Faskes Kolaps, Sebanyak 265 Pasien Isolasi Mandiri Covid-19 Meninggal Dunia

SIARAN PERS

Faskes Kolaps, Sebanyak 265 Pasien Isoman Covid-19 Meninggal Dunia

 

peta versi interaktif ini juga dapat dilihat melalui tautan berikut https://datawrapper.dwcdn.net/Qxi5G/1/

3 Juli 2021. Lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia telah meningkatkan kematian. Selain pasien yang meninggal selama perawatan di rumah sakit, banyak masyarakat melaporkan kematian anggota keluarga atau rekan mereka di rumah saat menjalani isolasi mandiri. Fenomena ini menjadi potret nyata kolapsnya fasilitas kesehatan yang menyebabkan pasien Covid-19 kesulitan mendapatkan layanan medis yang layak. Situasi ini diperparah oleh komunikasi risiko yang buruk, yang menyebabkan sebagian masyarakat menghindari untuk ke rumah sakit dan memilih isolasi mandiri.

 

Berdasarkan hasil penelusuran tim LaporCovid19 di sosial media Twitter, berita online, dan laporan langsung warga ke LaporCovid-19, kami menemukan sedikitnya 265 korban jiwa yang meninggal dunia positif Covid-19 dengan kondisi sedang isolasi mandiri di rumah, saat berupaya mencari fasilitas kesehatan, dan ketika menunggu antrean di IGD Rumah Sakit. Kematian di luar fasilitas kesehatan ini terjadi hanya selama bulan Juni 2021 hingga 2 Juli 2021 .

Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah abai dalam memenuhi hak atas kesehatan warganya di masa pandemi, seperti yang dijamin oleh Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan No. 6 Tahun 2018. Undang-undang ini menjamin bahwa di masa pandemi, setiap warga negara berhak mendapatkan layanan medis yang semestinya. Jelas ini juga bagian dari pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebanyak 265 Korban jiwa tersebut tersebar di 47 Kota dan Kabupaten dari 10 Provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Lampung, Kepulauan Riau, Riau, dan NTT. Provinsi yang terekam cukup banyak mengalami kematian di luar RS adalah Jawa Barat sejumlah 97 kematian dari 11 kota/kabupaten. Temuan provinsi dengan sebaran terbanyak yakni ada di Jawa Tengah yang kejadiannya muncul di dua belas kota/kabupaten. Berikut tabel rincian jumlah kematian per provinsi terkait.

 

Provinsi Jumlah Kematian di luar RS Jumlah Sebaran Kota/Kabupaten
Jawa Barat 97 11
Daerah Istimewa Yogyakarta 63 5
Banten 40 3
Jawa Tengah 22 12
Jawa Timur 18 7
Dki Jakarta 17 5
Riau 5 1
Lampung 2 1
Kepulauan Riau 1 1
Nusa Tenggara Timur 1 1

 

Jumlah tersebut tentu belum mewakili kondisi sesungguhnya di komunitas, karena tidak semua orang melaporkannya ke LaporCovid-19, media sosial, atau diberitakan media massa. Kami mengkhawatirkan, hal ini merupakan fenomena puncak gunung es dan harus segera diantisipasi untuk mencegah semakin banyaknya korban jiwa di luar fasilitas kesehatan. Selain memperkuat fasilitas kesehatan dan sumber daya tenaga kesehatan, harus ada pembatasn mobilitas secara ketat untuk mencegah terus melonjaknya laju penularan kasus yang akan meningkatkan risiko kematian.

Demi akurasi dan kelengkapan data, Tim LaporCovid-19 membutuhkan dukungan laporan dari masyarakat Indonesia di berbagai daerah dalam pendataan ini. Bagi yang ingin melaporkan kejadian kematian pasien Covid-19 di luar fasilitas kesehatan, bisa melapor ke opsi nomor 5 terkait kejadian meninggal dunia karena COVID-19 melalui kontak berikut LaporkanKematianCovidNomor5

 


Narahubung:
Said Fariz Hibban – LaporCovid-19 (+62 815-2744-0489)

Yerikho Setyo Adi – LaporCovid-19 (+62 877-0007-9965)

Muhamad Isnur – YLBHI (+62 815-1001-4395)

 

Sumber:
Berikut tautan tampilan sumber data

Silahkan unduh siaran pers ini melalui tautan berikut

Wagub DKI ke Relawan LaporCovid-19: Tak Perlu Minta Maaf, Anda Selamatkan Rakyat

Terkait hal itu, Wagub DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengungkapkan rasa syukur dan terima kasihnya pada relawan tim LaporCovid-19 yang selama ini telah meluangkan waktunya untuk membantu masyarakat Indonesia. Ia meminta relawan tak perlu meminta maaf karena tak bisa menolong seluruh warga.?Teman2 relawan yang mengabdi di Tim @LaporCovid tidak perlu minta maaf. Teman2 telah memberikan seluruh pikiran, kemampuan terbaik, meluangkan waktu, tenaga untuk menyelamatkan rakyat Indonesia. Teman2 telah mencontohkan bela negara dengan aksi nyata. Kami butuh Tim Lapor COVID-19,? dikutip dari twit @ArizaPatria, Jumat (2/7).

Dampak Gagal Atasi Laju Penularan Covid-19: Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan Kolaps

PRESS RELEASE

Dampak Gagal Atasi Laju Penularan Covid-19: Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan Kolaps

 

1 Juli 2021 – Lonjakan kasus Covid-19 memicu krisis fasilitas dan layanan kesehatan. Sejak 14 Juni hingga 30 Juni 2021, LaporCovid-19 menerima 101 laporan warga terkonfirmasi positif Covid-19 yang meminta bantuan untuk mencarikan rumah sakit (RS), ruang isolasi, dan ruang rawat intensif seperti Neonatal Intensive Care Unit (NICU), Intensive Care Unit (ICU), atau High Flow Nasal Cannula (HNFC). Sebagian di antaranya juga membutuhkan ventilator dan oksigen. Laporan permintaan rumah sakit paling banyak tersebar dari wilayah Jabodetabek. Sebagian besar dari mereka mempunyai gejala sedang hingga berat, dan sebelumnya menjalani isolasi mandiri. Sebanyak 11 pasien meninggal saat menunggu perawatan karena penuhnya RS.

Temuan LaporCovid-19:
  • Fasilitas dan layanan kesehatan kolaps. Kami mendapat laporan 65 warga terkonfirmasi positif Covid-19, dengan gejala sedang hingga berat yang perlu bantuan kegawatdaruratan medis. Di salah satu RS umum pusat milik pemerintah di Jakarta, seorang pasien meninggal sesaat setelah tiba di sana. Sebelumnya ia ditolak beberapa RS dengan alasan tak ada stok tabung oksigen. Selain itu, keesokan harinya, terdapat laporan seorang pasien yang saturasi oksigennya di bawah 90 persen, terpaksa pulang dari IGD. Sebabnya, petugas menyampaikan: tak ada kursi roda, tempat tidur, stok oksigen, dan masih ada sekitar 65 pasien yang antre untuk dirawat.
  • Pada 29 Juni, seorang pasien berusia 26 tahun di Tangerang Selatan diusir dari indekos karena positif Covid-19. Dia disewakan ambulans oleh kantornya dan diantarkan ke Puskesmas Kunciran. Di sana dia hanya menunggu di kursi roda dan tak dilayani. Saat
    meminta surat rujukan, ia dipimpong ke dua puskesmas lainnya. Saat menuju Puskesmas Paku Alam, pasien muntah dan tak sadarkan diri. Kemudian pasien dirujuk ke RS Grha MM2100 dan baru mendapatkan infus empat jam setelah sampai. Lalu meski tanpa surat rujukan, pasien diantar ke tempat isolasi di Rusun Nagrak. Sesampainya di sana, ia justru diusir beberapa pasien lain dengan alasan: mereka akan
    sembuh dan tak mau berdekatan dengan pasien baru. Dalam kondisi belum makan sejak semalam, dia akhirnya mengantre kembali untuk mendapatkan kamar.
  • Pada 30 Juni pagi, terdapat laporan masuk dari 1 keluarga dengan 3 orang terkonfirmasi positif Covid-19. Mereka sudah mencoba ke RSUI pada hari Selasa namun dipulangkan karena sudah penuh. Meski memiliki surat rujukan, mereka tak bisa ke Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet karena sudah penuh juga. Salah satu dari mereka yang berusia 65 tahun diarahkan ke IGD terdekat karena mengalami perburukan pernapasan. Sementara itu, tim LaporCovid-19 menghubungi Hotline Ambulan Depok namun tak bisa dilayani karena tanpa persetujuan RS rujukan. Puskesmas memberikan opsi untuk menggunakan ambulans berbayar, namun keluarga tidak memiliki biaya. Pada siang hari, petugas puskesmas melakukan home visit, namun pasien tidak mendapatkan oksigen maupun obat-obatan. Petugas puskesmas dan satgas setempat membantu mencarikan RS rujukan. Setelah menunggu sekitar empat jam, kondisi pasien memburuk. Saat akan dibawa ke IGD terdekat, tak ada ambulans yang bisa mengantarkannya. Akhirnya pasien meninggal di rumah.
  • Seorang pasien positif Covid-19 yang dirawat sejak 12 Juni di sebuah Puskesmas daerah Tangerang Selatan, pada 27 Juni membutuhkan tabung oksigen. Keluarga pasien beberapa kali menghubungi 112 namun gagal. Satu jam, kemudian pasien akhirnya mendapatkan ambulans untuk ke RSU Tangerang Selatan. Meski saturasi oksigen pasien saat itu 82 persen, namun ia tak diperbolehkan masuk oleh satpam RSU Tangerang Selatan. Saat itu kami menghubungi Dinas Kesehatan Tangerang Selatan dan respons mereka: saat ini RS sudah penuh dan semua sedang membutuhkan oksigen. Keluarga kemudian mengantarkan pasien ke RSUP Fatmawati. Namun sesampainya di sana pasien tidak mendapatkan oksigen dan meninggal dunia saat mengantri di IGD.
    Krisis pandemi Covid-19 membuat RS tidak dapat lagi menampung pasien, tenaga kesehatan kelelahan dan bahkan banyak di antara mereka yang terinfeksi Covid-19, serta stok oksigen yang semakin menipis.

Dengan kegentingan situasi di lapangan ini, kami mendesak agar:

  1. Sekali lagi, Presiden Joko Widodo harus memprioritaskan kesehatan masyarakat dan menimbang pendapat ahli kesehatan dalam membuat kebijakan berbasis data dan kemanusiaan.
  2. Pemerintah segera mengambil langkah luar biasa darurat dengan memberlakukan lockdown di seluruh Jawa-Bali dan wilayah terdampak lainnya untuk menekan laju penularan Covid-19, disertai peningkatan 3T dan transparansi data agar pemahaman masyarakat terbangun dengan baik. Pemberlakuan lockdown juga disertai edukasi yang masif, dan pemberian bantuan kebutuhan dasar kepada masyarakat terdampak. Tanpa ada penghentian mobilitas, faskes tidak akan sanggup menampung lonjakan pasien.
  3. Pemerintah memberikan perlindungan kepada tenaga kesehatan, baik perlindungan kesehatan maupun insentif untuk mendukung tugas mereka merawat pasien Covid-19.
  4. Realisasikan percepatan produksi dan distribusi oksigen untuk mencegah perburukan pada pasien Covid-19 yang mengalami sesak nafas atau penurunan saturasi oksigen. Krisis pandemi Covid-19 memang harus ditangani dengan bantuan dari seluruh pihak. Namun perlu kepemimpinan yang tegas dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas untuk memimpin pengendalian krisis ini.

 

Narahubung:
Amanda Tan (+62 858-6604-4058)
Windy (+62 881-0269-19144)

 

 

Lampiran
Kronologi lengkap cerita pasien:

  1. Pasien Wisma Nagrak

    Selasa (29/06/21)

    19.20: Laporan via Twitter Pasien perempuan (26 tahun), lokasi di Tangerang Selatan. Diminta keluar dari kosan setelah terkonfirmasi positif. Pasien sendirian dan tidak ada keluarga. Minta dicarikan lokasi isoman di Tangerang Selatan. Kondisi lemas dan sedikit sesak.
    20.15: Disewakan ambulans oleh pihak kantornya pasien, diarahkan ke Puskesmas Kunciran. Menunggu di kursi roda namun tidak kunjung ditangani.
    21.30: Meminta Puskesmas Kunciran untuk dibuatkan surat rujukan untuk isoman tapi puskesmas menyatakan tidak dapat mengeluarkan surat rujukan dan diminta ke Puskesmas Parigi.
    21.40: Dokter jaga di Puskesmas Kunciran dikontak oleh dokter relawan LaporCovid-19, menyatakan puskesmas penuh dan akan merujuk ke tempat isoman di Tangsel.
    22.00: Ambulans diarahkan oleh puskesmas untuk ke Puskesmas Parigi.
    22.30: Di Puskesmas Parigi juga pasien kembali ditolak dan disuruh ke Puskesmas Paku Alam.
    22.38: Di dalam perjalanan, pasien muntah-muntah dan tidak sadarkan diri.
    23.00: Di Puskesmas Paku Alam juga kembali ditolak, dengan alasan tidak ada oksigen dan tidak ada perawat.
    23.20: Setelah dokter relawan LaporCovid-19 mengontak seorang dokter lainnya, dokter tersebut mengontak Puskesmas Paku Alam. Barulah diberikan pertolongan (ternyata ada oksigen di puskesmas).Rabu (30/06/21)
    00.20: Diinfokan oleh petugas ambulans bahwa pasien dirawat di Puskesmas Paku Alam dan bisa bermalam di sana.
    00.20: Tim LaporCovid-19 berhasil mengontak lokasi isoman Rumah Lawan Covid Tangsel dan diinformasikan full, waiting list 35 orang.
    01:08: Puskesmas Paku Alam menyatakan tidak bs merawat bila pasien tidak ada pendamping. Namun ketika ditanya pendamping untuk apa, hanya dibilang supaya ada yang mendampingi. Pendamping menunggu di luar karena tidak bisa masuk ke ruangan yang ada pasien Covid-19. Kesepakatan akhir adalah bila tidak ada yang mendampingi maka pihak Puskesmas tidak memeriksa kondisi pasien, nanti mungkin shift pagi baru dicek lagi. Tidak lama kerabat pelapor dikontak lagi oleh pihak puskesmas bahwa sudah mendapatkan RS rujukan di Cibitung (RS. Graha Cibitung MM2100 Bekasi.). Karena ambulans masih ada di Puskesmas Paku Alam maka pasien diminta untuk dibawa ke Cibitung dengan alasan sudah sudah dapat rujukan dan tidak bisa pilih mau dimana dan jam berapa. Pasien berangkat ke RS. Graha Cibitung MM2100 Bekasi sendirian tanpa ada yang menemani.
    03.00: Pasien tiba di RS Graha Cibitung namun tidak mendapatkan perawatan. Padahal pihak puskesmas menyatakan bahwa RS rujukan sudah siap.
    07.04: Pasien baru mendapatkan perawatan dan infus di RS. Graha Cibitung.
    08.04: Pasien mendapatkan persetujuan untuk dirawat di Wisma Nagrak Cilincing.
    09.30: RS Grha Cibitung menolak mengelurkan surat rujukan untuk ke lokasi isoman. Karena menurut pemeriksaan gejala ringan jadi diminta pulang ke rumhah. Padahal sudah dijelaskan bahwa pasien tidak ada tempat tinggal karena sudah diminta keluar dari kosan dan tidak ada keluarga, serta sudah ada persetujuan dari Wisma Nagrak.
    10.30: Ambulans dari yayasan sosial datang dan membawa pasien ke Wisma Nagrak, tanpa surat rujukan RS.
    11.40: Pasien tiba di Wisma Nagrak. Petugas di Wisma Nagrak meminta hasil swab PCR, namun pasien baru swab antigen saja.
    13.30: Pasien sudah mendapatkan kamar namun diusir oleh pasien lain yang sudah ada di kamar tersebut dengan alasan mereka sudah mau sembuh sehingga tidak mau menerima dan berdekatan dengan pasien baru. Pasien diminta oleh petugas untuk antri lagi. 14.00: Pasien mengeluh pusing karena belum makan dari malam. Ternyata RS pun tidak memberikan makan, dan antaran makanan ke RS pagi hari tidak sampai ke pasien. Sembari menunggu, pasien dipesankan makanan oleh rekan kerjanya.
    14.30: Pasien akhirnya bisa mendapatkan kamar di Wisma Nagrak.
  2. Pasien meninggal di rumah.
    06.00: Laporan masuk via WA Pasien 1 (L, 65 tahun) kondisi sesak napas sejak hari Selasa, pasien 2 (P, 37 tahun) lemas, pasien 3 (P, 9 tahun) lemas. Sudah sempat ke RSUI hari Selasa namun ditolak dan pulang kembali. Memiliki surat rujukan ke wisma atlet namun tidak bisa mengontak lagi karena full. Disarankan untuk ke IGD terdekat mengingat kondisi Pasien 1 yang sesak. Tim Laporcovid bantu hubungi Hotline Ambulans Depok namun tidak mau membawa bila belum ada RS Rujukan. Sudah juga menghubungi RSUD Depok untuk minta pertolongan ambulans namun tidak bisa karena untuk transport pasien RS. Puskesmas sudah memberikan informasi mengenai ambulans berbayar juga. Pasien tidak ada kendaraan dan sudah didorong naik grab namun kondisi anak juga lemas dan tidak ada yang mendampingi. Menurut pasien, tetangga juga tidak bisa bantu.
    10.30: Siang hari ada home visit dari petugas puskesmas, namun tidak mendapatkan oksigen maupun obat. Petugas memeriksa dan mendata untuk mencari RS Rujukan. Sudah mengabarkan satgas setempat. Diminta menunggu kabar.
    15.00: Tim Laporcovid follow up kabar terbaru, juga menelepon staff puskesmas namun hanya diinfokan sedang menunggu RS Rujukan. Pasien didorong untuk segera ke IGD terdekat lagi karena kondisi Pasien 1 yang semakin sesak.
    15.38: Pasien 2 mengabarkan bahwa Pasien 1 sudah meninggal dunia.

Catatan:
Press release ini dapat diunduh melalui tautan berikut

Warga Meninggal Sebelum Mendapatkan RS dan ICU

SIARAN PERS

Warga Meninggal Sebelum Mendapatkan RS dan ICU


Jakarta, 26 Juni 2021 – Berdasarkan hasil pencarian Rumah Sakit (RS) yang dilakukan oleh LaporCovid-19 selama seminggu terakhir, banyak RS menolak pasien karena tidak ada ketersediaan tempat tidur. Pasien yang tidak dapat mendapatkan kasur di Instalasi Gawat Darurat (IGD) harus bertahan di rumah dengan ketersediaan alat seadanya dari Puskesmas, bahkan harus berakhir meninggal dunia karena tidak mendapatkan pertolongan secepatnya.

Selama seminggu terakhir (14-25 Juni 2021), LaporCovid-19 menerima setidaknya 43 laporan warga untuk permintaan Rumah Sakit. Hasilnya, hampir seluruh Rumah Sakit yang kami hubungi menunjukkan bahwa ruang ICU (Intensive Care Unit), isolasi, dan IGD sudah terisi penuh. Bahkan tiga pasien meninggal karena karena tidak mendapatkan ruang ICU.

Salah satu di antara pasien gawat darurat adalah seorang laki-laki berusia 59 tahun yang tengah berada di salah satu rumah sakit di Depok dan memerlukan ICU dengan ventilator. Pada Sabtu malam (19/6) hingga Minggu dini hari kami mengontak 95 SPGDT (Sistem Penanganan Gawat Darurat Terpadu) yang berada di Jabodetabek, hingga Minggu (20/6) menjelang dini hari. Namun, dari 95 Rumah Sakit itu, 36 memberitahukan bahwa ruang ICU mereka penuh, termasuk RS Mitra Keluarga Depok, RS Sulianti Saroso, RSUD Pasar Minggu dan RS Persahabatan. Sementara, delapan RS menyampaikan tidak memiliki ruang ICU dan 51 RS sama sekali tidak merespon. Hingga akhirnya pagi sekitar pukul 05.00 WIB pasien meninggal dunia karena tidak mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.

Dari 43 laporan, 15 di antaranya mengalami kondisi kegawatdaruratan medis, sehingga memerlukan pertolongan sesegera mungkin. Kondisi pasien pada umumnya dengan saturasi oksigen rendah, demam tinggi, disertai mual. Sisanya mengalami gejala ringan hingga sedang yang memerlukan pemantauan Puskesmas setempat. Namun sayang beberapa Puskesmas juga agak lambat merespon bantuan.

Untuk mencari RS, selain menghubungi secara langsung SPGDT RS, kami juga mengontak Dinas Kesehatan. Selain itu beberapa kali kami juga merujuk pada ketersediaan kamar situs SIRANAP Kemenkes. Namun kerap terjadi perbedaan data di mana tertulis tersedia di
SIRANAP, namun pada kenyataannya tidak tersedia. Pada kondisi banyaknya warga yang membutuhkan Rumah Sakit maupun ICU, penting bagi pemangku kepentingan untuk memberikan panduan data ketersediaan Rumah Sakit dan ICU yang akurat, sehingga upaya perawatan dan penyelamatan pasien terwujud secara efektif dan efisien.

Jenis
kelamin
Meninggal Kronologi
L 24 Juni
2021
Meninggal di IGD di sebuah RS di Garut dan mengalami
penurunan kondisi kesadaran selama di IGD.
L 21 Juni
2021
Meninggal di sebuah RS di Depok. Kami membantu melakukan
pencarian terhadap 95 SPGDT di Jabodetabek, 36 di antaranya
penuh, 51 SPGDT tidak menjawab, sisanya tidak memiliki ruang
isolasi.
P 25 Juni
subuh hari
Pasien mengalami kondisi kritis selama di IGD di salah satu RS di
DKI Jakarta dan meninggal dunia di IGD. Laporan diterima pada
subuh hari, namun nyawa pasien tidak tertolong.

 

 

Tentang LaporCovid-19:
LaporCovid-19 adalah wadah (platform) sesama warga untuk berbagi informasi mengenai angka kejadian terkait COVID-19 di sekitar kita. Pendekatan bottom-up melalui citizen reporting atau crowdsourcing agar setiap warga bisa ikut menyampaikan informasi seputar kasus terkait COVID-19. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi: Website: www.laporcovid19.org , IG: @laporcovid19, Twitter: @laporcovid, FB: Koalisi Warga LaporCovid-19

Atau hubungi:
Windy – Relawan LaporCovid-19 (+62 881 0269 19144)

 

 

Silahkan unduh siaran pers ini melalui tautan berikut

Sepertiga Warga DKI Masih Khawatir Akan Vaksin COVID-19

SIARAN PERS

Sepertiga Warga DKI Masih Khawatir Akan Vaksin Covid-19

 

Jakarta, 13 Juni 2021 – Hingga Sabtu (12/6) 2,87 juta warga Jakarta telah divaksin dosis pertama dan lebih dari 1.86 juta orang telah mendapatkan vaksinasi Covid-19 kedua. Meski DKI Jakarta menduduki peringkat kedua sebagai provinsi dengan cakupan vaksinasi terbanyak setelah Bali, namun pelaksanaan vaksinasi masih menemui berbagai macam halangan termasuk kekhawatiran warga. Merujuk dari temuan Pemprov DKI Jakarta dan beberapa berita di media, salah satu tantangan terbesar program vaksinasi adalah penolakan masyarakat terhadap vaksin. Isu-isu seperti keharaman, efek samping, ketidakmanjuran, hingga aksesibilitas vaksin menjadi masalah yang harus ditangani bersama.

Merespon hal ini, LaporCovid-19, Lab Intervensi Sosial dan Krisis – Fakultas Psikologi UI, dan Social Resilience Lab, NTU melakukan studi berbasis survei untuk menggali hambatan dan memetakan persepsi warga DKI terhadap vaksinasi. Survei dilakukan selama dua minggu dari 30 April-15 Mei 2021 dan diikuti oleh 57.231 responden yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta, namun hanya 47.457 responden yang menyelesaikan survei dan tervalidasi. Sebagian besar responden adalah lulusan SMA (53,8 persen) dan Sarjana (13,6 persen), Ibu Rumah Tangga (42,8 persen), Pekerja Swasta ( 15,48 persen) dan Pekerjaan Lain sebesar 10,9 persen saja. Dari sisi risiko kesehatan terhadap infeksi Covid-19, 70,95 persen responden mengaku tidak memiliki komorbiditas. Survei dilakukan secara online dengan penarikan sampel menggunakan metode Convenience Sampling. Penyebaran survei dibantu oleh Biro Tata Pemerintahan DKI Jakarta dan jaringan komunitas warga. Untuk mempelajari hambatan dan faktor yang mendorong warga DKI untuk divaksinasi, kami menggunakan pendekatan Health Belief Model yang mengukur kecenderungan umum kekhawatiran, kerentanan, hambatan, dan manfaat vaksinasi.

Kehalalan, Kemanjuran Vaksin, dan Efek Samping Masih Menjadi Isu

Salah satu temuan utama survei ini adalah meski sebagian besar warga DKI yang mengikuti survei merasa yakin dan bersedia untuk divaksin, namun ? responden (10.789 orang) khawatir bahwa vaksin Covid-19 tidak halal. Menariknya, isu kehalalan vaksin ini bukan menjadi milik pemeluk agama Islam saja, namun juga tercermin dari mereka yang non-muslim. Selain itu masih ada 34% responden (16.102 orang) yang khawatir terhadap kemanjuran vaksin Covid-19, yang artinya menganggap vaksin Covid-19 belum mampu melindungi dari infeksi virus SARS-nCov2. Sementara, 32% responden (14.889 warga) takut akan efek samping vaksin atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Menariknya, mereka yang berusia 50-60 tahun (pra-lansia), dengan pekerjaan TNI/POLRI dan tenaga kesehatan merupakan kelompok yang tertinggi memiliki kekhawatiran terkena efek samping vaksin Covid-19..

Selain itu, survei ini menunjukkan bahwa mayoritas warga DKI (70%) relatif tidak memiliki hambatan yang berarti dalam mendapatkan informasi seputar pendaftaran dan lokasi vaksinasi serta transportasi. Namun, sebagian kecil responden (13,4 persen atau 6.366 orang) mengaku masih memiliki kesulitan dalam mengakses informasi tentang vaksinasi. Meski jumlah responden lansia hanya 18,7 persen, tetapi sepertiganya (32,56 persen) kelompok umur lansia menunjukkan ketergantungan pada orang lain untuk mendaftar dan berangkat ke tempat vaksinasi.

Rekomendasi

Meski jumlahnya relatif kecil, 8 persen responden survei ini menyatakan tidak bersedia divaksin. Namun, mengingat DKI Jakarta masih memiliki tren penularan Covid-19 yang cukup tinggi dan bahkan belakangan menunjukkan melonjaknya kembali pasien positif Covid-19, diperlukan upaya-upaya serius dan strategis untuk menanggapi kekhawatiran akan vaksin yang cukup tinggi (sepertiga warga khawatir berarti 1 dari 3 warga memiliki kekhawatiran) agar cakupan vaksinasi terus meningkat. Jangan sampai kekhawatiran yang dimiliki warga menyurutkan mereka untuk divaksin, terutama untuk menghindari situasi pandemi kembali memburuk sebelum upaya mengatasinya melalui vaksinasi membaik (menghindari it get worse before it gets better). Oleh karena itu, berdasarkan temuan-temuan survei ini kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Mengintensifkan edukasi dan sosialisasi untuk wilayah dan kepada kelompok warga DKI Jakarta yang masih memiliki kekhawatiran cukup tinggi akan efektifitas dan manfaat vaksinasi, efek samping, dan kehalalan vaksin.
  2. Menyasar secara lebih spesifik wilayah dan kelompok warga untuk menyampaikan pesan kunci mengenai efektifitas dan manfaat vaksinasi, rendahnya risiko kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) dan kesiapan tata laksana penanganan KIPI, dan kehalalan vaksin. Pesan kunci disampaikan menggunakan bahasa, medium pesan, dan penyampai pesan yang sesuai dengan wilayah dan kelompok warga yang disasar.
  3. Mempermudah warga untuk mengakses layanan vaksinasi, yaitu dengan cara sebagai berikut :
    1. Melanjutkan dukungan untuk warga miskin (menggerakkan RT/RW, sosialisasi dari pintu ke pintu, bantuan transportasi dll.)
    2. Memberi kemudahan dalam penjadwalan dan kemudahan mengakses lokasi vaksinasi (terutama untuk pra-lansia dan lansia)
    3. Menjamin program vaksinasi tanpa dipungut biaya

Dengan karakter khasnya sebagai ibukota dengan infrastruktur (kesehatan, komunikasi informasi dll.) yang relatif lebih baik dibandingkan dengan provinsi lain, maka penjangkauan dan optimalisasi cakupan vaksinasi di DKI Jakarta akan memberikan indikasi keberhasilan vaksinasi Covid-19 secara menyeluruh di Indonesia. Keberhasilan vaksinasi Covid-19 di DKI Jakarta akan memberikan cermin awal mengenai kesiapan untuk suksesnya vaksinasi di Indonesia.


Studi ini dipimpin oleh Dicky Pelupessy, Ph.D, salah satu kolaborator ahli laporcovid19.org.
Silahkan hubungi melalui nomor berikut:
WhatsApp: +62818824402
Instagram:
@Laporcovid19
Twitter: @LaporCovid
FB: LaporCovid19

 

Siaran ulang bisa disaksikan di YouTube LaporCovid-19
Siaran Pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut.
Presentasi Siaran Pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut.

Laporan Warga Mengenai Vaksinasi COVID-19: Informasi Mengenai Vaksinasi Perlu Ditingkatkan

SIARAN PERS

Laporan Warga Mengenai Vaksinasi COVID-19: Informasi Mengenai Vaksinasi Perlu Ditingkatkan

 

JAKARTA, 4 Juni 2021 Berdasarkan hasil umpan balik chatbot LaporCovid-19 didapat bahwa sebagian pelapor menilai informasi mengenai vaksinasi COVID-19 tidak seluruhnya dapat ditangkap oleh warga. Akibatnya masih adanya warga yang enggan atau merasa takut divaksin. Oleh karena itu warga merekomendasikan pemerintah untuk memperkuat sosialisasi dan informasi mengenai vaksinasi COVID- 19. Inisiasi umpan balik pelaksanaan vaksinasi ini merupakan kerjasama Wahana Visi Indonesia (WVI) dan LaporCovid-19 untuk memetakan suara warga sehingga diketahui permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi masukan untuk perbaikan.

Data ini didapat selama 20 hari mulai 6-26 April 2021 melalui chatbot LaporCovid-19 pada aplikasi Whatsapp dan Telegram. Sebanyak 185 pelapor menyampaikan pengamatan dan persepsi mereka tentang pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Sebagian besar pelapor (66,5%) berada di wilayah urban dan sisanya di wilayah rural. Sedangkan usia pelapor beragam, mulai dari usia anak hingga lansia. Pelapor rural dan urban memberi penilaian berbeda atas pelaksanaan vaksinasi. Sebanyak 45% umpan balik rural memberi nilai buruk. Sedangkan urban sebanyak 20%. Beberapa pelapor melaporkan situasi saat vaksinasi, seperti antrean panjang, ketidakjelasan saat wawancara kesehatan, kemudian penyimpanan kemasan secara sembarangan.

Dari hasil umpan balik, didapat bahwa pelapor urban mengetahui informasi dasar rencana vaksinasi lebih baik dibandingkan pelapor rural. Sebanyak 20% pelapor urban dan rural memiliki pengetahuan utuh/dasar tentang kapan dirinya mendapat vaksinasi, siapa saja kelompok yang mendapat prioritas vaksinasi, bagaimana proses pendaftaran, dan bahwa vaksinasi adalah gratis. Dari hasil pengamatan pelapor, hanya 8 orang (4,3%) yang mengetahui bahwa 3 kelompok prioritas vaksinasi di daerahnya (Petugas Publik, Tenaga Kesehatan, dan Lansia) sudah divaksin.

Berdasar pada data pengamatan warga, terdapat indikasi bahwa pelaksanaan vaksin di berbagai daerah (rural dan urban) belum seluruhnya menjangkau kelompok yang sudah ditetapkan sebagai penerima vaksin yang diprioritaskan. Berdasarkan hasil pengamatan pelapor, ditemukan pula empat besaran keluhan/masalah yang pelapor sampaikan terkait pelaksanaan vaksinasi. Pertama, terkait informasi pelaksanaan vaksinasi yang tidak jelas; kedua, keluhan atas proses saat vaksinasi. Ketiga, masalah prioritas vaksinasi. Keempat, takut atau enggan vaksinasi. Dari keempat masalah yang ditemukan, baik pelapor urban maupun rural sama-sama mengeluhkan bahwa masalah sosialisasi dan pelaksanaan vaksinasi adalah dua masalah besar yang terjadi baik di wilayah urban dan rural.

Untuk itu, sebanyak 40,3% dari pelapor rural dan 28,4% dari pelapor urban memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memperkuat sosialisasi dan penyampaian informasi vaksinasi COVID-19.

Selain itu, berdasarkan hasil temuan asesmen umpan balik warga tentang pelaksanaan vaksinasi COVID-19, pemerintah perlu memprioritaskan ketersediaan anggaran untuk memastikan kebutuhan vaksin tercukupi. Pelaksanaan vaksinasi juga perlu dilakukan secara transparan, dan harus terus dimonitor dan dievaluasi. Didaerah, Pemda juga perlu menyusun strategi komunikasi yang mempertimbangkan keragaman kebutuhan informasi bagi masyarakat dan proaktif melakukan pendataan serta pendaftaran vaksin. Di samping itu, masyarakat juga perlu secara proaktif mencari informasi terkait vaksin, dan tetap disiplin menjalankan 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan, membatasi mobilisasi).

“Untuk memastikan bahwa program vaksinasi COVID-19 yang sedang berjalan dilaksanakan secara efektif dan tepat sasaran, kami (WVI dan LaporCovid-19) meyakini bahwa proses umpan balik dari warga, atau akuntabilitas sosial itu, berperan penting dalam penanganan bencana COVID-19. Suara warga akan membantu pemerintah mengidentifikasi permasalahan di lapangan dan kemudian melakukan perbaikan, sehingga implementasi kebijakan vaksinasi berjalan baik dan akuntabel,” tutur Manajer Advokasi WVI, Junito Drias.

Program vaksinasi menjadi sama pentingnya dengan peningkatan kapasitas testing dan tracing sebagai upaya pemulihan negeri ini dari pandemi COVID-19. Agar seluruh warga Indonesia dapat kembali beraktivitas penuh, termasuk situasi di mana anak-anak bisa bermain dan mengikuti kegiatan belajar-mengajar secara utuh.

Amanda Tan, relawan LaporCovid-19 menyampaikan inisiasi umpan balik suara warga tentang pelaksanaan vaksinasi COVID-19 ini dilakukan untuk menyampaikan suara warga tentang pelaksanaan vaksinasi COVID-19, dan mendorong kebijakan pemerintah dan implementasinya lebih baik dalam hal pelaksanaan vaksinasi COVID-19.

“Hasil umpan balik ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai pengetahuan warga atas program vaksinasi, pengamatan warga atas rencana dan pelaksanaan vaksinasi, sentimen/ kecenderungan masyarakat atas program vaksinasi berdasarkan pengamatan hingga rekomendasi warga atas program vaksinasi. Pemetaan ini diharapkan menjadi alat advokasi untuk mendorong implementasi kebijakan pelaksanaan vaksinasi COVID-19 yang lebih baik, sehingga akhirnya membantu pemerintah mencapai target vaksinasi sesuai dengan prioritas berdasarkan rekomendasi SAGE WHO ,” kata Amanda.

Laporan lengkap mengenai hasil umpan balik warga dapat diunduh di www.laporcovid19.org.

—————————————————————————————————————————

Tentang LaporCovid-19

LaporCovid-19 adalah wadah (platform) sesama warga untuk berbagi informasi mengenai angka kejadian terkait COVID-19 di sekitar kita. Pendekatan bottom-up melalui citizen reporting atau crowdsourcing agar setiap warga bisa ikut menyampaikan informasi seputar kasus terkait COVID-19. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi: Website: www.laporcovid19.org , IG: @laporcovid19, Twitter: @laporcovid, FB: Koalisi Warga LaporCovid-19

Atau hubungi:
Amanda Tan, relawan LaporCovid-19
M. +62 858 6604 4058
Email: amanda@laporcovid19.org

 

Tentang Wahana Visi Indonesia

Wahana Visi Indonesia adalah organisasi kemanusiaan Kristen yang hadir melayani dan berkolaborasi dalam pemberdayaan anak, keluarga dan masyarakat yang paling rentan melalui pendekatan pengembangan masyarakat, advokasi dan tanggap bencana untuk membawa perubahan yang berkesinambungan tanpa membedakan agama, ras, suku, dan gender. Sejak tahun 1998, Yayasan Wahana Visi Indonesia telah menjalankan program pengembangan masyarakat yang berfokus pada anak. Ratusan ribu anak di Indonesia telah merasakan manfaat program pendampingan WVI. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi: Website : https://www.wahanavisi.org/ IG : @wahanavisi_id FB: Wahana Visi Indonesia

Atau hubungi:
Amanda Nugrahanti, Media Relation Executive
Tel. +62 21 2977 0123 ext. 3304/M. +62 811 274 9344
Email:
amanda_nugrahanti@wvi.or.id

 

Siaran Pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut.
Pointer presentasi dapat diunduh melalui tautan berikut.

Hoaks Soal Vaksin Rugikan Program Vaksinasi

PENYEBARAN?berita bohong (hoaks) terkait vaksin covid-19 dirasakan telah merugikan program vaksinasi yang sedang dilakukan peme rintah. Masyarakat diimbau dapat memilahmilah informa si yang tersebar di berbagai platform.

?Karena hal ini merugikan program vaksinasi sehingga berimbas pada rendahnya cakupan vaksinasi, tidak hanya vaksinasi covid-19,? kata pemerhati imunisasi, Julitasari Sundoro, Jumat, 4 Juni 2021.

Ia menambahkan publik pun perlu mendapat penjelasan dari institusi yang kredibel dan dapat dipercaya, seperti Kementerian Kesehatan serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.

?Masyarakat jangan menelan mentah-mentah suatu berita dan informasi. Kita harus cek kembali kalau ragu dan tidak langsung menyebarkannya,? ujarnya.

Seperti halnya menjawab keraguan masyarakat, Julitasari menerangkan sebenarnya kandungan vaksin covid19 ini adalah antigen dari virus SARS-CoV-2. Kandungan itu diperlukan untuk membentuk antibodi.

Dalam pelaksanaan vaksinasi, apabila terjadi demam atau bengkak di tempat penyuntik an, tak perlu panik. Itu hal yang biasa pada proses pembentukan antibodi dalam tubuh manusia.

?Reaksi-reaksi ringan akibat divaksinasi itu bisa hilang dalam satu-dua hari. Dalam kartu vaksinasi pun sudah diberikan nomor kontak untuk menghubungi apabila terjadi kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI),? imbuhnya.

Tidak Punya KTP Sesuai Domisili, Warga Ditolak Vaksinasi Covid-19

DXChannel?– Koalisi warga?LaporCovid-19?mendapatkan temuan dari masyarakat bahwa ada warga yang ditolak vaksinasi?Covid-19?karena tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) sesuai dengan domisili.

Temuan LaporCovid-19 ini dari suara masyarakat terkait vaksinasi Covid-19 di Indonesia dimana 185 menjadi responden yang dilakukan dari tanggal 6 sampai 26 April 2021.

Relawan LaporCovid-19, Amanda Tan mengatakan laporan kurang baik menyatakan bahwa vaksinasi itu kurang berjalan lancar karena tidak adanya informasi dari pihak yang berwenang.

?Ada hambatan seperti misalnya mereka tidak mempunyai KTP domisili mereka berada, sudah ada surat keterangan tapi tetap ditolak. Atau juga gangguan saat proses vaksinasi, misalnya screening yang kurang dari pada petugas,? ungkap Amanda secara virtual, Jumat (4/6/2021).