  7. LaporCovid-19  
  8. The PRAKARSA 
  9. Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraaan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) 
  10. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) 
  11. Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) FH UNAIR 
  12. Pusat Studi HAM (PUSHAM) UII 
  13. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI) 
  14. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) 
  15. SIGAB Indonesia 
  16. Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas) 
  17. Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia.
  18. Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) 
  19. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 
  20. Trade Union Rights Centre (TURC) 
  21. Yayasan Kurawal 
  22. Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) 
  23. Yayasan Peduli Distrofi Muskular Indonesia (YPDMI) 
  24. Yayasan Revolusi dan Edukasi untuk Inklusi Sosial Indonesia (REMISI) 
  25. KASIH RUMALA Group 
  26. Ohana Indonesia 
  27. TERALA  
  28. SAPDA 
  29. CIQAL
  30. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) 
  31. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) 
  32. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) 
  33. Pemberdayaan Tuli Buta (PELITA) Indonesia 
  34. PPDI Padang 
  35. Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) 
  36. Lentera Anak 
  37. Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) 
  38. Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) 
  39. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) 
  40. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) 
  41. Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia 
  42. Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI)
  43. Dompet Dhuafa
  44. BEM Seluruh Indonesia (BEM SI)

 

Refrensi

1 https://ejurnal.dpr.go.id/index.php/jurnalbudget/article/download/124/114
2 https://www.visualcapitalist.com/cp/healthcare-spending-versus-life-expectancy-by-country/
3 World Health Organization. (2014). WHO Global Health Expenditure Atlas. Switzerland: WHO
4 https://ugm.ac.id/id/berita/9955-langgar-etika-kedokteran-picu-dokter-melanggar-disiplin-dan-hukum/

 

Siaran pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut