KSP Sebut Pandangan Politik Pemprov-Pusat Kendala Vaksinasi

Jakarta, CNN Indonesia — Deputi Bidang Kemanusiaan Kantor Staf Presiden (KSP), Abetnego Panca menyebut ada pemerintah provinsi yang sengaja tidak mendistribusikan vaksin Covid-19 ke tingkat kabupaten/kota karena punya pandangan politik yang berbeda dengan pemerintah pusat. Abetnego bicara demikian dalam acara Paparan Kajian Lapor Covid-19: Kekuasaan dan Peran Militer dalam Merespon Pandemi Covid-19, Rabu (18/8).

Negara Harus Menjamin Pembiayaan Perawatan Pasien Covid-19

SIARAN PERS

KOALISI UNTUK KEADILAN AKSES KESEHATAN

Negara Harus Menjamin Pembiayaan Perawatan Pasien Covid-19

 

18 Agustus 2021 Pemerintah Indonesia telah berkomitmen menanggung seluruh biaya perawatan pasien Covid-19 sebagaimana memang diwajibkan konstitusi. Sayangnya, hingga kini masih banyak ditemukan kasus keluarga pasien yang terpaksa harus membayar biaya perawatan Covid-19 kepada Rumah Sakit bahkan hingga ratusan juta rupiah.

Komitmen pemerintah menanggung seluruh biaya perawatan pasien Covid-19 dapat ditemukan dengan ditetapkannya Covid-19 sebagai penyakit yang menimbulkan wabah dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/MENKES/104/2020. Dengan diterbitkannya penetapan tersebut, maka merujuk pada ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2016 tentang Pembebasan Biaya Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu, pembiayaan pasien Covid- 19 yang dirawat dapat diklaim ke Kementerian Kesehatan melalui Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan. Aturan hukum telah jelas menegaskan tanggung jawab negara dalam menjamin biaya perawatan Covid-19 warganya.

Pemerintah wajib menanggung biaya perawatan pasien Covid-19 apapun metode perawatannya sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam penanganan wabah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 UU No. 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 8 UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, Pasal 19 UU 36/2009 UU tentang Kesehatan menyatakan Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau. Hal ini adalah kewajiban dalam situasi kedaruratan kesehatan yang sebagai konsekuensi hukum Keppres 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Presiden juga mengeluarkan Keppres 12/2020 tentang Status Darurat Bencana Nasional Nonalam. Hal ini memiliki kewajiban turunan yaitu pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap orang yang terkena bencana. Kebutuhan dasar ini tentu salah satunya terkait kesehatan.

Faktanya, masyarakat masih banyak yang harus menanggung sendiri biaya perawatan Covid-19 yang sangat mahal.

Pertama, masih banyak Rumah Sakit (RS) Rujukan Covid-19 yang menagih biaya perawatan kepada pasien Covid-19. Sejak akhir awal tahun 2021, LaporCovid-19 menerima sedikitnya 26 laporan warga yang mengeluhkan mengenai pembiayaan perawatan dan pembelian obat-obatan di Rumah Sakit. Seorang pelapor di DKI misalnya mengeluhkan tagihan sebesar sekitar 600 juta rupiah saat ibunya dirawat karena Covid-19 pada Juni 2021. Laporan lain juga didapat dari daerah Denpasar di mana keluarga diminta RS untuk membeli obat Gammaraas harganya senilai 220 juta rupiah pada Juli 2021. LBH Jakarta juga menerima pengaduan pasien yang diminta membayar hingga 225 juta rupiah oleh RS dengan alasan jangka waktu perawatan yang dibiayai pemerintah hanya 14 hari saja.

Kasus-kasus ini jelas menyimpangi berbagai ketentuan hukum di atas dan sangat menambah penderitaan pasien dengan biaya yang sangat mahal. Padahal, beberapa di antara RS tersebut adalah rujukan Covid-19 yang dapat mengklaim biaya perawatan pasien Covid-19 kepada Kementerian Kesehatan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 4344 Tahun 2021. Oleh karena itu diperlukan tindakan pemanggilan, pemeriksaan, dan pemberian sanksi kepada RS yang melanggar Keputusan Menteri Kesehatan No. 4344 Tahun 2021 tersebut.

Permintaan biaya oleh RS ke pasien dan keluarga pasien perlu dilihat kemungkinan kaitannya dengan tunggakan Pemerintah kepada RS terkait penanganan Covid. Per tanggal 6 Juli 2021 tunggakan tagihan perawatan pasien Covid-19 ke sejumlah rumah sakit sebesar Rp. 2,69 triliun. Per tanggal 9 Juli 2021 Kementrian Keuangan mengatakan pembayaran kepada RS sebesar 10,6 triliun dan masih ada tunggakan sebesar 11, 97 triliun. Tunggakan ini juga serupa dengan tunggakan insentif tenaga Kesehatan. Pemerintah harus menjamin bahwa tunggakan tersebut harus segera dibayarkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya agar masyarakat tidak dirugikan akibat birokrasi yang lamban.

Kedua, pasien isolasi mandiri masih sulit mendapatkan obat-obatan gratis yang disediakan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh moda layanan yang bias kelas dan tidak aksesibel bagi yang tidak memliki perangkat digital, tidak melek tekonologi atau tidak memiliki kuota. Persyaratan KTP luar daerah juga masih marak jadi persoalan sulitnya mengakses obat gratis. Lebih parah lagi, biaya obat-obatan yang dijual di pasaran juga naik berkali lipat akibat kelangkaan beberapa jenis obat. Laporan warga yang diterima oleh LaporCovid-19 menunjukan bahwa kesulitan warga dalam mendapatkan obat-obatan yang disediakan oleh puskesmas saat melakukan isolasi mandiri juga disebabkan oleh habisnya stok obat-obatan di puskesmas. Akibatnya, warga harus membeli obat-obatan tersebut dengan biaya sendiri.

Lonjakan kasus Covid-19 di pertengahan tahun 2021 juga ikut memperparah situasi ini, di mana banyak warga yang terpaksa dirawat di rumah sakit swasta non rujukan Covid-19 dan harus membayar biaya perawatan sendiri karena rumah sakit rujukan Covid-19 sudah penuh dan tidak dapat menampung pasien Covid-19.

Hal-hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam pemenuhan hak atas kesehatan warga negara dan memastikan warga negara mendapatkan layanan kesehatan yang setara dan mudah dijangkau.

Melihat situasi ini, Koalisi Warga untuk Akses Keadilan Kesehatan mendesak pemerintah (Presiden RI cq. Kementerian Kesehatan) untuk:

  1. Menjamin seluruh pembiayaan perawatan pasien Covid-19 di seluruh fasilitas kesehatan maupun isolasi mandiri ditanggung oleh negara dengan sistem yang terukur, aksesibel dan transparan;
  1. Melakukan evaluasi dan pembenahan terhadap RS yang menyelenggarakan pelayanan Covid-19, sistem klaim biaya perawatan RS kepada pemerintah, juga tunggakan pembayaran dari pemerintah kepada RS untuk menjamin seluruh biaya pengobatan dan perawatan pasien Covid-19 ditanggung negara dan tidak dibebankan kepada masyarakat sebagaimana diwajibkan peraturan perundang-undangan;
  1. Mengatur ketentuan untuk melakukan klaim pembiayaan perawatan Covid-19 pada fasilitas layanan kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, dan bukan menjadi rujukan Covid-19 terutama di saat kasus melonjak, saat ketersediaan kamar di RS rujukan penuh sehingga tidak pasien harus mencari perawatan di RS manapun;
  1. Memanggil, memeriksa dan memberikan sanksi kepada RS yang masih menarik biaya perawatan Covid-19 kepada pasien.

 

Hormat Kami,
Koalisi Warga untuk Akses Keadilan Kesehatan

LBH Jakarta, YLBH, LaporCovid-19,
Forum Bantuan Hukum Untuk Kesetaraan (FBHUK),
LBH Masyarakat, TI Indonesia

Narahubung:

Amanda – LaporCovid-19 (+62 85866044058)

Charlie – LBH Jakarta (+62 87819959487)

 

Siaran pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut

Kekuasaan dan Militer Dalam Merespon Pandemi: Bukti dari Lapangan

Kekuasaan dan Militer Dalam Merespon Pandemi: Bukti dari Lapangan

 

Indonesia menjadi negara dengan jumlah kematian dan kasus baru Covid-19 terbesar di Asia Tenggara pada pertengahan 2021. Namun tingkat tesnya terendah. Tidak adanya pembatasan yang ketat, menyebabkan Indonesia secara konsisten mengalami kenaikan kasus positif harian. Laporan ini, merangkum beberapa temuan utama dari analisis hukum dan kebijakan yang diimplementasikan di Indonesia untuk menangani pandemi Covid-19, periode Maret 2020 sampai Mei 2021. Fokusnya antara lain adalah isu-isu yang berkaitan dengan jaminan perlindungan hak atas kesehatan dalam kebijakan penanganan Covid-19, serta penggunaan kekuatan militer untuk menerapkan kebijakan tersebut di lapangan.

Kerangka Hukum Penanganan Pandemi

Hak atas kesehatan adalah hal paling dasar dan harus menjadi landasan utama dari setiap respons penanganan pandemi. Hal ini juga dilindungi oleh Pasal 25 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Kemudian diperkuat oleh Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan budaya (KIHESB); di mana Pasal 12 ayat (2) huruf c juga secara jelas menyatakan bahwa hak atas kesehatan mengharuskan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah pencegahan, perawatan, dan pengendalian pandemi, endemi, stres kerja, dan penyakit lainnya.

Di Indonesia, hak atas kesehatan rakyat dijamin oleh konstitusi berdasarkan Pasal 28H UUD 1945, serta UU 39/1999 tentang HAM. Indonesia juga telah meratifikasi KIHESB melalui UU 11/2005. Dalam situasi darurat, hak atas pemerataan akses kesehatan juga dijamin oleh UU 36/2009 tentang Kesehatan, UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Untuk menanggulangi pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan 131 peraturan. Beberapa di antaranya berisi klausul yang berpotensi menghambat realisasi hak atas kesehatan. Misalnya Kepmenkes 413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 Bab III disampaikan bahwa kontak erat tanpa gejala tidak diberikan tes PCR oleh fasilitas kesehatan. Ini tidak sesuai dengan rekomendasi WHO, dan menyebabkan pengabaian tingginya risiko infeksi.

 

Respon Covid-19 yang Tidak Efektif dan Tidak Merata

Salah satu penyebab buruknya pengendalian Covid-19 di Indonesia adalah kurangnya transparansi data, termasuk data statistik epidemiologi nasional. Kepemilikan data yang egosentris dan tumpang tindih, membuat pemerintah pusat sulit untuk mengintegrasikan dan memverifikasikan data Covid-19. Akibatnya, kesenjangan data kematian yang dilaporkan oleh pemerintah pusat dan provinsi semakin besar. Secara spesifik, LaporCovid19 telah menemukan jumlah kematian positif Covid-19 sebanyak 47.642 jiwa, per 28 April 2021. Sementara itu, pemerintah pusat hanya melaporkan sebanyak 45.116 kematian pada tanggal yang sama. Artinya, paling tidak ada 2.526 selisih kematian yang dicatat oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Terlebih, infrastruktur kesehatan masyarakat di Indonesia kurang memadai dan semakin diperparah dengan rendahnya kapasitas untuk tes, lacak, dan perawatan. Padahal ini strategi utama untuk mengendalikan rantai infeksi penyakit.

 

Ketidaksetaraan Vaksinasi dan Sanksi Penolakan Vaksin

Pemerintah Indonesia tampaknya kurang memperhatikan kesetaraan vaksin saat menyusun dan mengimplementasikan rencana vaksinasi. Dampaknya, kelompok prioritas (tenaga kesehatan, lansia, orang dengan komorbid) berisiko tidak mendapatkan vaksin. Sementara kelompok yang tidak rentan justru divaksin. Hingga akhir Mei 2021, para lansia masih mengalami kesulitan dalam menerima informasi dan mengakses vaksin. Penyebabnya, mereka tidak memiliki gawai untuk melakukan pendaftaran, ada masalah teknis di pendaftaran, dan faskes yang kehabisan vaksin. Selama November 2020-Mei 2021, LaporCovid-19 telah menerima 50 laporan dari warga tentang vaksinasi yang meliputi masalah pendataan dan pendaftaran yang buruk, pemberian vaksin kepada kelompok non prioritas, dan lainnya. Masalah ketidaksetaraan vaksin lainnya adalah keputusan pemerintah untuk mengizinkan sektor privat atau swasta untuk memvaksinasi karyawan dan anggota keluarganya. Sedangkan pada saat yang sama, banyak tenaga kesehatan dan lansia belum divaksinasi.

Selain itu, pemerintah menerapkan sanksi bagi mereka yang menolak untuk divaksinasi, berdasarkan Peraturan Presiden 14/2021. Hal ini meliputi: penghentian pemberian bantuan sosial, layanan administrasi, dan atau denda, serta pidana. Sanksi ini bertentangan dengan hak dasar tentang jaminan sosial dan kartu tanda penduduk. Seharusnya hal ini tidak boleh diterapkan untuk seseorang yang menolak divaksinasi. Masalah keraguan tentang vaksinasi tidak bisa diselesaikan dengan penerapan sanksi.

 

Peran Berlebihan Militer dalam Penanganan Pandemi

Di Indonesia, TNI dan Polri dilibatkan dalam merespons pandemi COVID-19. Setidaknya ada 16 peraturan darurat membuat TNI mampu melakukan pengambilan keputusan tingkat tinggi. Keterlibatan TNI dan Polri pada level pengambil kebijakan tertinggi Gugus Tugas I Covid-19, jelas terlihat dari payung regulasi penanganan COVID-19. Hal ini meliputi penugasan militer untuk melakukan pelacakan kontak, akan tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan efektivitas keterlibatan mereka dalam meningkatkan pengujian. Bahkan, polisimasih dirasakan oleh banyak warga sipildianggap sebagai institusi menakutkan, memiliki kewenangan melakukan pemaksaan, tindakan kasar, dan menyebabkan banyak orang menghindari kontak dengan mereka.

 

Hukuman Fisik dan Pengkerdilan Ruang Sipil

Peran TNI dalam menertibkan pelaksanaan protokol kesehatan dinilai tidak efektif. Sebagai contoh, selama Juli 2020 hingga April 2021, LaporCovid-19 masih menerima setidaknya 1.096 laporan ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan meskipun ada pengerahan dari panglima militer. Penerapan bagi para pelanggar protokol kesehatan meliputi sanksi fisik (seperti memaksa orang untuk tidur di peti mati dan push-up), pemukulan, penggunaan meriam air untuk membubarkan massa, dan penganiayaan. Apalagi, selama pandemi, militer dan polisi sering menangkap demonstran dengan dalih pembatasan sosial dan protokol kesehatan. Mereka yang ditangkap ditelanjangi di kantor polisi dan berkumpul di ruangan tertutup tanpa menerapkan protokol jaga jarak.

 

Demi Perekonomian, Memunggungi Kesehatan Masyarakat

Pemerintah Indonesia tidak pernah memberlakukan karantina wilayah secara penuh sebagai opsi untuk mengendalikan penyebaran COVID-19. Alasannya, lockdown akan berdampak buruk terhadap perekonomian. Fokus utama dari pemerintah terhadap perekonomian daripada pemulihan kesehatan juga terlihat dalam struktur baru dari Satgas Covid-19. Terdapat tiga dari empat posisi kepemimpinan kunci di Satgas adalah orang dari Kementerian Perekonomian. Ini menunjukkan bahwa Indonesia telah terlalu jauh mengalihkan perhatian kebijakan dari krisis kesehatan ke arah pemulihan ekonomi.

 

Jaring Pengaman Sosial

Pemerintah mengumumkan enam program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk memitigasi dampak COVID-19 kepada kelompok marginal. Namun, karena kekacauan pengumpulan data penerima manfaat, bantuan sosial belum tepat waktu dibagikan kepada semua penerima yang memenuhi syarat. Kehadiran penerima manfaat fiktif, pendataan yang buruk, praktik korupsi bantuan sosial, kolusi dan nepotisme (KKN) juga diidentifikasi sebagai masalah.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

Indonesia kini menghadapi gelombang baru infeksi dan kematian akibat COVID-19, akan tetapi pemerintah gagal untuk menerapkan langkah-langkah yang efektif serta terpusat. Berdasarkan temuan di atas, kami memberikan rekomendasi perbaikan yang harus dilakukan oleh pemerintah, meliputi sebagai berikut:

  1. Prioritaskan kesehatan masyarakat dan berpusat kepada HAM untuk merespon pandemi, termasuk dengan membatasi peran penegak hukum dan lembaga militer dalam penanggulangan COVID-19 pandemi;
  2. Reformasi kebijakan yang cenderung melanggar hak atas kesehatan, seperti Keputusan Menkes 14/2021 yang memberikan dasar hukum untuk vaksinasi kelompok non prioritas, tanpa proses yang kuat dan transparan;
  3. Ubah kebijakan vaksinasi sesuai dengan rekomendasi WHO terkait Covid-19. Menjamin pemerataan, kesetaraan, dan aksesibilitas layanan kesehatan, termasuk layanan medis vaksin sesuai dengan rekomendasi WHO dan berdasarkan prinsip etika kesehatan masyarakat;
  4. Memastikan transparansi dan akuntabilitas data Covid-19 yang meliputi kemudahan akses, integrasi, serta pembaruan informasi secara berkala dan akurat yang mencerminkan situasi pandemi sebenarnya. Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pengumpulan data nasional Covid-19 secara signifikan dan distribusi sistem untuk memastikan perumusan kebijakan pengendalian pandemi yang efektif; Memastikan semua masyarakat yang terkena dampak mendapatkan haknya atas bantuan sosial, berdasarkan amanat UU Karantina Kesehatan yang mewajibkan pemerintah untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi semua selama krisis kesehatan masyarakat. Pemerintah harus menyediakan sistem data yang terbuka, terintegrasi, dan terkini bagi masyarakat untuk melacak serta memantau penyaluran bantuan sosial untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas; dan
  5. Memperkuat Fasilitas Kesehatan Primer untuk berperan secara strategis dalam pelacakan, pengujian, isolasi, pemantauan pasien, dan edukasi untuk mencegah penularan di lingkungan masyarakat.

 

DISUSUN OLEH:

LaporCovid-19

Dibentuk oleh sekelompok individu yang memiliki perhatian terhadap hak asasi warga dan masalah kesehatan masyarakat terkait pandemi COVID-19. Koalisi ini dibentuk di awal Maret 2020, ketika kasus COVID-19 merebak dan ditemukan secara resmi. ( https://laporcovid19.org/tentang-kami )

 

DIDUKUNG OLEH:

Harm Reduction International

LSM terkemuka yang berdedikasi untuk mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan, sosial, dan hukum dari penggunaan narkoba dan kebijakan narkoba. Kami mempromosikan hak – hak orang yang menggunakan narkoba dan komunitasnya melalui penelitian dan advokasi untuk mencapai dubia dimana kebijakan dan undang – undang narkoba berkontribusi pada masyarakat yang lebih sehat dan lebih aman. Organisasi ini adalah LSM dalam Status Konsultatif Khusus dengan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa – Bangsa. (https://www.hri.global/what-is-harm-reduction )

 

Informasi lebih lanjut, hubungi kami

 

Email : laporcovid19@gmail.com
Twitter : @laporcovid
Instagram : @laporcovid19
Facebook : Koalisi Warga LaporCovid-19
Web : https://laporcovid19.org/

 

Ringkasan kajian ini dapat diunduh melalui tautan berikut.

Strengthen Community Health Centres Before They Collapse

PRESS RELEASE

Strengthen Community health centres before they collapse

 

The increasing burden on Community health centres

In the midst of a spike in Covid-19 cases, many confirmed Covid-19 cases have not received health services in hospitals, to the point that they have had to self-isolate with monitoring from community health centres.

This has drastically increased the burden on and responsibility of community health centres. And has been further aggravated by many community health centre staff being infected by Covid-19.

 

Community health centres are being overwhelmed

Several community health centres admit that the spike of cases has influenced the performance and resources of community health centres.

Sorry, currently with the spike in cases many community health centre staff have also been exposed sir Tangerang District, 10 July 2021

Hello, sorry in advance for the delayed response. Because, in all honesty, the owner of this account has been exhausted in the past 4 days. Special Capital Region Jakarta, 11 July 2021

The impact on the people

In the past week, LaporCovid-19 has received reports from community health centres that are overwhelmed, to the point that patients undertaking self-isolation cannot access services from community health centres.

My whole family is Covid-19 positive and are in self-isolation. We have already reported to the Covid-19 taskforce. However, up until now, no one from the community health centre has visited my house. (Surabaya, 8 July 2021)

After I got the swab test result and reported to the Community health centre, I was [instead] ordered to go home and self-isolate without being given medicine or the contact details for the Community health centre so I could contact them. (Tangerang District, 9 July 2021)

We have already reported to the community head, but we are yet to receive assistance in the form of medicine or multi-vitamins from the Community health centre or even from the community head, so how are we meant to report, to which body? (Jakarta Capital Region, 9 July 2021)

The overwhelming of Community health centres can also be seen from the reports of citizens complaining that they havent been informed of the swab examination schedule:

I have been sick since 28 June, on 2 July I intended to get a swab at the Community health centre in South Jakarta, but actually I was told to call the Community health centre hotline, it took a very long time for them to answer. When they answered, I was asked to provide my personal information and was booked in to get a PCR swab in about 4-5 days, but up until now, I still have not been contacted (Special Capital Region Jakarta, 7 July 2021).

At the Community health centre in East Jakarta — when I submitted the result of my antigen test, which stated that I was Covid-19 positive — staff from the Community health centre asked for the antigen test results, a copy of their identity card and a contact mobile number. This is the seventh day I have been in self-isolation. I have not been contacted to schedule a PCR test. (Special Capital Region Jakarta, 7 July 2021)

Community health centres need serious attention

These conditions require serious attention from the Local Government and the Central Government. Strengthening the community health centres’ capacity to deliver health services to citizens is crucial for saving the lives of many people.

Strengthening health facilities in Community health centres must be balanced with:

  1. Support for the protection of the healthcare workers in Community health centres, including providing incentives to healthcare workers which must be provided in full, the provision of adequate PPE, medical treatment if they fall sick, and other support.
  2. Strong capacity for testing, tracing and treatment (3T) and mobility restrictions to suppress the rise in cases so that the spread of Covid-19 can be controlled and so that Community health centres are no longer overwhelmed and can provide services at maximum capacity.

This press release is available to download by this link.

Sukarelawan Data, Pahlawan di Balik Layar Penanganan Pandemi

Di tengah cepatnya informasi, apalagi saat pandemi, penyusunan data menjadi masalah krusial. Penyusunannya tidak mudah. Salah mendata bisa berakibat manusia kehilangan nyawa. Sejumlah sukarelawan informasi teknologi turun tangan meski secara ekonomi jauh dari potensi yang bisa mereka dapatkan. Said Fariz Hibban (24) masih sibuk menjawab telepon sejumlah awak media, Kamis (12/8/2021) malam. Pria yang akarab disapa Iban itu menunjukkan amburadulnya data kematian Covid-19, yang tidak lagi digunakan pemerintah sebagai bahan evaluasi penanganan pandemi.

 

Indonesia has thousands of empty hospital beds. So why are Covid-19 patients dying at home?

Jakarta (CNN)Taufiq Hidayat enters the homes of the dead to claim bodies no one will touch.

He leads a dozen volunteer undertakers who take calls from grieving families in the Indonesian capital, Jakarta, the center of one of the?world’s largest Covid-19 outbreaks.
“It’s really tough and hot for us because we are always in full hazmat suit while trying to navigate small alleys and high floors with a body in tow,” said Taufiq.

Penghapusan Indikator Jumlah Kematian: Bukti Nyata Serampangan Mengelola Data

SIARAN PERS

Penghapusan Indikator Jumlah Kematian: Bukti Nyata Serampangan Mengelola Data dan Penanganan Covid-19, dan Merupakan Perbuatan Melanggar Hukum

Pada Senin, 9 Agustus 2021, Luhut Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi merangkap sebagai Koordinator PPKM Darurat di Jawa dan Bali mengumumkan perpanjangan PPKM Level 4 di Jawa dan Bali hingga 16 Agustus 2021. Pemerintah juga menyatakan mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19 karena adanya masalah dalam input data yang disebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa minggu sebelumnya. Dengan dihilangkannya indikator kematian tersebut, terdapat 26 kabupaten/kota yang turun statusnya menjadi PPKM level 3. Luhut mengklaim pelaksanaan PPKM level 4 sukses menurunkan angka kasus Covid-19 sebesar 59,6 persen dari puncak kasus di 15 Juli 2021.

Keputusan menghapuskan angka kematian sebagai indikator penanganan covid-19 diambil ketika terjadi peningkatan angka kematian yang signifikan. Data Satgas Covid-19 menunjukan selama PPKM level 4, angka kematian masih berkisar di 1.300-1.500 kasus. Pada 10 Agustus 2021 bahkan penambahan kasus kematian mencapai 2.048 kasus, menyerupai jumlah tertinggi pada puncak penyebaran di bulan Juli 2021 dan tertinggi di dunia. Data tersebut bahkan masih diragukan mengingat menurut catatan LaporCovid-19 per akhir Juli lalu, setidaknya terdapat 19.000 kematian pasien Covid-19 yang tidak tercatat dalam data Satgas.

Angka kematian adalah informasi yang sangat penting untuk menunjukan fatalitas dari virus Covid-19 yang menyebar pada wilayah dan waktu tertentu, apalagi saat ini kita berhadapan dengan berbagai varian mutasi Covid-19 dengan dampak yang beragam. Informasi ini penting untuk dikelola dengan baik, bersifat obyektif, dapat dipercaya dan paling penting adalah bersifat terbuka. Prinsip ini sejalan dengan panduan penanganan Covid-19 WHO dan bahkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah melalui Menteri Kesehatan. Lebih mendasar dari itu, dihilangkannya angka kematian dalam data penanggulangan Covid-19 merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (PP Nomor 40 Tahun 1991).

Koalisi Masyarakat.Untuk Hak Atas Kesehatan mendang bahwa keputusan tersebut menunjukan betapa serampangannya pemerintah dalam mengelola data Covid-19. Ini adalah bentuk memanipulasi pengetahuan publik mengenai penanganan Covid-19 ketika hal tersebut dijadikan dasar menurunkan status penanganan di 26 kota/kabupaten. Langkah pemerintah ini tentu tidak berdasar sebab diputuskan dengan menghilangkan data kematian yang merupakan amanat dari sebagai data penting dalam menyusun pertimbangan epidemiologis. Lebih jauh lagi, berdasarkan Pasal 2 ayat 1 PP Nomor 40 Tahun 1991 pertimbangan epidemiologis digunakan dalam menetapkan dan mencabut daerah yang terjangkit wabah.

Pada sisi lain manipulasi serupa bahkan dilakukan dalam klaim turunnya angka kasus Covid-19 selama PPKM level 4 yang sayangnya berbanding lurus dengan jumlah testing yang dilakukan. Data Satgas menunjukan jumlah testing nasional pada 10 Agustus 2021 dilakukan terhadap 146.150 orang, dimana rata-rata jumlah sebelumnya berkisar di angka 100.000 orang secara nasional. Jumlah tersebut sangat jauh dari jumlah target testing yang ditetapkan pemerintah, yang mana, untuk wilayah Jawa-Bali saja ditargetkan 324.283 orang per hari. Ditambah dengan fakta angka vaksinasi di Indonesia yang baru mencapai 24,49 persen, hal-hal ini jelas menunjukan kegagalan PPKM Level 4 yang tidak ditunjukan pemerintah.

Keputusan ini tidak dapat dipisahkan dari rencana pemerintah melonggarkan kembali berbagai sektor usaha untuk beroperasi. Misalnya dengan izin industri esensial berbasis ekspor untuk beroperasi 100 persen, atau kebijakan beroperasi pusat perbelanjaan dengan syarat kartu vaksin hasil kerja sama dengan Asosiasi Mal Indonesia. Bahkan dalam waktu dekat, Presiden Joko Widodo mencanangkan roadmap Indonesia hidup berdampingan dengan Covid-19 yang menitikberatkan pada pengaktifan kembali dunia usaha.

Koalisi Masyarakat Untuk Hak Atas Kesehatan memandang keputusan tersebut tidak berdasarkan pada prioritas aspek kesehatan masyarakat, melainkan aspek ekonomi semata. Dengan buruknya pengelolaan informasi mengenai Covid-19 dan buruknya pelaksanaan 3T pemerintah selama PPKM terakhir, upaya-upaya pelonggaran tersebut lagi-lagi akan membawa kegagalan penanganan Covid-19 dan kembali mengorbankan keselamatan masyarakat.

Atas dasar tersebut, Koalisi Masyarakat Untuk Hak Atas Kesehatan menuntut Pemerintah RI untuk:

  1. Memasukan kembali angka kematian sebagai indikator penanganan Covid-19 sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 PP Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, dan memperbaiki pengelolaan data-data esensial penanganan Covid-19, serta menjamin informasi terbuka dan dapat diakses publik;
  2. Memperbaiki kegagalan PPKM level 4 dengan memprioritaskan dan meningkatkan pelaksanaan 3T dan vaksinasi;
  3. Menunda relaksasi hingga 2 poin di atas dilakukan demi keselamatan masyarakat;

Indonesia, 13 Agustus 2021

Hormat Kami,
Koalisi Masyarakat Untuk Hak Atas Kesehatan

1. LBH Jakarta
2. LBH Masyarakat
3. YLBHI
4. FBHUK
5. WALHI
6. YPII
7. Yayasan Srikandi Lestari
8. KontraS
9. PUSaKO
10. Sajogyo Institute
11. LaporCovid-19
12. ICW
13. Lokataru
14. TI Indonesia
15. Perkumpulan AEER
16. #BersihkanIndonesia

 

 

Siaran pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut

Government Must Rectify the Accuracy for Mortality Data

PRESS RELEASE

Government Must Rectify the Accuracy for Mortality Data Instead of Disregarding It

 

The Coordinating Ministry for Maritime and Investment Affairs, Luhut Binsar Pandjaitan stated that the Indonesian government did not apply mortality rate data as an indicator to conduct evaluation on the Enforcement of Public Activity Restrictions (PPKM) Level 4 and PKKM level 3 in several regions. This was administered due to mortality data that was reported had turned out to be inaccurate because there was input data from accumulation of the number of deaths from several weeks ago.

In the enforcement of PPKM Level 4 and 3 that will be carried out on 10-16 August 2021, there are 26 cities or regencies which will move from Level 4 to Level 3. This shows the condition on the field has a quite significant improvement. We conducted such evaluation by removing the number of deaths from our assessment indicator because we discovered the input data which came from mortality rate accumulation from the last several weeks that had caused distortion in our evaluation, said Luhut at the press conference which was broadcasted through Kemenko Marves Youtube channel on Monday (9/82021).

Mortality Rate Data as an Indicator for the Pandemic Ramification Should not be Eliminated

The governments decision not to use the mortality data in their PPKM Level 4 and 3 evaluation is certainly questionable. That is because the mortality rate is a crucial indicator to assess the effectiveness of the government’s management in handling the Covid-19 pandemic.

Data inaccuracies in mortality rate should not be an excuse for the government to ignore that data. By being aware that the mortality rate is inaccurate, the government ought to come up with efforts to revise them so the data would be indeed accurate.

Moreover, the death data that has been disclosed by the government over the course is actually still not enough to describe how tremendous the impact of Covid-19. This is because the number of deaths announced by the central government appeared to be far less compared to the data reported by local governments.

The government should also publish the number of people who died with probable status so that the people can accurately comprehend the existing impact of the ongoing pandemic. Data rectification must be done instead of disregarding the mortality data and not applying them in the evaluation for PPKM Level 4 and 3.

Recurring Gaps in Mortality Data Presses for Improvement in Data Collection Technicalities

Based on the data gathered by LaporCovid19 team, we found that there are more than 19,000 thousands deaths that have been reported by regency/city-level local governments, but not documented within the central governments records. Data from 510 regency/city-level local governments collected by LaporCovid19 team showed that until 7 August 2021, there were about 124,790 people who reportedly died with the status of Covid-19 positive.

Meanwhile, at the same time the sum of Covid-19 positive deaths published by the central government was 105,598 deaths. Therefore, this means between the data from regency/city-level local governments and the central government there is a deviation of 19,192 deaths.

Data for the month of July is from 23rd, June is from 23rd and May is from 13th. Data source: Official city/regency-level government websites (with some from provincial government websites) from all of Indonesia curated by KawalCovid19 and daily reports from Indonesias Ministry of Health (Kemenkes RI) and then analyzed by LaporData LaporCovid19 Team

If spelled out, below are the 10 provinces with the biggest numerical deviation in the data of Covid-19 positive death cases:

Central Java -9,662

West Java -6,215

Special Region of Yogyakarta -889

Papua -663

West Kalimantan -643

North Sumatera -616

Central Kalimantan -301

East Java -294

Banten -140

West Nusa Tenggara -112

Data source: official city/regency-level government websites (with some from provincial government websites) from all of Indonesia curated by KawalCovid19 and daily reports from Indonesias Ministry of Health (Kemenkes RI) and then analyzed by LaporData LaporCovid19 Team

As of 7 August 2021, below are the 10 provinces with the highest number of deaths cases:

Central Java 31,914

East Java 22,297

West Java 16,534

DKI Jakarta 12,750

Special Region of Yogyakarta 4,737

Eastern Kalimantan 3,886

Riau 2,828

Lampung 2,603

Banten 2,437

Bali 2,385

Those 10 provinces represent 82.5% of total Covid-19 positive deaths cases in Indonesia.

Data source: official city/regency-level government websites (with some from provincial government websites) from all of Indonesia curated by KawalCovid19 and daily reports from Indonesias Ministry of Health (Kemenkes RI) and then analyzed by LaporData LaporCovid19 Team.

Published Death Rate has not Included the Probable Deaths

The mortality rate that has been published by the government all this time still does not cover the deaths of Covid-19 patients with probable status. Based on the data collected by LaporCovid19, the accumulation for probable deaths in Indonesia at least has reached 26,326 deaths.

Therefore, if the Covid-19 deaths cases are accumulated with the number of probable deaths, the pandemic-related total deaths in Indonesia has reached 151,116 deaths.

Data source: official city/regency-level government websites (with some from provincial government websites) from all of Indonesia curated by KawalCovid19 and daily reports from Indonesias Ministry of Health (Kemenkes RI) and then analyzed by LaporData LaporCovid19 Team.

Death during Self Isolation Keeps on Occurring

On the other hand, the number of deaths that occured to the patients outside medical facilities have not been recorded very well within the governments records system. Whereas, based on the data collected by LaporCovid19 team, many patients died whilst going through self-isolation at their own homes or other places.

From early June until 7 August 2021, LaporCovid19 team recorded that at least 3,007 people died outside the medical facilities. The real number of deaths could possibly be even higher because this data only came from 108 cities/regencies within 25 provinces.

Furthermore, at the moment DKI Jakarta is the only province that publishes the death rate of Covid-19 self-isolating patients. Consequently, LaporCovid19 urges other local governments to also publish the death rate data of the self-isolating patients.This transparency is crucial so the people can better understand the impact of the Covid-19 pandemic.

LaporCovid19

Last updated 7 August 2021

3007 total deaths of self-isolating patients and patients outside medical facilities.
Total deaths recorded by LaporCovid-19

1277

Total deaths recorded by CSOs and communities 446 Total deaths recorded by local government 1284 Total of traced provinces

25

Total of traced regencies/cities

108

*CSO/communities data source from CISDI
Data source: DKI Jakarta Department of Health, CISDI and data collection by team LaporCovid19 which gathered from chatbot, online news, social media and organizational/personal information.

 

Translated by:
Christie Santara

 

 

This press release is available to download by this link