Kebijakan PCR yang Menguntungkan Kelompok Bisnis Tertentu

SIARAN PERS

Kebijakan PCR yang Menguntungkan Kelompok Bisnis Tertentu

 

Penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh Pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas. Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi.

Ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak 4 (empat) kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh Pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp2,5 juta. Kemudian pada Oktober 2020 Pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp900.000. 10 bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp495.000-Rp525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275.000-Rp 300.000.

Perlu diingat ketika lonjakan angka positif COVID-19 pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp900.000/test yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut. Meskipun sebulan setelahnya turun akibat desakan masyarakat dan perbandingan biaya pemeriksaan dengan India, sudah jelas pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu. Terlebih penurunan terakhir (27/10) ini terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat. Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya. Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi.

Dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, Koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut. Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp 10 triliun lebih. Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukan bahwa Pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga.

Berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6% dari Rp 99,5 triliun. Kondisi keuangan tahun ini pun demikian. Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen. Dari kondisi tersebut sebenarnya Pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.

Terdapat 2 (dua) permasalahan dari kondisi di atas. Pertama, Koalisi menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah/perusahaan, akan memasuki masa kadaluarsa. Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut diduga Pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR. Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan investigasi bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi.

Kedua, ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya. Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh Koalisi, sejak Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp180 ribu. Ketika Pemerintah menetapkan harga Rp 900 ribu, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen, selain itu komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga menjadi Rp 900 ribu juga tidak memiliki landasan yang jelas Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350.000 juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi, sehingga keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya sejak Oktober 2020 Pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu.

Dari catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak agar: Pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan. Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya. Pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat.

 

Jakarta, 31 Oktober 2021

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan
ICW, YLBHI, LaporCovid-19, Lokataru

 

Narahubung:
Amanda Tan (LaporCovid-19)
M. Isnur (YLBHI)
Mirza Fahmi (Lokataru)
Wana Alamsyah (ICW)

 

 

Siaran pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut

Tidak Serius, Dr Aqua Dwipayana Batalkan Sharing Komunikasi di Rumah Sakit Besar

Selama pandemi Covid-19 di RSUD dr Mohamad Soewandhie ada lima orang nakes dan satu orang pegawai bagian keuangan yang meninggal terpapar Covid-19. Mereka adalah dr Berkatnu Indrawan Janguk, dr Lawu Soekarno, Sri Wahyuni, Dyah Prima Retnani, Suhartatik, dan Haris Prasetyono.Sedangkan secara nasional hingga Sabtu (30/10/2021) dikutip dari nakes.laporcovid19.org, sudah 2.032 orang nakes meninggal terpapar Covid-19.

Sekitar 180.000 Nakes di Dunia Meninggal akibat Covid-19, 2.000 dari Indonesia

JENEWA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut lebih dari 100.000 tenaga kesehatan meninggal dunia sejak awal pandemi virus corona, dan jutaan lainnya belum divaksinasi. WHO mengestimasi ada sekitar 80,000 hingga 180,000 tenaga kesehatan di seluruh dunia meninggal akibat Covid pada periode Januari 2020 hingga Mei 2021.

Tingkat Kematian Akibat Covid-19 Turun, Kewaspadaan Pantang Turun

SIARAN PERS

Tingkat Kematian Akibat Covid-19 Turun, Kewaspadaan Pantang Turun

 

Jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia hingga pertengahan Oktober 2021 mencapai 187.905 jiwa. Angka ini terdiri atas kasus kematian pasien positif Covid-19 sebanyak 159.109 orang dan 28.796 kasus kematian probable. Data ini berasal dari pemerintah kabupaten/kota yang masih mencatatkan perkembangan kasus Covid-19.

Adapun pemerintah pusat mencatat kasus kematian terkait Covid-19 mencapai 142.651 orang, lebih rendah sekitar 45.000 kasus dibandingkan data pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan masih adanya selisih angka kematian yang dipublikasikan pemerintah pusat dan hasil akumulasi dari pemerintah daerah.

Setidaknya 73% kasus kematian berasal dari Pulau Jawa. Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah kematian terbesar, yakni sebanyak 46.287. Adapun DKI Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah kematian probable terbanyak, yakni sebesar 17.941.

Meskipun data kematian pemerintah pusat dan daerah belum sinkron, kasus kematian terkait Covid-19 terus terjadi. Meski demikian, tampak tren penurunan kasus kematian dari 510 kota/kabupaten selama dua pekan hingga 23 Oktober 2021. Di luar Pulau Jawa secara umum mengalami penurunan sebesar 91% dan 97%. Di Pulau Jawa juga mulai terlihat penurunan kasus kematian meski lebih kecil dibandingkan wilayah luar Jawa.

Untuk kategori kota/kabupaten, terdapat 419 kota/kabupaten yang kasus kematiannya berkurang dalam sebulan terakhir. Terdapat 207 kota/kabupaten yang menunjukkan tren penurunan jumlah kematian. Sebanyak 141 kota/kabupaten juga konsisten tanpa penambahan jumlah kematian. Sebanyak 71 kota/kabupaten bahkan dua pekan terakhir hingga 1 oktober 2021 tidak mencatat adanya kasus kematian terkait Covid-19. Fenomena ini dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya, vaksinasi yang cakupannya telah mencapai setidaknya 45% masyarakat.

Selain itu, berdasarkan grafik kategorisasi tersebut, kami menemukan 91 wilayah dari 21 provinsi dengan tren peningkatan kasus kematian 2 mingguan. Sebanyak 68 kota/kabupaten di antaranya konsisten dengan angka penambahan kasus kematian terkait Covid-19.

Sebelumnya, sebanyak 23 kota/kabupaten di Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Aceh menjadi 3 daerah teratas yang menunjukkan tren peningkatan angka kematian. Kabupaten Langkat, Kota Gorontalo, dan Kabupaten Luwu menjadi 3 kota/kabupaten dengan tren pertambahan jumlah kematian terbesar dua pekan terakhir.

Daerah yang masih menunjukkan tren kenaikan kasus kematian Covid-19 perlu mendapatkan perhatian pemerintah. Misalnya, pemerintah menggalakkan distribusi vaksinasi, pembatasan wilayah, dan juga menyiapkan persediaan fasilitas layanan kesehatan yang mampu mengakomodasi kondisi terburuk.

Meskipun secara umum tren jumlah kematian menurun, pemerintah dan masyarakat bukan justru melonggarkan prosedur penanganan situasi pandemi Covid-19. Sebab, Covid-19 belum sepenuhnya tuntas menghilang dan target vaksinasi nasional masih harus terus ditingkatkan kembali sampai memenuhi target. Hal ini perlu dilakukan agar kita lebih siap menghadapi kemungkinan terburuk yakni adanya gelombang ketiga pandemi Covid-19 yang diprediksi akan kembali naik di bulan Desember 2021 mendatang.

Narahubung:

Said Fariz Hibban (LaporCovid19) – 6281527440489

Siaran pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut

Perjuangan Nakes Melawan Covid-19, Terinfeksi Corona Sampai 3 Kali

POJOKSATU.id, JAKARTA ? Tenaga kesehatan (nakes) menjadi garda terdepan berjibaku melawan Covid-19. Tak sedikit nakes gugur saat berjuang menghadapi pandemi Covid-19. Pada September 2021, Lapor Covid-19 mencatat, jumlah tenaga kesehatan yang meninggal akibat Covid-19 di Indonesia sebanyak 2.029 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 730 orang atau 35,9% berprofesi sebagai dokter.