Koalisi Ini Minta Program Vaksinasi Booster untuk Guru Oleh Pemkot Bekasi Harus Dibatalkan

Suara.com -?Koalisi Masyarakat untuk Akses Keadilan Kesehatan mengecam rencana Pemerintah Kota Bekasi, Jawa Barat, untuk mewajibkan semua?guru?dan?tenaga pendidik?di daerah tersebut mengikuti?vaksinasi dosis ketiga?atau?booster.

Amanda Tan dari LaporCovid-19 menegaskan sesuai aturan Kementerian Kesehatan, vaksinasi dosis ketiga tidak boleh diberikan kepada masyarakat kecuali tenaga kesehatan selama ketersediaan vaksin masih terbatas.

Preseden Buruk Pemberian Vaksin Dosis Ketiga

SIARAN PERS

Preseden Buruk Pemberian Vaksin Dosis Ketiga

Jakarta, 05 Oktober 2021 – Vaksinasi dosis ketiga tidak boleh diberikan kepada masyarakat kecuali tenaga kesehatan selama ketersediaan vaksin masih terbatas. Sebelumnya, Pemerintah Kota Bekasi merencanakan penyelenggaraan vaksinasi dosis ketiga bagi para guru dan tenaga pendidik tanpa rekomendasi dari Pemerintah Pusat (Kementerian Kesehatan RI). Artinya, Pemerintah Kota Bekasi berpotensi melangkahi instruksi Kementerian Kesehatan terhadap ketentuan pemberian vaksinasi dosis ketiga selain tenaga kesehatan.

Ihwal pemberian vaksinasi dosis ketiga selain tenaga kesehatan bukan kali pertama terjadi. Pengakuan sejumlah pejabat kepada presiden Joko Widodo yang terekam ketika meninjau vaksinasi di SMPN 22 Kota Samarinda, Kalimantan Timur pada 24 Agustus 2021 menunjukkan bahwa sejumlah pejabat juga sudah mendapatkan vaksin dosis ketiga. Hal ini tentu menyalahi prinsip keadilan, dimana masih banyak kelompok rentan yang belum mendapatkan vaksin, sementara pejabat publik telah mendapatkan vaksin dosis ketiga.

Adapun, rencana Pemerintah Kota Bekasi sangat berpotensi melanggar prinsip kesetaraan dan keadilan vaksin serta menunjukkan bahwa penyelenggaraan vaksinasi masih dilakukan serampangan, sehingga melanggar prinsip vaccine equity. Sementara capaian vaksinasi di Kota Bekasi per 4 Oktober 2021 sendiri baru 66,39% untuk dosis pertama dan 46,15% untuk dosis kedua. Capaian vaksinasi untuk lansia di Kota Bekasi juga masih rendah, yakni 41,78 % untuk dosis pertama dan dosis kedua 31,35%. Seharusnya, Pemerintah Kota Bekasi dapat memprioritaskan pemberian vaksin dosis ketiga tersebut kepada lansia yang belum mendapatkan vaksin dosis pertama maupun dosis kedua.

Di tengah capaian yang rendah, khususnya pada lansia, Pemerintah Kota Bekasi justru memberikan vaksin dosis ketiga kepada guru dan tenaga pendidik dengan justifikasi agar kuota vaksin yang tersedia tidak kadaluarsa. Di sisi lain, daerah sekitar Kota Bekasi juga masih menunjukkan cakupan vaksinasi dosis pertama yang relatif rendah. Seperti halnya di Kabupaten Bekasi baru 59,29% untuk dosis pertama, Kabupaten Karawang baru 50,72%, Purwakarta baru 50,72% dan Kabupaten Subang baru 29,87%. Selain itu, terdapat Kota dan Kabupaten di Jawa Barat yang sudah kekurangan stok vaksin, seperti Kabupaten Tasikmalaya yang stok vaksinnya akan habis dalam 3 hari, Kabupaten Ciamis habis dalam 4 hari dan Kabupaten Pangandaran hanya tersisa vaksin untuk 6 hari. Vaksin yang akan kadaluarsa seharusnya diberikan kepada daerah-daerah yang sedang mengalami kekurangan vaksin dan dengan cakupan vaksin yang rendah.

Vaksin yang sudah mendekati kadaluarsa melimpah di kota Bekasi juga menunjukan distribusi yang serampangan oleh Kementerian Kesehatan. Tata kelola distribusi vaksin jenis Pfizer dan Moderna yang selama ini berlangsung hanya diprioritaskan kepada daerah yang sudah memiliki infrastruktur rantai dingin yang baik. Mengingat kedua jenis vaksin tersebut membutuhkan perlakuan khusus. Padahal, pemerintah telah lama merencanakan program vaksinasi dan akan menggunakan dua jenis vaksin tersebut. Sudah selayaknya Kementerian Kesehatan perlu mempersiapkan logistik pendukung yang menunjang vaksin dengan penanganan khusus kepada daerah diluar kota Bekasi.

Mengenai pemberian vaksin dosis ketiga sendiri sebetulnya belum direkomendasikan oleh WHO dengan alasan ketersediaan vaksin secara global masih terbatas. WHO menyatakan bahwa pemberian vaksin dosis ketiga ketika masih banyak populasi yang kesulitan mendapatkan dosis 1 dan 2 melanggar prinsip vaccine equity sehingga dapat menyebabkan ketimpangan akses vaksin di tingkat nasional. Capaian vaksinasi dosis penuh (dosis 1 dan 2) secara nasional masih di angka 25,6%. Artinya, masih banyak daerah yang mengalami kesulitan mendapatkan akses vaksin dosis 1 dan 2 karena stok vaksin yang rendah.

Namun, Pemerintah Indonesia memberikan pengecualian bagi tenaga kesehatan mengingat tingkat risiko kesakitan dan juga kematian akibat Covid-19 yang tinggi. Kementerian Kesehatan mengeluarkan edaran pemberian vaksin dosis ketiga yang tertuang pada Surat Edaran Dirjen P2P Kemenkes No. HK/02/01/I/1919/2021 dan Surat Edaran Dirjen P2P Kemenkes No. SR.02.06/II/2159/2021.

Pemberian vaksin dosis ketiga kepada tenaga pendidik dan guru oleh Pemerintah Kota Bekasi juga bisa menjadi preseden buruk dan apabila tidak segera dievaluasi maka kemungkinan akan diikuti oleh pemerintah Kota/Kabupaten lain. Praktik buruk yang menimbulkan ketimpangan distribusi vaksin ini jelas melanggar ketentuan hukum UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Wabah Penyakit Menular yang menjamin kesetaraan setiap orang mengakses vaksinasi dalam rangka penanggulangan kedaruratan kesehatan.

Melihat adanya potensi pemberian dosis ketiga kepada non-nakes oleh pemerintah Kota/Kabupaten, maka Koalisi Masyarakat untuk Akses Keadilan Kesehatan mendesak pemerintah untuk:

  1. Menghentikan rencana pemberian vaksinasi dosis ketiga di luar kelompok tenaga kesehatan agarpemerataan vaksin lebih optimal.
  2. Memastikan proses distribusi vaksin dari pusat kepada pemerintah daerah memperhatikan aspekcapaian dan stok vaksin yang terbatas.
  3. Memastikan infrastruktur rantai dingin terdistribusikan ke daerah-daerah yang masih mengalamikekurangan stok vaksin sehingga vaksin jenis pfizer dan moderna dapat didistribusikan kedaerah-daerah yang membutuhkan.
  4. Menindak tegas bagi pihak yang memberikan vaksin dosis ketiga kepada kelompok non-tenaga

 

 

Koalisi Masyarakat untuk Akses Keadilan Kesehatan

Transparency International Indonesia, LaporCovid-19, LBH Jakarta, ICW, YLBHI, Lokataru, LBH Masyarakat, Indonesia for Global Justice

 

Narahubung:
1. Agus Sarwono : Transparency International Indonesia (08126992667)
2. Amanda Tan : Lapor Covid-19 (085866044058)


  1. Lihat WHO, (2021) Interim statement on COVID-19 vaccine booster doses. Dapat diakses melaluihttps://www.who.int/news/item/10-08-2021-interim-statement-on-covid-19-vaccine-booster-doses

 

Silahkan unduh siaran pers ini melalui tautan berikut.

Koalisi Selamatkan Anak Indonesia Mendesak Mendikbudristek Meninjau Ulang Kebijakan Pembelajaran Tatap Muka

Koalisi Selamatkan Anak Indonesia Mendesak Mendikbudristek Meninjau Ulang Kebijakan Pembelajaran Tatap Muka

 

Koalisi Masyarakat Desak 4 Menteri Untuk Tunda Dan Tinjau Ulang Kebijakan PTM Demi Keselamatan Anak

SIARAN PERS

Koalisi Masyarakat Desak 4 Menteri Untuk Tunda Dan Tinjau Ulang Kebijakan PTM Demi Keselamatan Anak

arta, 3 Oktober 2021 – Koalisi Selamatkan Anak Indonesia sampaikan surat desakan beserta kertas kebijakan kepada pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT). Koalisi Selamatkan Anak adalah Koalisi interdisipliner dan antar profesi yang berfokus pada keselamatan anak dan keberlanjutan pendidikan di Indonesia selama pandemi Covid-19. Koalisi menilai kebijakan PTMT tanpa syarat vaksinasi dan standar epidemiologis yang ketat justru mempertaruhkan keselamatan dan kesehatan anak, terbukti dengan maraknya pengaduan masyarakat tentang pelanggaran protokol kesehatan dan kasus positif selama PTMT. Pemerintah perlu menunda pelaksanaan PTMT dan membenahi berbagai aspek sebelum PTMT dapat terlaksana demi terjaminnya keselamatan anak.

Natasha Devanand Dhanwani, anggota advokasi LaporCovid-19, menyatakan bahwa PTMT mengancam nyawa anak karena tingkat vaksinasi masih rendah. Kita bisa lihat dari dashboard vaksin Kemenkes bahwa tingkat vaksinasi pada pelajar sampai tanggal 2 Oktober 2021 baru mencapai 14,71% untuk dosis pertama dan 9,98% untuk dosis kedua. Sedangkan capaian vaksinasi untuk guru baru mencapai 62,18% dosis 1 dan 38% dosis 2 pada 22 September 2021. Vaksin memang bukan senjata utama dalam menekan laju penularan, namun vaksin dapat mengurangi keparahan ketika terjangkit Covid-19, sehingga patut dijadikan syarat pembukaan PTMT. Selain itu Natasha juga melihat bahwa pembukaan sekolah untuk anak usia 12 tahun sangat berbahaya. Vaksin untuk anak dibawah 12 tahun masih dalam pengkajian, tetapi anak dibawah 12 tahun masih harus PTMT. Ini artinya potensi paparan terhadap anak bisa terjadi, karena laju penularan masih terjadi, dan ketika anak terjangkit, maka akan menimbulkan keparahan. kata Natasha.

LaporCovid-19 juga masih menemukan gap pada data kematian yang dilaporkan oleh Kemenkes dan Pemerintah Provinsi. Angka jumlah testing yang tidak dibuka di level kota dan kabupaten juga menjadi masalah, sehingga kita tidak mengetahui seberapa banyak angka yang dites, padahal jumlah orang yang dites mempengaruhi angka positivity rate. Positivity rate yang dilaporkan memang rendah, dibawah 5%, namun perlu dicatat bahwa angka tersebut tidak sahih karena positivity rate yang ada masih mencantumkan hasil test antigen.

Dalam laporan yang diterima oleh LaporCovid-19 melalui kanal aduannya memperlihatkan bahwa pelanggaran di sekolah masih terus terjadi. Sejak bulan Januari 2021 sampai bulan September terdapat 167 laporan terverifikasi mengenai penyelenggaraan pembelajaran tatap muka. Di bulan September sendiri terdapat 22 laporan yang masuk mengenai tidak memadainya sarana prasarana pendukung untuk memitigasi penyebaran Covid-19 di sekolah, pelanggaran protokol kesehatan oleh warga sekolah, dan penyimpangan yang dilakukan sekolah terkait perizinan masuk sekolah tatap muka yang seharusnya dengan persetujuan orang tua.

Iman Zanatul Haeri, Kabid Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga menyampaikan bahwa argumentasi pemerintah yang ingin segera membuka sekolah didasarkan pada asumsi-asumsi yang prematur. Salah satunya klaim soal angka putus sekolah yang naik drastis selama pandemi Covid-19 terbantah dengan data Kemdikbud Ristek bahwa angka putus sekolah masih lebih tinggi tahun sebelumnya, misalnya 2018-2019 mencapai 301.127 siswa, sedangkan 2019-2020 lebih rendah yaitu 157.166 siswa. Memang terdapat permasalahan selama pendidikan jarak jauh (PJJ) namun hal tersebut juga terkait dengan buruknya jaminan aksesibilitas yang disediakan pemerintah. Ketimpang buru-buru PTM, pemerintah perlu membuat grand design pendidikan dalam situasi darurat kesehatan, untuk menjawab tantangan ke depan jika harus kembali pada situasi pembatasan yang ketat, pungkas Iman. Jika merujuk pada Dasbor Kesiapan belajar Kemdikbud Ristek per-3 Oktober 2021, sekolah yang mengisi baru 59, 56%. Artinya ada sekitar 217.310 sekolah (40,44%) yang belum siap untuk PTM terbatas, ujar Iman. Ia juga mengkhawatirkan aspek pengawasan selama PTMT. Dari laporan P2G di berbagai daerah seperti Kabupaten Bogor, Blitar, Karawang, Bima,Bukittinggi dan Aceh Timur, pelanggaran protokol kesehatan di sekolah masih terjadi. Selain itu pengawasan juga minim. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, pengawasan hanya dalam bentuk isian modul online saja. Di Kabupaten Bima dan Karawang, pengawasan, sosialisasi dan pelatihan juga kurang diberikan Dinas Pendidikan Pemerintah daerah (Pemda). Sehingga pelanggaran lebih sering terjadi karena ketidaktahuan, tambah Iman.

Charlie Albajili, Pengacara Publik LBH Jakarta menyampaikan bahwa sikap pemerintah yang mengabaikan ukuran-ukuran epidemiologis dalam pelaksanaan PTMT menunjukan abainya negara menjamin hak anak dan warga sekolah mendapatkan jaminan status kesehatan tertinggi yang dijamin konstitusi dan peraturan perundang-undangan. SKB 4 Menteri yang tidak mengatur syarat vaksinasi untuk pelaksanaan PTMT juga tidak konsisten dengan konsiderans peraturan tersebut yang secara jelas menyatakan bahwa percepatan vaksinasi warga sekolah diperlukan untuk percepatan PTMT. Kondisi tersebut menunjukan pemerintah belum memprioritaskan kesehatan masyarakat ketimpang aspek lain seperti ekonomi, padahal dalam situasi yang ditetapkan pemerintah sebagai kedaruratan kesehatan, tidak mungkin menomorduakan aspek kesehatan, pungkas Charlie.

Bahwa berangkat dari catatan kritis permasalahan penyelenggaraan PTMT tersebut, Koalisi menuntut Presiden RI dan Para Menteri terkait untuk:

  1. Menunda Pembelajaran Tatap Muka hingga: pemerintah memastikan semua populasi sekolah sesuai dengan kelompok umurnya mendapat vaksinasi dan positivity rate (rasio kasus positif yang berbasis tes PCR) tingkat kabupaten/ kota di bawah 5%; pemerintah telah menetapkan jumlah sarana prasarana protokol kesehatan di sekolah dengan rasio yang proporsional sesuai dengan jumlah populasi yang terlibat dalam PTM; sesuai dengan asesmen dari Pemerintah Daerah; dan orang tua memberikan izin;
  2. Menunda pembelajaran tatap muka untuk anak di bawah usia 12 tahun karena belum ada kebijakan vaksinasi dan beragamnya dampak Covid-19 pada anak, baik pada masa konfirmasi positif dan pasca Covid-19;
  3. Mempercepat pelaksanaan vaksinasi secara menyeluruh dan tepat sasaran khususnya kepada tenaga pengajar dan peserta didik.
  4. Memperkuat random regular monitoring, kontak lacak rutin dan tes acak secara konsisten kepada warga sekolah untuk mengukur tingkat penularan pada skala sekolah;
  5. Memberikan penjelasan secara rinci kepada orang tua, di mana berisi data epidemiologi dan kesiapan sarana-prasarana sekolah dalam menghadapi pandemi. Memberikan informasi yang tepat, adekuat, dan memadai tentang COVID-19 serta risikonya terhadap anak;
  6. Selain mempersiapkan PTMT pemerintah tetap harus memperbaiki sistem PJJ menjadi lebih efektif dan efisien dengan fasilitas yang memadai dan pengajar yang mumpuni, sebagai bentuk mitigasi apabila PPKM yang ketat perlu kembali diberlakukan;
  7. Pemerintah harus menyusun suatu grand design sistem pendidikan yang mampu beradaptasi dalam situasi bencana dan krisis, yang kemudian sistem pendidikan tersebut mampu menjadi pegangan pemerintah dalam penerapan pendidikan dalam kondisi darurat.

 

Koalisi Selamatkan Anak Indonesia

LaporCovid-19 | LBH Jakarta | Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) | Center for Education
Regulations and Development Analysis (Cerdas) | YLBHI| LBH Rakyat Banten | Surabaya Children
Crisis Center (SCCC)

 

Contact Person:

Yemiko Happy, Lapor Covid-19 – 081358982549
Charlie Albajili, Pengacara Publik LBH Jakarta – 087819959487
Iman Zanatul Haeri, Ketua Advokasi – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) – 081297249429

 

Silahkan unduh siaran pers ini melalui tautan berikut

Pemerintah Dituntut Tinjau Ulang Pembelajaran Tatap Muka Lantaran Data Epidemiologis Tak Akurat

Pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas dinilai berisiko. Masyarakat sipil menilai proteksi bagi anak dari penularan Covid-19 tak maksimal lantaran data epidemiologis yang dijadikan landasan pelaksanaan PTM tidak akurat. Koalisi Selamatkan Anak Indonesia (KSAI) mengajukan surat desakan kepada pemerintah agar meninjau kembali kebijakan PTM terbatas.

5 Alasan PTM Seharusnya Belum Digelar Versi LaporCovid-19

Jakarta, CNN Indonesia — Kelompok relawan?LaporCovid-19 menyebut?Pembelajaran Tatap Muka atau PTM?tidak seharusnya dilakukan saat ini?dengan sejumlah alasan, mulai dari angka?vaksinasi hingga potensi kematian anak.
Diketahui, Surat Bersama Empat Menteri Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Masa Pandemi Covid-19 menjadi dasar PTM mulai 30 Agustus 2021 pada wilayah PPKM 1-3.

5 Alasan PTM Seharusnya Belum Digelar Versi LaporCovid-19

Jakarta, CNN Indonesia — Kelompok relawan LaporCovid-19 menyebut Pembelajaran Tatap Muka atau PTM tidak seharusnya dilakukan saat ini dengan sejumlah alasan, mulai dari angka vaksinasi hingga potensi kematian anak. Diketahui, Surat Bersama Empat Menteri Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Masa Pandemi Covid-19?menjadi dasar PTM?mulai 30 Agustus 2021 pada wilayah PPKM 1-3.