SIARAN PERS :

JAMIN KESETARAAN HAK ATAS KESEHATAN MASYARAKAT DAN LINDUNGI PELAPOR

 

Senin, 25 Januari 2021.

LaporCovid-19, YLBHI, dan CISDI kembali mengingatkan untuk memenuhi hak atas kesehatan bagi setiap individu. Selain itu, ketiga organisasi juga meminta pemerintah memastikan perlindungan, keselamatan, dan keamanan bagi warga yang melaporkan musibah Covid-19 yang menimpa diri maupun keluarga mereka. Permintaan ini disampaikan menyusul munculnya tanggapan dan berita yang menyudutkan upaya masyarakat sipil saat menyampaikan laporan warga terkait sulitnya mendapatkan layanan karena penuhnya fasilitas kesehatan. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers melalui media daring Zoom pada Senin (25/01).

Sejak awal Desember 2020, rumah sakit di sekitar Jabodetabek dan berbagai daerah lain di Pulau Jawa mulai kesulitan menampung pasien. Hal ini menyebabkan terjadinya antrean pasien untuk mendapatkan perawatan sehingga meningkatkan risiko kematian. Tanda-tanda kolapsnya rumah sakit ini semakin bertambah memasuki Januari 2021.
Apalagi, sepanjang Desember 2020, mobilitas penduduk cenderung meningkat dengan adanya pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak dan libur panjang Natal Tahun Baru. Akibatnya, sejumlah kasus pasien yang ditolak rumah sakit karena penuh semakin banyak terjadi.

LaporCovid-19 menerima laporan pasien yang meninggal di perjalanan termasuk transportasi umum, di rumah, di selasar rumah sakit, di UGD, serta di Puskesmas karena kesulitan mendapatkan perawatan intensif. Sejak akhir Desember 2020 hingga 21 Januari 2021, setidaknya LaporCovid19 mendapatkan 34 laporan kasus pasien yang
ditolak rumah sakit karena penuh.

Namun ketika LaporCovid-19 dan CISDI menyampaikan laporan warga Kota Depok yang meninggal dalam perjalanan mencari rumah sakit pada 19 Desember 2020,

Satgas Depok menyampaikan tanggapan yang negatif dan menyudutkan pelapor dalam sejumlah pernyataan di media massa.

Pada 19 Desember 2020 sore itu, keluarga pasien awalnya menghubungi Satgas Covid-19 di daerahnya untuk meminta ambulans karena kondisi ayah pelapor sebagai suspek Covid-19. Sang ayah bergejala sesak nafas, namun ambulans tidak dikirim hingga dua jam penantian. Keluarga akhirnya membawa ayahnya menggunakan taksi daring berkeliling ke sejumlah RS di Kota Depok dan Jakarta Selatan hingga kemudian pasien meninggal dalam perjalanan setelah ditolak di sejumlah rumah sakit. Keluarga pasien kemudian melaporkan ini ke LaporCovid-19 pada 3 Januari 2021 setelah ia
selesai menjalani isolasi mandiri.

Selain memaparkan dalam rilis ke media (lihat Kompas, 19 Januari 2021), LaporCovid-19 telah memberikan kronologi kejadian kepada Satgas Covid-19 Depok dalam komunikasi telepon pada Sabtu (16/1/2021) dengan tujuan untuk menyampaikan situasi lapangan dan mendorong pembenahan.

Dalam komunikasi ini, pihak Dinkes dan Satgas Depok mengakui bahwa rumah sakit di wilayah mereka telah penuh sejak awal Desember 2021. Namun, pada saat bersamaan mereka meminta data orang yang melaporkan korban meninggal di perjalanan, padahal sudah menjadi komitmen LaporCovid-19 untuk tidak membuka data pelapor. Apalagi,
pelapor juga menolak datanya dibuka untuk menghindari stigma dan teror, sehingga permintaan itu tidak bisa dipenuhi LaporCovid-19.

Adapun perihal alasan data pelapor dibutuhkan untuk keperluantracing?, LaporCovid-19 telah mengonfirmasi, pelapor sudah menyampaikan kronologi ke puskesmas dan aparat pemerintahan terkait guna mendukung proses?tracing?. Pasien yang meninggal juga telah dikuburkan dengan protokol Covid-19. Pelapor dan keluarganya yang diketahui positif Covid-19 juga telah selesai menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Dengan informasi ini, kami berharap Dinkes dan Satgas Depok tidak lagi mendesak LaporCovid-19 untuk membuka data keluarga pelapor.

Dinkes dan Satgas Depok tidak perlu memojokkan serta menuduh LaporCovid-19 dan CISDI tidak kooperatif dengan memberikan pernyataan agar lebih transparan melalui pernyataan di sejumlah media (lihat lampiran link MetroTv dll). Semestinya yang perlu dilakukan oleh Dinkes dan Satgas Depok adalah mengambil pelajaran dari kasus ini agar tidak berulang. Pembenahan sistem rawat inap pasien Covid-19 harus segera dilakukan. Bukan dengan menyalahkan LaporCovid-19 yang tidak mau membuka data pelapor. Sebaliknya, LaporCovid-19 justru melihat yang Dinkes dan Satgas Depok lakukan adalah upaya menutupi kegagalannya selama ini yang tidak mampumengendalikan pandemi di lingkungannya yang mengakibatkan melonjaknya angka warga yang sakit serta penuhnya kapasitas RS.

Kasus di Kota Depok ini hanya puncak gunung es. LaporCovid-19 juga menerima laporan pasien meninggal karena tidak mendapatkan layanan atau tengah mengantri ICU rumah sakit, misalnya pasien meninggal di rumah di Kota Bantul, Yogyakarta, di Puskesmas di Tangsel, Banten, selasar rumah sakit di Kota Surabaya, dan UGD di sejumlah RS di Jabodetabek.

LaporCovid-19 mengungkap ini untuk mendorong perubahan layanan fasilitas kesehatan dan pengendalian pandemi. Masalah ketersediaan layanan fasilitas kesehatan salah satunya berakar dari penanganan Covid 19 yang melempar sebagian kewajiban kepada Pemerintah Daerah seperti ditunjukkan pada penentuan PSBB yang mensyaratkan adanya permintaan Daerah. Padahal Pasal 10 UU 6/2018 telah mengatur dengan jelas bahwa (1) Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. (2) Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut penetapan Pintu Masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang Terjangkit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pasal 5 (1) UU 6/2018 secara jelas juga mengatur bahwa Pemerintah Pusat bertanggung jawab menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan di
Pintu Masuk dan di wilayah secara terpadu. Sedangkan Pemerintah Daerah bukan garda depan penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat ini sebagaimana diatur Pasal 5 (2) UU 6/2018 dalam menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
?dapatmelibatkan Pemerintah Daerah. Akibat lempar tanggung jawab kepada Pemerintah daerah maka penetapan ini pasti lambat dan membuat persiapan penanganannya, termasuk fasilitas layanan kesehatan, membutuhkan waktu untuk antisipasinya.

Imbauan ini juga ditujukan kepada rekan-rekan media massa, yang berulang kali meminta LaporCovid19 memberikan kontak dan alamat pasien yang keluarganya meninggal di perjalanan di Depok ini.

LaporCovid-19 berkomitmen melindungi identitas pelapor. Apalagi, pelapor juga tidak ingin identitasnya dibuka ke publik. Ketiga organisasi tersebut mengimbau kepada media massa untuk tidak terfokus pada dramatisasi kasus dengan menampilkan sosok korban dan pelapor, tetapi lebih pada mendorong perubahan dan perbaikan layanan kesehatan. Masyarakat membutuhkan media untuk mengawal kondisi penanganan Covid-19 dengan kritis, termasuk mengecek informasi dari berbagai sisi dalam menyeimbangkan distribusi informasi antara data ketersediaan tempat tidur (BOR) yang disampaikan pemerintah dengan realitas sulitnya pasien mencari ICU dan tempat isolasi, tanpa harus mengorbankan hak-hak pasien dan pelapor.

Jaminan Hak atas Kesehatan dan Perlindungan Pelapor

Konstitusi dan Perundang-Undangan Indonesia jelas menjamin setiap warga negara untuk berpartisipasi, memajukan dirinya dan haknya secara kolektif untuk membangun bangsa dan negara serta berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, mengolah dan menyampaikan informasi dengan saluran yang tersedia.

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan:

Pasal 28C ayat (2):Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalammemperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dannegaranya

Pasal 28F:?Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia?.

Jaminan yang sama juga bisa kita lihat dalamUndang-undang Nomor 39 Tahun 1999Tentang Hak Asasi Manusia,Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Ekosob, dan banyak undang-undang lainnya.

Di saat yang sama juga, Negara khususnya pemerintah memiliki kewajiban, dimana dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945disebutkan?:?Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan?.Pasal 28I ayat (4)menyebutkan :
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalahtanggung jawab negara terutama pemerintah.?Kewajiban-kewajiban hukum pemerintah ini juga jelas tersebar di banyak Undang-Undang lainnya sepertiUndang-undangNomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018
Tentang Karantina Kesehatan,Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 TentangPenanggulangan Bencanadan lainnya.

Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan khususnyaPasal 5 (1)menjamin Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperolehakses atas sumber daya di bidang kesehatan.Pasal 17 UU Kesehatanbahkan mengatur Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi,
edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memeliharaderajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Jadi jelas, segala bentuk partisipasi, kritik, pengolahan dan penyampaian informasi mengenai penanganan pandemi dan kesehatan merupakan hal yang dijamin oleh hukum di Indonesia. Selain itu, LaporCovid-19, YLBHI dan CISDI juga turut mengajak rekan-rekan media massa untuk berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalisme dalam mengolah dan menyampaikan informasi. Secara khusus, ketiganya merujuk padaKodeEtik Jurnalisme Pasal 1mengatur pemberitaan yang independen dan berimbang. Informasi ini merupakan hal penting untuk menjamin terlaksananya penanganan pandemi yang baik.

 

_______________________________________________________

Kontak:
Irma Hidayana (LaporCovid19)
WA: +1917-941-9383
Muh. Isnur (YLBHI)
Amru Aginta Sebayang (CISDI)
WA 0877-8273-4584

 

Lampiran:

Kronologi:
3 Januari 2021
LaporCovid-19 menerima laporan seorang warga yang mengabarkan bahwa ayahnya meninggal di taksi daring saat berusaha mencari RS.

  1. Sekitar seminggu sebelum tanggal 19 Desember, pasien X pusing dan demam, lalu beliau pergi ke sebuah RS swasta di Kota Depok. Di sana pasien menjalani beberapa tes seperti rontgen dan cek darah, lalu dinyatakan sebagai suspek Covid-19 dengan penyakit bawaan pneumonia. Namun keadaannya masih terlihat memungkinkan untuk isolasi mandiri. Karena pasien X ditempatkan di IGD Covid yang tempatnya tidak bersih dan kurang layak. Beliau tidak dapat tempat tidur dan harus duduk di bangku tunggu selama hampir dua hari.
  2. Ketika mengurus administrasi untuk rawat inap, dipersulit da diminta memberikan DP sebesar Rp 1 juta jika ingin mendapatkan kamar (padahal pasien pemegang BPJS). Akhirnya pasien X memutuskan untuk isolasi mandiri.
  3. Ketika pulang, keadaan beliau tidak membaik dan badannya semakin lemah.
  4. Pada tanggal 19 Desember, sore hari pasien X sudah tidak bisa diajak berkomunikasi dan nafas beliau nampak sangat sesak. Keluarga meminta bantuan warga dan Satgas setempat untuk dicarikan ambulans. Setelah menunggu dua jam, ambulans tidak tersedia dan terpakai semua. Akhirnya keluarga membawanya dengan naik taksi online dan pergi ke RS B. Namun ditolak karena IGD sudah penuh. Kemudian mereka menyarankan untuk ke RS C, namun ketika sampai di sana kami ditolak juga krn IGD sudah penuh. Akhirnya ketika hendak di bawa ke RS D di Jakarta Selatan beliau sudah tiada.
  5. Keluarga pasien kemudian melaporkan kematian ayah mereka ke lingkungan dan Puskesmas setempat. Jenazah almarhum telah dikuburkan dengan protokol Covid-19. Hasil tes positif almarhum baru dikeluarkan oleh RS Swasta di Kota Depok pada hari meninggalnya pasien atau sekitar seminggu setelah tes. Seluruh keluarga almarhum juga sudah menjalani pemeriksaan dan semuanya positif Covid-19. Mereka telah selesai menjalani isolasi mandiri.

Lampiran tautan Media:

 

Silahkan unduh Siaran Pers ini melalui tautan berikut.
Jamin Kesetaaran Hak atas Kesehatan Masyarakat dan Lindungi Pelapor