Sebagian Besar Penyintas Covid-19 dan Keluarganya Mendapat Stigma

Sebagian Besar Penyintas Covid-19 dan Keluarganya Mendapat Stigma

 

JAKARTA, 27 Agustus 2020 – Pandemi Covid-19 terus membesar dan menelan banyak korban jiwa, serta menimbulkan masalah ekonomi. Di Indonesia, wabah ini juga menjadi sumber masalah sosial, salah satunya problem stigmatisasi.

Stigmatisasi atau asosiasi negatif terhadap seorang yang mengalami gejala atau terkonfirmasi Covid-19, penyintas, maupun keluarganya ini tak hanya menjadi persoalan bagi korban. Padahal, semestinya Mereka yang mengalami gejala, menderita, maupun penyintas Covid-19 mendapatkan dukungan.

Namun, hal ini telah menjadi masalah sosial yang mempersulit upaya untuk menangani wabah ini. Merespon situasi ini, Laporcovid-19 bekerjasama dengan Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyelenggarakan survei untuk memahami lebih jauh tentang stigma sosial terkait Covid-19. Selain itu, kami berharap, dari survei ini bisa menjadi materi edukasi untuk melawan stigmatisasi.

Metode

Responden survei adalah mereka yang pernah mengalami gejala,sedang sakit, maupun penyintas Covid-19, baik dari kalangan tenaga kesehatan maupun masyarakat luas. Survei dilakukan secara online dengan menggunakan metode convenience sampling. Survei dilakukan dari tanggal 7-16 Agustus 2020 dan disebarkan melalui aplikasi WhatsApp ke beberapa komunitas penyintas Covid-19 dan jaringan lainnya dan menjaring 279 responden. Setelah uji validitas dilakukan, terdapat jumlah total 181 responden yang valid.

Hasil Survei

Demografi

Proporsi jenis kelamin didominasi oleh perempuan dengan jumlah responden lebih dari separu (55,8%). Lebih dari setengah responden berprofesi sebagai tenaga Kesehatan (dokter, perawat, dsb) yakni sebesar 56,4%, diikuti oleh pekerjaan lain yang tidak tertera di form survei sebanyak 32%. Tingkat pendidikan para responden umumnya pendidikan tingkat lanjut, yakni sarjana 59,1%, magister 16,6%, dan diploma 13,3%. Sementara usia responden didominasi oleh kelompok usia 26-35 tahun sebesar 41,4%. Responden survei ini Sebagian besar diisi oleh orang yang terinfeksi/terkonfirmasi Covid-19 sebesar 63,5% (115 orang).

Temuan

Dari survei ini ditemukan, lebih dari separuh responden (55%) mengaku dijadikan buah bibir (diperbincangkan) oleh orang-orang di sekitar mereka karena status mereka terkait Covid-19. Sepertiga (33%) dijauhi atau mengalami pengucilan, dan seperempatnya (25%) mendapat julukan penyebar atau pembawa virus. Hampir 10% pernah mengalami perundungan (bully) di media sosial. Stigmatisasi juga dialami oleh keluarga responden. Sebanyak 42% menjadi buah bibir atau digosipkan dan hampir sepertiga (27%) anggota keluarga mengalami situasi dijauhi atau dikucilkan. Sebanyak 15% pernah mendapat julukan penyebar atau pembawa virus. Sebagian anggota keluarga (7%) pernah mengalami penolakan untuk mendapatkan dan menggunakan layanan fasilitas umum.

Dalam survei ini juga ditemukan, sebagian besar yang paling mendapat stigma adalah perempuan. Penyebab perlakukan ini, sebanyak 43 % karena masyarakat kurang mendapat informasi atau mendapat informasi yang keliru. Sebagian lain (42%) beranggapan karena masyarakat takut. Stigma ini mulai didapatkan saat orang diduga terinfeksi, dan semakin besar saat statusnya menjadi positif Covid-19.

Stigma juga dialami keluarga penyintas Covid-19, mulai dari menjadi buah bibir, dikucilkan, perundungan di media sosial, dibiarkan tidak mendapat bantuan, pengusiran, hingga dilarang menggunakan kendaraan umum.

Stigma ini berdampak negative bagi penyintas. Sebanyak 51 persen responden merasa khawatir, sebagian lagi merasa sedih, khawatir, takut, kecewa, hingga mati rasa. Bagi mereka yang pernah atau sedang terpapar atau penyintas Covid-19 dapat merasakan mendapat dukungan dengan ditanyai kabar (70%), kembali beraktivitas seperti semula (70%), mendapat perhatian dengan diberi hadiah atau barang pemberian (30%), diberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka (33%) atau testimoni (29%).

Survei ini menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu secara serius menangani masalah stigma terkait Covid-19. Pemerintah perlu menjalankan komunikasi kepada publik yang memuat fakta, informasi akurat, dan tidak membingungkan mengenai Covid-19 dan penularannya untuk menghentikan stigma. Perlu mengoreksi dan meluruskan rumor, gosip, atau hoax terkait Covid-19 yang ada di masyarakat sesegera mungkin koreksi mereka yang bahasanya mempromosikan bias.

Selain itu, perlu dibentuk platform untuk menyuarakan suara dan pengalaman penyintas dan mereka yang terstigma beserta platform bagi baik masyarakat umum maupun penyintas untuk memberikan dukungan dan saling menguatkan.

Kontak info:

  • Dicky Pelupessy, PhD, Peneliti utama 0818-824-402
  • Maria Bramanwidyantri, MA, tim Kampanye Hentikan Stigma Covid-19 0819-0807-9882

Instagram: @laporcovid19 | Twitter: @Laporcovid | FaceBook: Lapor Covid 19 | YouTube: Lapor Covid 19

Citizen Data Initiative Shows Much Higher Indonesia COVID-19 Toll

According to LaporCOVID-19, the number of COVID-related death to be at least 16,000 as of mid-August? as opposed to the 6,021 tabulated by the official tally.

?[From] the start, we believe this underreporting should be uncovered because that is what actually shows the magnitude of the pandemic. The data reflects the actual situation in the field. No data is hidden, and no data is manipulated,? said Dr Irma Hidayana.

Persepsi Risiko Surabaya

Persepsi Risiko Surabaya

Faktor sosial merupakan elemen tak kalah penting dalam penanganan Covid-19. Bersama faktor lainnya, termasuk pengendalian di bidang kesehatan masyarakat, epidemiologi dan lain sebagainya, pertimbangan situasi masyarakat menentukan pengambilan kebijakan yang tepat dalam menangani pandemi di tengah masyarakat. untuk itu, LaporCovid19.org and Social Resilience Lab NTU menyelesaikan studi Persepsi Risiko Warga Surabaya pada fase New Normal.

Dengan jumlah responden lebih dari 2.895 orang, di tengah angka kasus Covid-19 yang terus meningkat selama fase tatanan kehidupan baru siapkah warga Surabaya menjalani fase “New Normal?

Ringkasan Hasil Survey

Konferensi Pers

Warga Surabaya Belum Siap Menghadapi Pelonggaran Pembatasan Sosial

Warga Surabaya Belum Siap Menghadapi Pelonggaran Pembatasan Sosial

 

Jakarta, 15 Juli 2020 Kota Surabaya adalah salah satu episentrum penyebaran virus corona setelah DKI Jakarta. Paska tidak diperpanjangnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya, aktivitas warga mulai dilonggarkan. Pada saat yang sama jumlah peningkatan kasus infeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) semakin tinggi. Merespon situasi ini, LaporCovid-19 bersama Social Resilience Lab, Nanyang Technological University (NTU) melalukan survei persepsi risiko Covid-19 di kalangan warga Kota Surabaya. Tujuan survei ini adalah untuk mengetahui tingkat pemahaman, pengetahuan, serta perilaku masyarakat terkait risiko Covid-19.

Studi ini dilakukan dari tanggal 19 Juni hingga 10 Juli 2020 dan berhasil mendapatkan 5.904 responden yang tersebar di seluruh wilayah kota Surabaya. Setelah uji validitas dilakukan, terdapat jumlah total 2,895 responden yang valid.

Metode dan Hasil

Kami menggunakan Metode Quota Sampling berdasarkan variabel penduduk per kelurahan yang ada di Kota Surabaya. Survei online dilakukan melalui platform Qualtrics yang disebar melalui aplikasi pesan instan (WhatsApp) melalui bantuan tim Humas Pemerintah Kota Surabaya serta Jaringan komunitas warga.

Studi persepsi risiko ini menggunakan tiga metode analisa, yaitu statistik deskriptif untuk mendapatkan gambaran demografi responden serta informasi dasar terkait variabel studi; analisa Spearman rho untuk mengukur korelasi antar variabel dan faktor demografi; dan formulasi pengukuran indeks persepsi risiko (Risk Perception Index) yang digunakan untuk mengukur kecenderungan umum dari persepsi risiko responden terhadap situasi pandemi dengan memasukkan 6 variabel, yakni Risk Perception, Self-Protection, Information, Knowledge, Social Capital, dan Economy.

Sebanyak 40,2% responden adalah perempuan. Dari aspek pendidikan, sebagian besar responden adalah lulusan Sarjana (47,1 persen) dan SMA (36,1 persen). Sebagian besar responden adalah pegawai swasta (36,6 persen), diikuti oleh Ibu Rumah Tangga (15,8 persen) dan PNS/ASN (15,5%). Dari sisi risiko kesehatan terhadap infeksi Covid-19, sebanyak 21 % persen responden memiliki riwayat/sedang mengindap penyakit komorbiditas.

Temuan

Secara keseluruhan, skor Risk Perception Index (RPI) warga Surabaya adalah sebesar 3,42, artinya, secara deskriptif, skor ini berarti warga Surabaya secara umum memiliki tingkat persepsi risiko yang cenderung Agak Rendah. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa kebijakan, skor ini menunjukkan bahwa pelonggaran pembatasan sosial belum bisa diterapkan secara penuh di Surabaya akibat masih rendahnya tingkat persepsi risiko warga.


Survei ini dipimpin oleh Sulfikar Amir dari NTU, salah satu kolaborator ahli Laporcovid19.org. Beliau bisa dihubungi di: +62 821-1728-6288

Instagram: @Laporcovid19
Twitter: @LaporCovid
FB: Lapor Covid 19
Siaran ulang bisa disaksikan di YouTube Lapor Covid 19

Materi Presentasi Sulfikar Amir, PhD

unduh versi PDF

Warga DKI Kurang Siap Menghadapi New Normal

SIARAN PERS

Warga DKI Kurang Siap Menghadapi New Normal

 

Jakarta, 5 Juli 2020 Selama sekitar sebulan sejak diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pada fase tatanan kehidupan baru atau “New Normal,” angka penambahan kasus Covid-19 di wilayah DKI Jakarta terus meningkat. Seiring dengan meningkatnya jumlah tes berbasis molekuler yang dilakukan, transmisi kasus masih menunjukkan peningkatan. Di saat bersamaan, pengguna transportasi umum Transjakarta dan Commuter Line mengalami peningkatan secara bertahap, sehingga membutuhkan perhatian dan pemantauan khusus sebagai bagian dari pencegahan penyebaran COVID19. Per Senin (28/7) pengguna Transjakarta capai 200.000 padahal rute yang berjalan cuma 29 saja.

Melalui Program Active Case Finding, Dinas Kesehatan bahkan telah menemukan transmisi virus Corona terjadi di sejumlah pasar tradisional dengan 345 pedagang positif. Setidaknya ada 303 pasar tradisional tersebar di seluruh DKI Jakarta, namun hingga hari ini Pemprov DKI Jakarta baru melakukan pengetesan di 128 pasar.

Merujuk pada acuan Badan Kesehatan Dunia (WHO), salah satu syarat pelonggaran pembatasan sosial adalah positivity rate dibawah 5% yang artinya prosentase jumlah pasien positif yang dites berbasis molekuler tidak lebih dari 5%. Khusus untuk DKI Jakarta, meskipun ada kecenderungan menurun, rerata angka positif di DKI Jakarta beberapa kali meningkat. Bahkan, pada 26 Juni 2020 positivity rate mencapai 7.1%. Artinya angka rerata positif masih fluktuatif.

Merespon hal ini,LaporCovid-19.orgbersama Social Resilience Lab, NTU melakukan studi berbasis survei untuk memetakan persepsi risiko warga terhadap Covid-19. Studi ini dilakukan dari tanggal 29 Mei hingga 20 Juni 2020 dan berhasil mendapatkan lebih dari 200.000 responden yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta. Setelah uji validitas dilakukan, terdapat jumlah total 154,471 responden yang valid.Sebelumnya, pada empat hari awal masa studi, terdapat sebanyak 3,079 responden yang valid. Saat itu kami mendapatkan bahwa persepsi warga DKI terhadap New Normal cendenrung kurang siap (3.46).

Metode dan Hasil

Dengan menggunakan Metode Quota Sampling berdasarkan variable penduduk per kelurahan, survei online dilakukan melalui platform Qualtrics yang disebar melalui aplikasi pesan instan (WhatsApp) kepada warga DKI Jakarta. Penyebaran survei dilakukan melalui jaringan Palang Merah Indonesia (PMI), Biro Tata Pemerintahan DKI Jakarta, Beberapa camat di DKI Jakarta, dan Jaringan komunitas warga.

Studi ini menggunakan tiga metode analisa, yaitu statistik deskriptif untuk mendapatkan gambaran demografi responden serta informasi dasar terkait variabel studi; analisa Spearman rho untuk mengukur korelasi antar variabel dan faktor demografi; dan formulasi pengukuran indeks persepsi risiko (Risk Perception Index) yang digunakan untuk mengukur kecenderungan umum dari persepsi risiko responden terhadap situasi pandemi dengan memasukkan 6 variabel, yakni Risk Perception, Self-Protection, Information, Knowledge, Social Capital, dan Economy.

Sebanyak 65.2% responden adalah perempuan. Dari aspek pendidikan, sebagian besar responden adalah lulusan SMA (58.47 persen) dan Sarjana (19.39 persen). Sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga (47.28 persen), diikuti oleh pekerja swasta (21.60%) dan mahasiswa sebesar 2.3 persen saja. Dari sisi risiko Kesehatan terhadap infeksi Covid-19, sebanyak 85.76 persen responden mengaku tidak mengetahui/tidak memiliki komorbiditas.

Secara keseluruhan, skor Risk Perception Index (RPI) Jakarta adalah sebesar 3.30 (skala 5) atau turun 0.16 dari temuan di awal studi. Secara deskriptif, skor ini berarti warga DKI secara umum memiliki tingkat persepsi risiko yang cenderung Agak Rendah. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa kebijakan, skor ini mengindikasikan masih kurang siapnya warga DKI memasuki era New Normal di mana kegiatan sosial ekonomi dibuka secara penuh.

Selain skor RPI yang rendah, ada tiga temuan penting dari survei persepsi risiko ini. Pertama, secara keseluruhan warga DKI memiliki perilaku menjaga diri yang baik. Ini ditunjukkan dari skor variabel Self Protection yang tinggi yang mencakup tiga aspek utama, yakni penggunaan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Tetapi di sisi lain, nilai variabel persepsi risiko sangat rendah. Hal ini mengindikasikan kuatnya kecenderungan warga DKI untuk menganggap remeh wabah Covid-19. Sebagian besar responden percaya bahwa kemungkinan mereka tertular Covid-19 itu sangat kecil. Hal ini berkorelasi dengan kondisi ekonomi di mana sebagian besar responden merasakan dampak ekonomi secara signifikan sehingga mempengaruhi persepsi atas risiko Covid-19.

 

 

Survei ini dipimpin oleh Sulfikar Amir (+62 821-1728-6288) dari NTU, salah satu kolaborator ahli LaporCovid-19

Siaran ulang bisa disaksikan di kanal YouTube Lapor Covid 19

Silahkan unduh siaran pers berikut melalui tautan ini

Materi Presentasi Sulfikar Amir, PhD

unduh versi PDF

Materi Presentasi Elisa Sutanudjaja

unduh versi PDF

Peta Rataan Risk Perception Index DKI Jakarta


Peta olahan dengan resolusi tinggi bisa diunduh disini
Diolah oleh:

Jonathan Hardianto Wibisono
Peneliti di Rujak Center for Urban Studies

 

PROGRAM KOLABORASI RISET DAN PELIPUTAN COVID-19

?Menyingkap Kematian Covid-19 yang Tak Tercatat?

1. Latar Belakang

Pendataan yang akurat dan transparan, termasuk data tentang kematian, merupakan kunci penanganan pandemi Covid-19. Data tentang jumlah kematian mengindikasikan besaran skala pandemi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memberi panduan agar orang meninggal dengan gejala diduga Covid-19 juga dimasukkan sebagai korban pandemi, selain juga yang telah terkonfirmasi positif melalui pemeriksaan molekuler. Namun di Indonesia, definisi kematian akibat Covid-19 masih dibatasi hanya kepada orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. Padahal, keterbatasan kemampuan pemeriksaan dan pencatatan yang tidak lengkap menyebabkan jumlah kematian yang dilaporkan mungkin masih lebih kecil dibandingkan dengan angka sesungguhnya.

2. Program Kolaborasi Riset dan Peliputan COVID-19

Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Laporcovid-19 dan The Conversation Indonesia bekerja sama menyelenggarakan Program Kolaborasi Riset dan Peliputan bagi jurnalis yang mendalami soal Covid-19. Tujuan program ini adalah:

a) Mengumpulkan secara sistematik informasi dan data terkait dengan jumlah dan distribusi kematian yang berkaitan dengan COVID-19.
b) Menganalisis data dan situasi COVID-19 menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
c) Meningkatkan pengalaman dan kapasitas jurnalis di Indonesia terkait liputan Covid-19 yang lebih mendalam (news analysis atau in-depth reporting) dengan pendekatan jurnalisme data.

3. Deskripsi Program

Program Kolaborasi Riset dan Pelipuran COVID-19 ini fokus kepada liputan “under reporting” kematian akibat Covid-19 dan implikasinya terhadap masyarakat. Program ini ditujukan kepada jurnalis yang bekerja untuk platform online atau cetak. Setiap peserta program akan mendapatkan pelatihan dan mentoring dari jurnalis senior dan juga saintis dalam hal pengumpulan data, analisis, dan penulisan. Durasi program selama 10 bulan (Juni 2020 ? Maret 2021).

4. Kriteria Pelamar

    1. Jurnalis dari media cetak dan online (tetap, kontributor, freelance), dengan pengalaman kerja minimal 5 tahun.
    2. Memiliki wilayah liputan di salah satu kota berikut yaitu Jakarta, Tangerang, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Lombok.
    3. Mendapat dukungan dari pemimpin redaksi dari media bersangkutan untuk mempublikasikan karya jurnalistik selama program peliputan. Dukungan dibuktikan dengan adanya surat dari pemimpin redaksi yang dkirim ke tim mentor.
    4. Mengirimkan dokumen aplikasi paling lambat 22 Juni 2020 jam 23.59 WIB ke email: fellow.indocovid19@gmail.com, yaitu:
      ? CV, foto copy kartu pers, foto copy KTP dan foto diri terbaru
      ? Contoh hasil tulisan yang pernah di terbitkan dalam 2 tahun terakhir (lampirkan bukti terbit)
      ? Satu esai dengan topik ?Identifikasi Masalah Pencatatan Kematian Akibat COVID-19? (minimal 400 kata, spasi 1,5, jenis huruf/font times new roman ukuran 12).
      ? Term of Reference (TOR) rencana liputan sepanjang minimal 200 kata yang sesuai dengan topik ini.

5. Perekrutan

Tim mentor jurnalis, saintis dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Laporcovid-19 dan The Conversation Indonesia akan memilih masing-masing satu orang peserta untuk setiap wilayah liputan. Peserta yang terpilih akan dihubungi oleh tim mentor.

6. Hak dan Kewajiban Peserta Program

Hak Peserta Program

    • Setiap peserta akan mendapatkan biaya pendukung penggalian informasi dan data per bulan sebesar Rp 2.750.000 selama 10 bulan. Di akhir program, peserta yang menyelesaikan laporan liputan akhir akan mendapatkan tambahan Rp 2.500.000, sehingga total dukungan yang diberikan selama program sebesar Rp 30.000.000 untuk tiap peserta.
    • Mendapatkan sertifikat Program dari EOCRU, LaporCovid dan The Conversation Indonesia.

Kewajiban Peserta Program

    • Bersedia mengikuti rangkaian kegiatan Program Kolaborasi Riset dan Peliputan yang telah disusun oleh tim mentor.
    • Mengikuti seluruh pelatihan metodologi riset dan sosialisasi instrumen pengumpulan data yang diselenggarakan secara daring.
    • Melakukan kegiatan pengumpulan data, dan informasi tentang kematian akibat Covid-19, dokumentasi (foto/video) serta transkrip wawancara narasumber mengenai perkembangan kasus kematian Covid-19 di daerahnya masing-masing.
    • Mengirimkan data, dokumentasi dan laporan secara daring kepada pusat data LaporCovid-19/EOCRU secara reguler.
    • Menyusun laporan dan mempublikasi hasil laporan mendalam baik selama program ataupun di akhir program. Publikasi baru bisa dilakukan jika laporannya telah disetujui oleh tim mentor.
    • Memasukkan hasil temuan ke dalam tulisan di media masing-masing.
    • Peserta menyetujui karya liputannya juga dipublikasikan di website Laporcovid19.org.
    • Jika suatu saat dibutuhkan, bersedia menjadi narasumber diskusi dan publikasi data dan informasi terkait program kolaborasi ini.

Kontak tim:
Email: fellow.indocovid19@gmail.com

Liputan Mendalam Kematian terkait Covid 19

Mereka yang Meninggal dan Dinyatakan Negatif Covid-19

Selama berlangsungnya pandemi ini, perhatian berbagai pihak lebih banyak tertuju pada pasien-pasien yang dinyatakan positif Covid-19. Pemberitaan mengenai kasus positif baru, pasien positif yang meninggal, atau mereka yang telah sembuh setelah dinyatakan positif Covid-19, terus-menerus hadir di media massa dan media sosial.

Perhatian itu tentu tak salah. Sebab, kasus positif memang menjadi salah satu indikator utama dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Namun, di tengah hiruk-pikuk informasi itu, tampaknya ada yang sedikit terlupakan.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), salah satu yang seolah terlupakan itu adalah para pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal dunia dan kemudian dinyatakan negatif Covid-19. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa jumlah PDP meninggal dengan status negatif Covid-19 di DIY ternyata cukup banyak.

Berdasar data Pemda DIY, sampai 4 Juni 2020, ada 68 PDP meninggal dengan status negatif Covid-19 di provinsi itu. Jumlah ini jauh lebih banyak dibanding jumlah pasien positif Covid-19 di DIY yang meninggal, yakni 8 orang.

Dari data itulah sejumlah jurnalis di Yogyakarta tergerak untuk berkolaborasi membuat liputan mendalam tentang para PDP meninggal dengan status negatif Covid-19. Berdasar data dari berbagai pihak, liputan kolaborasi itu menemukan adanya dugaan masalah dalam penetapan status negatif Covid-19 terhadap sejumlah PDP meninggal.

Salah satu masalah yang ditemukan dalam liputan ini adalah adanya sejumlah PDP meninggal yang belum menjalani swab, tetapi kemudian dinyatakan negatif Covid-19. Kenapa masalah ini bisa muncul? Apa dampak persoalan ini terhadap penanganan Covid-19 di DIY? Silakan membaca rangkaian laporan di bawah ini.

Sebagian besar laporan ini diterbitkan secara serentak pada Jumat, 5 Juni 2020. Sementara itu, salah satu liputan dalam kolaborasi ini telah ditayangkan di televisi pada Kamis, 4 Juni kemarin. Rangkaian laporan ini adalah seri ketiga kolaborasi liputan terkait Covid-19 yang dilakukan beberapa jurnalis Yogyakarta.

Sama dengan liputan kolaborasi seri kedua, kali ini kami juga melakukan peliputan berbasis jurnalisme data. Kami menilai strategi kolaborasi dan jurnalisme data penting dilakukan di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir.

Berikut adalah hasil liputan kolaborasi tersebut:

Patgulipat Data PDP Meninggal di DIY, Belum Dites tapi Dinegatifkan

Misteri ?Hilangnya? Corona dari PDP Meninggal di Yogyakarta

Di Balik Data Corona DIY: PDP Meninggal Tak Diswab Kategori Negatif

Status Pasien Corona dan Problem Penyusunan Data

Pemerintah Diminta Lebih Agresif Terkait Diagnosis Pasien Corona

Menyoal Bias Penetapan Pasien Negatif Korona di Yogyakarta

Pemda DIY Negatifkan Kasus Covid-19 Tak Sesuai Aturan Kemenkes

Belum Dua Kali Swab, PDP Meninggal di DIY Dianggap Negatif COVID-19?

Jakarta not ready to enter ?new normal?, LaporCOVID-19 survey suggests

A survey conducted by LaporCOVID-19 (Report COVID-19) community reveals that Jakarta is not yet ready to enter the so-called ?new normal? as the capital is gearing up to ease social restrictions.? Based on the survey, the group has expressed concern that the new normal policy might instead cause a spike in transmission as there is low risk perception of COVID-19 among Jakarta residents.? The survey took place between May 29 and June 2 in collaboration with Singapore?s Nanyang Technology University (NTU) Social Resilience Lab. It was aimed at finding how Jakartans perceive the risk of COVID-19 using a risk perception index developed from sociological theories of risk. On a scale of 1 to 5, where 1 equals critically low, Jakartans scored 3.46 in the risk perception index, meaning they were between ?rather low? and ?rather high?.? NTU associate professor Sulfikar Amir said the score should be 4 or higher for the capital to apply the new normal policy.

Siapkah Warga DKI Jakarta Memasuki New Normal

Siapkah Warga DKI Jakarta Memasuki New Normal?

 

Jakarta, 4 Juni 2020. Perilaku keselamatan masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam mengatasi pandemi Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyebutkan, salah satu syarat yang harus dipenuhi negara sebelum memasuki new normal adalah pelibatan dan partisipasi masyarakat.

Terkait hal ini, LaporCovid19.org berkolaborasi dengan Social Resilience Lab Nanyang Technological University (NTU), Singapura, melakukan survei sosial untuk mengukur tingkat kesiapan warga DKI Jakarta dalam menghadapi era new normal yang telah diwacanakan pemerintah. Survei ini mengukur tingkat persepsi risiko dan perilaku warga Jakarta yang mencakup enam variabel: persepsi risiko, pengetahuan, informasi, perlindungan diri, modal sosial, dan ekonomi.

Dengan menerapkan metode Quota Sampling dengan variabel penduduk per kelurahan, survei online dilakukan dengan menggunakan Qualtrics yang disebar melalui aplikasi pesan instan (WhatsApp) kepada warga DKI Jakarta. Penyebaran survei dilakukan melalui jaringan Palang Merah Indonesia (PMI), Biro Tata Pemerintahan DKI Jakarta, dan beberapa kontak kecamatan di DKI Jakarta. Selain itu, survei juga disebarkan secara acak melalui berbagai kontak jaringan komunitas di DKI Jakarta. Survei dilaksanakan sejak Jumat 29 Mei hingga 2 Juni 2020 dan berhasil mengumpulkan responden valid sebanyak 3.079. Analisa dilakukan dengan menggunakan formula Spearman rho.

Tingkat pendidikan responden banyak termasuk dalam pendidikan lanjut, yaitu lulusan SMA (40,08 persen) dan Sarjana (41,86 persen). Sementara jenis pekerjaan cukup merata di sektor informal dan formal. Proporsi paling besar adalah sebagai mahasiswa (31,89 persen), diikuti bidang swasta (27,46 persen).

Dari sisi risiko Kesehatan terhadap infeksi Covid-19, responden dengan penyakit kormobid tersebar di lima jenis penyakit, yaitu jantung, diabetes, hieprtensi, TBC, dan masalah paru-paru lainnya. Proporsi responden dengan penyakit bawaan jauh lebih rendah dibandingkan responden tanpa penyakit bawaan. Saat ini survei ini masih berlangsung. Namun melihat urgensinya, kami menganalisis data yang masuk, dan untuk sementara hasilnya bisa disampaikan sebagai berikut:

a. Para responden memiliki kecenderungan yang cukup kuat untuk melindungi diri.
b. Meskipun tingkat pengetahuan responden mengenai Covid-19 menunjukkan cukup baik, namun responden masih mereka masih membutuhkan informasi yang pasti, tepat, dan lebih akurat tentang pandemi yang berasal dari sumber informasi yang dipercaya publik.
c. Kondisi sosial dan ekonomi yang cukup memprihatinkan mempengaruhi rendahnya persepsi risiko secara umum.
d. Secara keseluruhan dari aspek sosial ini, warga DKI belum siap memasuki era “new normal” setidaknya sampai tingkat persepsi risiko cukup tinggi (>4.00) sehingga perilaku keselamatan menjadi lebih baik.

Berdasarkan temuan di atas, survei ini menunjukkan bahwa meskipun telah merasa cukup memiliki informasi, pengetahuan, wawasan, modal sosial, serta kecenderungan kuat untuk berhatihati agar tidak terpapar virus corona, namun warga DKI merasa belum siap memasuki era “New Normal.” Karenanya, wacana pemberlakuan tatanan kehidupan baru “New Normal” belum saatnya diberlakukan bagi warga DKI Jakarta.

Baca selengkapnya melalui tautan berikut