SIARAN PERS

Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Akses Kesehatan Cabut PMK 19/2021 Vaksin Berbayar

 

18 Juli 2021– Setelah menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk Koalisi untuk Keadilan Akses Kesehatan, pada 16 Juli 2021 melalui Sekretaris Kabinet Negara, Pramono Anung, Presiden Jokowi akhirnya menyampaikan bahwa vaksin berbayar dibatalkan.

Respon Presiden ini tentu kami apresiasi. Namun, membatalkan secara lisan saja tidak cukup. Selama Peraturan Menteri Kesehatan No. 19/2021 yang menjadi dasar penyelenggaraan vaksinasi berbayar belum dicabut, maka program vaksinasi gotong royong berbayar ini masih belum batal. Sehingga Koalisi akan terus mengawal dan mendesak Menteri Kesehatan RI untuk segera mencabut PMK 19/2021 sebagai bukti pembatalan vaksin berbayar.

Pada konferensi pers ini, Irma Hidayana, Co-leader LaporCovid-19 mengatakan PMK 19/2021 Harus dicabut untuk menjamin bahwa vaksin Covid-19 benar-benar gratis bagi seluruh warga, dan agar tidak disalahgunakan di kemudian hari, baik itu minggu depan atau bulan-bulan berikutnya.

Dominggus Christian dari LBH Masyarakat menegaskan bahwa Koalisi akan terus mengawal pencabutan ini, dan harapan kami akan dibuatkan aturan baru yang mengakomodir masyarakat dalam hal keadilan akses vaksin.

Di sisi lain, di tengah keterbatasan vaksin, walau pemerintah sudah mengamankan sejumlah dosis vaksin, namun masih ada kesulitan untuk mengakses vaksin di daerah. Vaksinasi massal lebih banyak berjalan di kota-kota besar sementara kendala kehabisan kuota vaksinasi, sulitnya registrasi, hingga perbedaan domisili masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat.

Keterlibatan swasta memang diperlukan dalam percepatan pencapaian target vaksinasi (bukan herd-immunity), namun mestinya perusahaan swasta seperti PT. Kimia Farma dan lainnya berkontribusi membantu pelaksanaan program vaksinasi gratis. Menunjukkan semangat “kegotong-royongan mereka dalam membantu mempermudah akses terhadap vaksin Covid-19 gratis untuk rakyat. Bukan dengan memungut biaya.

Agung Prakoso dari Indonesia for Global Justice (IGJ) menjelaskan bahwa vaksinasi gotong royong yang sudah diamankan oleh pengusaha perlu diserap. 15 juta dosis vaksin Sinopharm yang digunakan program vaksin gotong royong akan terus datang, pengusaha yang sudah berkomitmen dalam mengamankan vaksin ini tidak boleh lepas tanggung jawab apalagi jika diserahkan kepada skema vaksin individu berbayar. Vaksin ini harus cepat diserap, apalagi di tengah krisis.

Ketua Umum YLBHI, Asfinawati, juga mengungkapkan mengenai tindakan represif aparat di saat PPKM (Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) darurat. Yang terjadi saat ini adalah penyekatan wilayah, pembatasan gerak warga dalam kerangka PPKM Darurat yang justru menyebabkan masyarakat bawah tidak bisa bekerja leluasa. Ini tidak seharusnya terjadi, jika Pemerintah melaksanakan UU Kekarantinaan Wilayah di mana di dalamnya menjamin pemenuhan hak dan kebutuhan dasar masyarakat. Masalahnya, penyekatan dan pembatasan wilayah yang terjadi saat ini merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, namun tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti yang di amanahkan Undang-Undang tersebut.

Jika UU Kekarantinaan ini dilakukan, maka seharusnya pemerintah memenuhi kebutuhan dasar warga terdampak, sehingga warga bisa tenang diam di rumah tanpa khawatir akan kebutuhan sehari-harinya. Kalau sanksi kenapa memakai UU Kekarantinaan Kesehatan No. 6/2018, tapi kenapa mengenai pengetatan mobilitas tidak memakai UU Kekarantinaan Kesehatan 6/2018? Padahal jelas tertulis di dalam UU Kekarantinaan Kesehatan 6/2018 bahwa negara berkewajiban untuk memberikan kebutuhan dasar ketika karantina wilayah jelas Asfinawati, Direktur YLBHI.

Selain itu, Koalisi sangat mengapresiasi mengenai langkah yang diambil oleh Menko Maritim dan Investasi RI selaku koordinator dari PPKM Darurat untuk meminta maaf atas penanganan PPKM Darurat yang belum optimal. Namun, menurut Mirza Fahmi dari Lokataru Foundation, Seharusnya pemerintah meminta maaf sejak Maret 2020, karena saat bulan Januari-Februari mereka sudah bercanda dari awal. Yang terjadi saat ini adalah perpanjangan dari indikasi bercanda dari awal Menurut Mirza, pemerintah perlu berhenti denial dan memberikan klaim tidak realistis, misal herd immunity tercipta di bulan September padahal di daerah, akses vaksin sudah sulit. Ini diperlukan agar tidak terjadi gesekan di masyarakat.

Merespon pemberian jaringan pengaman sosial, Agus Sarwono dari Transparency International Indonesia menambahkan Bansos belum dicairkan hingga sekarang, masalah pendataan masih terjadi, padahal Kementerian Sosial mengklaim pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Jumlah anggaran ditambah terus, namun implementasi belum terlaksana sama sekali.

Karena itu, Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan memberikan rekomendasi:

  1. Mendesak Presiden dan Menteri Kesehatan untuk mencabut dan membatalkan PMK No. 19/2021 dalam lima hari ke depan.
  2. Meningkatkan pengetatan wilayah dengan menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan, dan memberikan jaminan kebutuhan dasar bagi masyarakat yang membutuhkan
  3. Meningkatkan tracing dan testing hingga tren angka rerata positif menurun secara signifikan agar kasus positif terdeteksi dan mendapatkan treatment yang memadai.
  4. Meningkatkan pelaksanaan vaksinasi secara massif yang mudah diakses dan didistribusikan ke seluruh masyarakat di tiap daerah, baik di Jawa, Bali, dan juga seluruh pulau dan provinsi terdampak serta daerah terpencil, terluar, terdalam.

 

Hormat kami,
Koalisi Warga Untuk Keadilan Akses Kesehatan
LaporCovid19, YLBHI, Lokataru, TII (Transparency International Indonesia), LBH Masyarakat, Indonesia for Global Justice (IGJ)*
*Anggota Koalisi yang hadir pada Konferensi Pers ini

 

Narahubung:

Windy – Relawan LaporCovid-19 (+62 852-3341-9947)

 

Siaran pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut