Kolapsnya Fasilitas Kesehatan dan Risiko Kematian Pasien Isolasi Mandiri

SIARAN PERS

Kolapsnya Fasilitas Kesehatan dan Risiko Kematian Pasien Isolasi Mandiri

 

            • LaporCovid19 sebut 451 orang meninggal dunia ketika melaksanakan isolasi mandiri
              berdasarkan temuan laporan aduan, percakapan Twitter, dan pemberitaan
              online hingga
              Senin, 12 Juli 2021
            • CISDI sebut 446 orang meninggal dunia ketika isolasi mandiri di 12 kabupaten/kota di
              Jawa Barat dalam rentang 30 Juni-6 Juli 2021
            • CISDI dan LaporCovid19 mendorong pemerintah bertindak serius mendata kematian
              ketika isolasi mandiri serta merekomendasikan beberapa langkah untuk mencegah hal
              tersebut terjadi


Jakarta, 11 Juli 2021 Center for Indonesias Strategic Development Initiatives (CISDI) dan LaporCovid19 mendorong pemerintah mengambil langkah tegas untuk mencegah kematian saat isolasi mandiri atau mencari pelayanan kesehatan selama periode lonjakan kasus Covid-19. Indonesia mengalami lonjakan kasus positif Covid-19 yang begitu drastis sepanjang Juli 2021. Pada 11 Juli 2021 bahkan tercatat lonjakan kasus mencapai angka 36.197. Tingginya lonjakan kasus sebabkan kelebihan kapasitas rumah sakit dan lelahnya tenaga kesehatan.

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jawa Timur, sebagai contoh, menyebut setidaknya 13 rumah sakit menutup sementara layanan IGD karena tidak bisa lagi menampung pasien (Tempo.co, 7/7). Situasi tersebut secara tidak langsung berimbas pada menumpuknya pasien bergejala berat, menipisnya kapasitas tabung oksigen, hingga tutupnya beragam pelayanan kesehatan lain, situasi yang pada akhirnya memicu kematian pasien ketika melaksanakan isolasi mandiri atau mencari rumah sakit.

Laporan resmi jumlah kematian akibat isolasi mandiri sendiri diduga masih jauh lebih kecil dibandingkan yang terjadi sebenarnya. Dari percakapan media daring Twitter, laporan aduan, dan pemberitaan media online, LaporCovid19 menemukan setidaknya 451 kasus pasien meninggal ketika isolasi mandiri atau saat mencari rumah sakit hingga Senin (12/7). Kematian pasien isolasi mandiri ini telah dilaporkan di berbagai daerah di Jawa, dengan yang paling tinggi di Jawa Barat, juga di luar Jawa, seperti di Sumatra Barat ataupun Kalimantan Timur.

Sementara, catatan Center for Indonesias Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebut terdapat setidaknya 446 pasien isolasi mandiri meninggal dalam 7 hari terakhir (30 Juni-6 Juli 2021) di 12 kabupaten/kota di Jawa Barat. Jumlah kematian isolasi mandiri sesungguhnya bisa jauh lebih besar dari yang terdata.

CISDI dan LaporCovid19 mendorong pemerintah serius menyingkap data kematian ketika isolasi mandiri kepada publik sekaligus membenahi upaya penanganan wabah untuk mencegah kejadian kematian serupa berulang.

Ahmad Arif, Co-inisiator LaporCovid19, mengatakan tren kematian ketika isolasi mandiri cukup intens terjadi belakangan ini. Tren yang menarik belakangan ini adalah kematian ketika isolasi mandiri sudah mulai terjadi di luar pulau Jawa, seperti di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, atau Nusa Tenggara Timur, dan Sumatra Barat. Ini menjadi semacam indikasi bahwa penyebaran wabah ini sudah intens di luar pulau Jawa dan perlu menjadi perhatian kita bersama. Jumlah yang terdata ini kami yakin hanya fenomena gunung es.

Diah Saminarsih, M.Sc. Penasihat Senior Urusan Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO dan Pendiri CISDI, mengatakan peningkatan kematian ketika isolasi mandiri adalah tanda bahaya robohnya sistem kesehatan nasional. Tiadanya kesiapan memperkokoh pilar-pilar penanggulangan krisis kesehatan membuat penanganan pandemi seperti kehilangan arah dan tidak cekatan merespons lonjakan transmisi. Di hulu, layanan kesehatan primer tidak disiapkan untuk menghadapi beban kerja berlapis. Hal ini menyebabkan keterbatasan tenaga, keterbatasan fasilitas deteksi kasus dan perawatan, serta alat kesehatan untuk kegawatdaruratan seolah menciptakan kebuntuan dalam penanganan fase kritis saat ini. Padahal, semua tantangan tersebut dapat diatasi kalau saja strategi penanganan pandemi khususnya untuk layanan kesehatan primer telah disiapkan sejak pandemi ini mulai 16 bulan yang lalu. Akibatnya pasien terlambat ditemukan, terlambat mendapat pertolongan pertama, terlambat dirujuk.

CISDI dan LaporCovid19 mendorong pemerintah melaksanakan beberapa rekomendasi untuk mencegah kematian akibat isolasi mandiri kembali berulang. Adapun, beberapa rekomendasi adalah sebagai berikut:

  1. Meluaskan jangkauan dan penajaman fokus testing sesuai dengan Instruksi Kementerian Dalam Negeri Nomor 15/2021 secara tegas dan konsisten.
  2. Memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam peningkatan kapasitas tracing melalui aktivasi relawan di tingkat komunitas
  3. Mengaktifkan pelayanan isolasi mandiri terpusat dan mandiri, seperti shelter isolasi mandiri, kepada masyarakat dan memfasilitasinya dengan tenaga kesehatan mumpuni
  4. Memperkuat upaya penanganan pre-rumah sakit seperti dengan mengoptimalkan layanan konsultasi daring
  5. Mengutamakan pendataan, pemantauan, dan dukungan bagi pasien isolasi mandiri
    sebagai basis data penyaluran dukungan sosial, ekonomi, atapun medis
  6. Meningkatkan edukasi bagi pasien yang menjalankan isolasi mandiri
  7. Meningkatkan keterlibatan pemerintah hingga level terkecil untuk mendukung pasien yang melaksanakan isolasi mandiri

-Selesai-

Tentang CISDI
Center for Indonesias Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah think tank yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata.

Tentang LaporCovid19
LaporCovid19 adalah wadah (platform) sesama warga untuk berbagi informasi mengenai angka kejadian terkait COVID-19 di sekitar kita. Pendekatan bottom-up melalui citizen reporting atau crowdsourcing agar setiap warga bisa ikut menyampaikan informasi seputar kasus terkait COVID-19. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi:

Website: www.laporcovid19.org ,
IG: @laporcovid19 ,
Twitter: @LaporCovid ,
FB: Koalisi Warga LaporCovid-19

 

Narahubung:
Sdr. Amru, Content & Media Officer CISDI (0877-8273-4584)
Sdr. Iban, Analis Data LaporCovid-19 (0815-2744-0489)

 

Siaran pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut.

Berikut ini tautan dashboard data kematian di luar RS yang dicatat oleh LaporCovid-19

Maksud Mulia di Balik Pernyataan ?Bukan Mudik tapi Pulang kampung?, ?Bukan Kolaps tapi Overcapacity?, dan ?Bukan Kelangkaan tapi Keterbatasan?

Hal serupa pun kembali terulang. Kali ini melalui Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi. Nadia membantah laporan Koalisi Warga LaporCovid19 yang menyebut bahwa rumah sakit kolaps akibat lonjakan pasien Covid-19 benar-benar menjadi puncak buruknya pola komunikasi pemerintah.

Seruan Tenaga Kesehatan: Alarm Bahaya dari Benteng Terakhir

SIARAN PERS

Seruan Tenaga Kesehatan: Alarm Bahaya dari Benteng Terakhir

 

Jakarta, Jumat 09 Juli 2021 Pada 9 hari pertama bulan Juli 2021 (14.00 WIB), LaporCovid-19 mencatat setidaknya 86 tenaga kesehatan yang berpulang akibat Covid-19. Total jumlah kematian tenaga kesehatan yang tercatat oleh LaporCovid-19 per 9 Juli (14.00 WIB) adalah 1.183 tenaga kesehatan. Konferensi pers bersama dengan organisasi profesi menyimpulkan bahwa perlindungan terhadap nakes diperlukan, karena sudah banyak yang terpapar Covid-19. Hal ini dapat diimplementasikan dengan zonasi fasilitas kesehatan, sistem shift, pasokan APD, suplemen dan vitamin kepada tenaga kesehatan.

Di dalam konferensi pers tersebut, dr. Adib Khumaidi, Sp.OT, ketua Tim Mitigasi Persatuan Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), mengatakan bahwa per 8 Juli 2021 terdapat 458 dokter yang meninggal akibat Covid-19. Di bulan Juni 2021 kenaikan kematian dokter meningkat 7 kali lipat di dibandingkan bulan Mei 2021, dengan di bulan Juli saja sudah tercatat 35 dokter meninggal.

dr. Adib Khumaidi, Sp.OT juga menjelaskan bahwa banyak dokter yang terpapar di tengah ledakan kasus. Banyak nakes yang terpapar dan ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah, terutama di wilayah Jawa Timur. 124 dokter yang sakit di Surabaya, beberapa kritis dan bahkan meninggal. Di Yogyakarta, 167 dokter terpapar, dengan beberapa juga meninggal. Hal ini mempengaruhi layanan kesehatan yang dapat diberikan kepada warga di lapangan.

Melihat kondisi ini, dr. Adib Khumaidi mengatakan bahwa kondisi ini adalah functional collapse. Kebutuhan masyarakat sangat tinggi (flow pasien yang terus mengalir), namun banyak dokter yang sudah sakit, sehingga jika tidak ada intervensi di hulu, maka akan terus memberikan risiko kepada nakes. Demi perlindungan dan keamanan di fasilitas kesehatan, diperlukan zonasi di fasilitas kesehatan dan triase pre-RS, Harus ada fasilitas khusus Covid-19 saja, selain itu harus ada upaya pemberdayaan nakes dengan sistem shifts dan memastikan bahwa mereka memiliki sertifikasi untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan masyarakat.

Mengenai vaksinasi kepada dokter namun kematian masih tinggi, dr. Adib menjelaskan bahwa pada 86 dokter yang meninggal dari Februari hingga 24 Juni 2021, dengan mereka yang menerima vaksin lengkap 17 orang, vaksin 1 dosis 4 orang. Ada sekitar 41% yang belum divaksin, dengan alasan faktor komorbid atau sedang sakit, namun kami masih telusuri tuturnya.

Selain itu di konferensi pers ini, Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dr. Emi Nurjasmi, M.Kes mengatakan bahwa total bidan meninggal sejumlah 208, dan 39 bidan meninggal per 8 Juli 2021. Permasalahan untuk bidan adalah ketika ibu hamil positif tidak dapat dirujuk RS, maka pasien harus ditangani oleh bidan, padahal risiko sudah tinggi terutama karena fasilitas untuk Covid-19 belum memadai khususnya untuk klinik mandiri. Bahkan karena banyaknya pasien, bidang yang sedang isolasi mandiri juga harus masuk. tutur dr. Emi di konferensi pers.

dr. Emi Nurjasmi juga menyatakan bahwa kematian nakes mungkin juga dikontribusikan oleh banyaknya bidan yang dilibatkan sebagai vaksinator tanpa APD yang lengkap. Keterpaparan yang meningkat juga menyumbang pada kematian di kalangan bidan, Padahal seluruh bidan sudah divaksin kata dr. Emi di konferensi pers tersebut.

Pembicara berikutnya dalam konferensi pers ini adalah Harif Fadhilah, S.Kp, SH, M.Kep, MH, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Beliau mengatakan bahwa tekanan yang dipikul oleh perawat sangat besar Dengan kasus yang meningkat, dan jumlah perawat yang berkurang, maka beban fisik dan mental juga bertambah. Dalam satu minggu, perawat bahkan mengalami mengalami kekerasan fisik saat pelayanannya.

Harif juga menyoroti beban ganda yang dipikul oleh perawat di puskesmas. Mereka harus melakukan vaksinasi, dengan target vaksinasi yang tinggi, belum lagi tugas-tugas lainnya. Harif juga fokus pada perlindungan yang sangat rendah bagi perawat, seperti permasalahan pada insentif dan juga fasilitas kesehatan bagi perawat yang terpapar. Perlindungan bagi perawat perlu dijamin sedemikian rupa. Vaccination booster mungkin juga perlu diusulkan, tentunya setelah mendapat persetujuan ilmiah dan kajian studi.

Selaras dengan Harif Fadhillah, S.Kp. SH, M.Kep, MH, Dr. A.V. Sri Suhardiningsih, S.Kp., M.Kes, perwakilan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PPNI Jawa Timur, memohon perlindungan bagi nakes Perawat 24 jam bersama pasien, sehingga diperlukan tenaga tambahan. Karena, kami bisa melihat antrian di IGD hingga 40-50 pasien. Hal ini dikarenakan Jawa Timur menyumbang kematian perawat tertinggI. Dari 373 perawat gugur, 140 nya adalah dari perawat dari Jawa Timur, dengan 22 kematian pada bulan Juli 2021.

Namun, Dr. A.V. Sri Suhardiningsih juga menyoroti sulitnya mendapatkan tenaga tambahan insentif yang sulit dicairkan membuat relawan enggan menjadi tenaga tambahan. Dr. A.V. juga mencatat bahwa penambahan relawan tidak cukup apabila penanganan pada hulu tidak berjalan, sehingga pelaksanaan PPKM darurat harus dilakukan ketat, termasuk pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat oleh warga.

Menutup konferensi pers, dr. Aldila S. Al Arfah, dari Muhammadiyah Covid-19 Command Centre, menyarankan pemerintah untuk memperbaiki manajemen komunikasi publik dan transparansi komunikasi, Komunikasi yang ditujukan bukan untuk menenangkan, namun untuk menstimuls sense of crisis agar fokus kita pada Covid-19. Kami berharap kehadiran pemimpin untuk bertanggung jawab dalam hal komunikasi sehingga transparansi keadaan pandemi Covid-19 tercapai.

Hal berikutnya, dr. Aldila juga menyoroti soal insentif agar segera dicairkan. Jika ada masalah kesulitan finansial, perlu diadakan regulasi ulang. Selain itu, dr. Aldila juga menyarankan agar Mobilisasi nakes dari daerah kasus rendah ke Jawa – Bali juga perlu dilaksanakan agar nakes tidak kelelahan. Mengatur supply serta harga gas oksigen dan obat juga menjadi masalah yang perlu harus diatasi, Pemerintah perlu hadir untuk memastikan ketersediaan stok ini

 

 

Tentang LaporCovid-19

Dibentuk oleh sekelompok individu yang memiliki perhatian terhadap hak asasi warga dan masalah kesehatan masyarakat terkait pandemi Covid-19. LaporCovid-19 adalah wadah (platform) sesama warga untuk berbagi informasi mengenai angka kejadian terkait COVID-19 di sekitar kita. Menggunakan pendekatan citizen reporting atau crowdsourcing agar setiap warga bisa ikut menyampaikan informasi seputar kasus terkait Covid-19 melalui chat dengan WhatsApp dan Telegram bot.

Website: https://laporcovid19.org/
IG: @laporcovid19
Twitter: @LaporCovid19
FB Fanpage: Koalisi Warga LaporCovid19

 

Narahubung:
Zakiyuddin (+62 822-5015-4278)

 

Silahkan unduh siaran pers ini melalui tautan berikut

Diskusi Publik: Gagalnya Pemerintah Indonesia Menyelamatkan Rakyat

SIARAN PERS

Diskusi Publik: Gagalnya Pemerintah Indonesia Menyelamatkan Rakyat

Jakarta, 5 Juli 2021 Merespon situasi gawat darurat pandemi yang terjadi di masyarakat, Konsorsium Masyarakat untuk Kesehatan Publik yang terdiri dari YLBHI, LaporCovid-19, ICW dan Lokataru bersama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) memberikan catatan kritis terhadap penanganan pandemi di tanah air, khususnya di tengah ledakan kasus Covid-19 yang menunjukan adanya kegagalan penanganan.

Lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia telah meningkatkan kematian. Hingga 4 Juli 2021, data nasional setidaknya mencatat 60.582 orang meninggal terkonfirmasi positif melalui hasil usap PCR. Angka kematian terkait Covid-19 yang sebenarnya diperkirakan jauh lebih banyak. Sebab, data tersebut tidak memasukkan jumlah mereka yang meninggal dengan status probable, atau yang mengalami gejala klinis penyakit infeksius Covid-19.

Kondisi di lapangan semakin buruk, data yang dikumpulkan oleh LaporCovid-19 dari pemberitaan media massa dan media sosial menyebut hingga 4 Juli 2021, 291 orang meninggal saat melakukan isolasi mandiri di rumah. Ini seiring dengan laporan puluhan orang meninggal karena tidak mendapatkan bantuan oksigen di IGD RS Sardjito (Kompas, 4 Juli 2021). Ini menjadi potret nyata kolapsnya fasilitas kesehatan yang menyebabkan pasien Covid-19 kesulitan mendapatkan layanan medis yang semestinya. Selain itu, jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi dan yang meninggal pun semakin banyak. Hingga 5 Juli 2021, Pusara Digital LaporCovid-19 mencatat setidaknya 1,046 tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19. Di sisi lain, pemerintah tidak kunjung terlihat melakukan peningkatan 3T, testing, tracing, dan treatment secara signifikan.

Ditambah dengan rendahnya transparansi data pandemi, termasuk data jumlah tes PCR per daerah, data ketersediaan Rumah Sakit yang kerap tidak akurat mengakibatkan warga banyak ditolak dari satu RS ke RS lain. Testing pun masih rendah dan tidak proporsional hingga mengakibatkan lonjakan besar kasus yang mengakibatkan perawatan (treatment) sebagian fasilitas layanan kesehatan yang hampir roboh.
Warga yang sakit menjadi sulit mendapat layanan medis, beberapa di antaranya meninggal.

Irma Hidayana, inisiator LaporCovid-19, menyebut bahwa kematian-kematian tersebut semestinya bisa dicegah jika dari awal pemerintah melakukan pencegahan dan pengendalian penularan yang lebih kuat. Situasi saat ini merupakan hasil dari ketidakefektifan pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini. Kita bisa lihat selama setengah tahun masa pandemi justru didominasi oleh pelonggaran
sosial, termasuk mendahulukan kepentingan ekonomi di atas kesehatan masyarakat.
Pemerintah perlu mengakui bahwa kondisi sudah gawat darurat dan meminta maaf serta menunjukkan empati. Perlu berhenti melakukan komunikasi yang mencitrakan bahwa kita sedang baik-baik saja yang justru mengakibatkan rendahnya kewaspadaan masyarakat terhadap masifnya penularan Covid-19.

Selanjutnya, Muhammad Isnur dari YLBHI, menyatakan dengan tegas pemerintah bertanggung jawab atas kondisi krisis ini, sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UU HAM dimana hak kesehatan dijamin oleh negara. Pemerintah juga mengabaikan Peraturan Perundang-Undangan khususnya UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan dimana sebenarnya UU tersebut memiliki kajian epidemiologi yang kuat.

Muhammad Isnur mengkritisi tentang tidak adanya PP terhadap UU no. 6/ 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang membuat kondisi sekarang kacau karena ada kekosongan hukum yang mengakibatkan adanya tumpah tindih kebijakan dan komando. Tetapi pemerintah tidak menggunakan UU yang dibuat khusus untuk menangani pandemi, pemerintah abai tidak melaksanakan mandat pembentukan peraturan-peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah tentang Penanggulangan Darurat Kesehatan Masyarakat. Tidak dipakainya UU 24/2007 tentang Penanggulan Bencana menggugurkan kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Presiden juga pernah membuat keputusan presiden tentang status Darurat Kesehatan Masyarakat, status yang juga tanpa indikator yang jelas dan apakah ini masih berlaku, bagaimana kewenangan dan lainnya karena seharusnya tata cara penetapan dan pencabutan status darurat kesehatan masyarakat juga diatur di Peraturan Pemerintah. Belum lagi kewajiban pemenuhan kebutuhan dasar rakyat saat dalam status darurat kesehatan masyarakat dan darurat bencana, jelas pemerintah tidak memenuhinya.

Terkait penetapan PPKM darurat pun juga tidak ada dasar hukum, Muhammad Isnur mengakan Status PPKM dilakukan oleh instruksi Kementerian Dalam Negeri, namun tidak ada dasar hukum, tidak ada UU.

Herlambang Wiratraman menegaskan tiga kegagalan. Pertama, tingginya angka kasus Covid-19. Kegagalan kedua adalah ambruknya RS, ketidaktersediaan oksigen sehingga banyak warga meninggal. Kegagalan ketiga adalah tingginya angka nakes yang meninggal.

Kegagalan pemerintah terjadi karena pemerintah abai, alih-alih menutup dan membatasi mobilitas, malah mempromosi mobilitas dengan berwisata. Penyebab kedua adalah lambatnya pemerintah dalam menanggapi ledakan kasus, dan juga instruksi yang dikeluarkan harus dikeluarkan oleh Presiden, bukan di level Kementerian dengan berdasarkan UU. Ketiga, pemerintah terlalu fokus pada ekonomi. Keempat, pemerintah masih denial akan ledakan kasus. Kelima, pemerintah tidak mengupayakan secara sistematik upaya 3T, dan pembungkaman terhadap mereka yang menyuarakan atau mengkritisi penanganan pandemi.

Kegagalan ketidaksungguhan Pemerintah dalam menangani Pandemi, dikelola tanpa keberpihakan masyarakat banyak yang akan rentan menjadi korban. Apakah pemerintah hari ini sudah tak ada rasa peka, nihilnya keberpihakan pada hak-hak warga bangsa? Bukankah Pasal 28I ayat (4) UUD RI 1945 menjelaskan siapa yang harus tanggung jawab? Secara khusus disebutkan Pasal 28H ayat (1): Setiap orang berhak sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; dan Pasal 34 ayat (3): Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan. pertanyaan kritis yang dilontarkan oleh Herlambang menanggapi kegagalan pemerintah.

Menurut Herlambang Wiratraman banyaknya nyawa yang tidak tertolong karena kolapsnya rumahsakit merupakan bentuk kegagalan pemerintah Jokowi. Kematian yang tak bisa diantisipasi dengan penyediaan layanan medis, menunjukkan fakta jelas tentang kegagalan negara dan dapat disebut sebagai constitutional failure. Pemerintahan Jokowi harus meminta maaf terbuka dan menegaskan tanggung jawab hukum dan politiknya jelas Herlambang Wiratraman.

Selanjutnya, Lalola Easter dari ICW, fokus pada penyebab adanya korupsi di masa pandemi. Pemerintah sudah salah langkah dari awal, masih banyak serapan anggaran rendah untuk penanganan Covid-19, dan ironisnya, program infrastruktur yang tidak urgent tetap dilanjutkan. Semestinya realisasi anggaran difokuskan untuk pengendalian pandemi agar RS sudah ambruk. Korupsi memperparah pandemi, karena sebenarnya serapan anggaran Covid-19 dapat ditingkatkan untuk meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan.

Kami melihat pemerintah tidak benar-benar mendengarkan suara rakyatnya. Gawat daruratnya situasi saat ini menunjukkan bahwa suara-suara ahli kesehatan masyarakat, sosiolog, mahasiswa, dan banyak lagi mereka yang bukan berafiliasi dengan pemerintah yang berteriak sekuat tenaga mengingatkan dan berniat baik membantu mengendalikan pandemi tidak dipedulikan. Pemerintah seolah tidak memiliki sense of crisis, tidak memiliki empati kepada keluarga yang selama ini berjuang menyelamatkan jiwa yang berakhir meregang nyawa akibat tidak mendapatkan pertolongan medis.

Untuk itu sekali lagi, untuk kesekian kalinya, kami mendesak agar pemerintah mengambil langkah luar biasa untuk menekan laju kegawatdaruratan pandemi yang antara lain dengan sebagai berikut:

  1. Meminta maaf kepada publik atas situasi ini, dan memberikan solusi bantuan konkret terhadap keluarga yang berjuang mendapatkan perawatan Rumah Sakit/ICU/dan layanan medis lainnya;
  2. Melakukan pembatasan yang lebih ketat dari PPKM Mikro, yaitu dengan menekan kelonggaran pekerja sektor esensial untuk mengurangi laju pergerakan dan transmisi virus di tingkat komunitas;
  3. Pemerintah harus melakukan pembaruan data secara realtime, yang bukan hanya menuliskan angka statistik, tapi harus merefleksikan kondisi yang sesungguhnya.
  4. Meningkatkan semua upaya surveilans, termasuk meningkatkan tes secara masif dan signifikan serta mempermudah testing dan cakupan vaksinasi;
  5. Menyudahi komunikasi yang mencitrakan baiknya situasi dan beralih ke komunikasi risiko yang berempati, akuntabel dan merefleksikan kegawatdaruratan di masyarakat dan faskes sesungguhnya di lapangan, sehingga menumbuhkan kewaspadaan bagi masyarakat untuk taat menjalankan protkes.

 

Narahubung:

Lya Anggraini: +628774075033
Firdaus: +6287838822426

Siaran Pers hasil diskusi publik ini dapat diunduh melalui tautan berikut.

Materi yang dibawakan dalam diskusi publik oleh Muhammad Isnur dari YLBHI dapat diunduh melalui tautan berikut

Kemenkes Bantah LaporCovid-19: Tak Benar Faskes RI Kolaps Hadapi Pandemi

Jakarta -??Kelompok pemerhati perkembangan?COVID-19?di Indonesia, LaporCovid-19, menyebut fasilitas kesehatan (faskes) di Indonesia kolaps menghadapi pandemi.?Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) membantah hal tersebut. “Kalau kolaps tidak benar ya, bisa dicek ke fasyankesnya,” kata Juru Bicara Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi, kepada wartawan, Sabtu (3/7/2021).

 

Data LaporCovid-19: 265 Pasien Wafat saat Isoman karena Tak Dapat RS

“Fenomena ini menjadi potret nyata kolapsnya fasilitas kesehatan yang menyebabkan pasien COVID-19 kesulitan mendapatkan layanan medis yang layak. Situasi ini diperparah oleh komunikasi risiko yang buruk, yang menyebabkan sebagian masyarakat menghindari untuk ke rumah sakit dan memilih isolasi mandiri,” kata LaporCovid-19 dalam pernyataan pers bersama ICW dan YLBHI, Sabtu (3/7).