Lebih 3 Ribu Tenaga Kesehatan Covid-19 Dilaporkan Belum Dapat Insentif

JAKARTA?- Gerakan LaporCovid-19 mendapat pengaduan bahwa masih banyak tenaga medis yang belum menerima dana insentif?Covid-19. Sejak Januari-Maret 2021 ada sebanyak 3.443 tenaga medis yang belum menerima dana insentif Covid-19.

Relawan LaporCovid-19 Firdaus Ferdiansyah mengatakan, selama dua periode pihaknya membuka layanan pengaduan sejak Januari-Maret 2021 ada sejumlah tenaga medis yang melapor belum mendapatkan dana insentif.

“Pada periode pertama 5 Januari sampai 8 Februari dan periode kedua 8 Februari sampai 18 Maret 2021 hasilnya secara akumulatif 3.443 tenaga kesehatan belum menerima insentif,” kata Firdaus dalam konferensi pers, Selasa (11/5/2021).

LaporCovid-19: 3.443 Nakes Telat Dapat Insentif Januari-Maret

Jakarta, CNN Indonesia –?Lembaga?LaporCovid-19?mengatakan 3.443 tenaga kesehatan telat menerima insentif Januari-Maret 2021. Jumlah tersebut didapat dari laporan yang diterima selama dua periode mulai 8 Januari-5 Februari, dan 5 Februari-18 Maret 2021.

“Hasilnya terakumulasi sedikitnya terdapat 3.443 tenaga kesehatan belum menerima insentif mereka,” kata relawan LaporCovid-19, Firdaus Ferdiansyah dalam jumpa pers daring, Selasa (11/5).

LaporCovid19 Terima Laporan Masih Ada Nakes yang Belum Terima Insentif

Suara.com -?Koalisi Warga untuk LaporCovid19 masih menemukan adanya kasus?tenaga kesehatan?(nakes) yang belum mendapatkan intensif penanganan Covid-19 dari pemerintah.

Meskipun sudah ada nakes yang menerima, namun tetap saja intensif yang diberikan bermasalah. Relawan LaporData, Firdaus Ferdiansyah memaparkan, data yang terhimpun per 6 Mei 2021. Setidaknya ada 41 nakes yang belum memperoleh insentif.

“Ada sekitar 41 nakes yang belum menerima insentif, 30 lainnya sudah menerima, tetapi mereka juga menyampaikan keluhan artinya insentif atau penyaluran insentif mereka bermasalah,” kata Firdaus dalam paparannya melalui daring, Selasa (11/6/2021).

Laporan Mengenai Keluhan Insentif Tenaga Kesehatan Pembaruan Jilid III

Laporan Mengenai Keluhan Insentif Tenaga Kesehatan Pembaruan Jilid III

 

Pemutakhiran periode 18 Maret 2021 – 6 Mei 2021. Disampaikan pada Konferensi Pers Konsorsium Masyarakat Sipil 11 Mei 2021.

Pemenuhan Hak Insentif dan Perlindungan Tenaga Kesehatan

SIARAN PERS

Pemenuhan Hak Insentif dan Perlindungan Tenaga Kesehatan

 

Jakarta, 10 Mei 2021 – Lebih dari setahun pandemi Covid-19 melanda. Selama ini pula Rumah Sakit Darurat Corona Wisma Atlet (RSDC Wisma Atlet) menampung dan merawat pasien Covid-19. Untuk menunjang operasional, RSDC Wisma Atlet merekrut relawan tenaga kesehatan yang cukup besar. Setidaknya terdapat 1545 perawat dan 249 dokter ditambah sejumlah tenaga kesehatan yang lain seperti epidemiolog, sopir ambulans, sanitarian, apoteker, ahli teknologi laboratorium medik, elektromedik dan fisikawan medik. Mereka berjuang setiap hari untuk merawat para pasien Covid-19 tanpa lelah.

Secara mengejutkan pada 5 Mei 2021, Jaringan Nakes Indonesia mengabarkan hal yang memprihatinkan kepada LaporCovid-19, yakni belum dibayarkannya insentif relawan tenaga kesehatan RSDC Wisma Atlet sejak bulan Desember 2020 hingga April 2021, beberapa nakes bahkan belum mendapatkan insentif sejak November 2020. Artinya, mereka bekerja tanpa upah sama sekali di tengah tingginya risiko infeksi. Padahal, sebagian tenaga kesehatan ini tidak bisa bekerja di tempat lain selama menjadi relawan. Selama itu pula nakes di RSDC Wisma Atlet bertahan hidup dengan konsumsi dari Wisma Atlet dan donasi dari sejumlah pihak. Meski berstatus sebagai relawan, mereka mendapatkan Nota Dinas yang dikeluarkan oleh BPPSDMK Kementerian Kesehatan RI. Sebagaimana amanat KMK HK.01.07/MENKES/4239/2021, khususnya pada No. 3C, Bagian B, BAB II tentang Kriteria Tenaga Kesehatan menyebutkan bahwa relawan tenaga kesehatan yang bekerja pada RS Darurat Lapangan seperti RSDC Wisma Atlet dan RS darurat lapangan lainnya berhak mendapatkan insentif dan santunan kematian.

Selain itu, relawan tenaga kesehatan ini juga berencana melakukan konferensi pers pada Jumat 7 Mei 2021 untuk menyampaikan aspirasinya sekaligus hasil survei tentang insentif nakes. Namun rencana ini gagal karena mereka mendapatkan sejumlah tekanan. Tidak dapat dipungkiri adanya kemungkinan mereka menandatangani dokumen penerimaan insentif di bawah tekanan. Ancaman terhadap mereka sebenarnya juga kerap kali terjadi sebelum ini. Padahal niat baik mereka harusnya disambut baik, dan negara harus melindungi mereka sebagai tenaga kesehatan, pekerja, dan warga negara yang baik.

Selama ini, mereka bertahan hidup dengan konsumsi dari Wisma Atlet dan donasi karena lambatnya pencairan insentif selama berbulan-bulan. Berdasarkan data Jaringan Nakes Indonesia per 10 Mei 2021, terdapat kurang lebih 1500 perawat yang belum menerima insentif bulan November – Desember 2020. Sedangkan pada bulan Januari 2021 terdapat sekitar 400 perawat yang belum mendapatkan insentif. Situasi ini hampir mirip dengan bulan Februari April 2021 dimana ada sekitar 1500 perawat tak kunjung menerima haknya sebagai relawan pandemi.

Permasalahan ini diperparah ketika nakes terpaksa bungkam untuk menyuarakan permasalahan insentif karena tekanan dari beberapa pihak, sehingga nakes tidak berani menyampaikan pendapat maupun keluhan atas hak insentifnya. Sistem kerja nakes selama pandemi di wisma atlet, harus tinggal di dalam wisma dan dikontrol oleh militer dan polri dimana kontrak mereka juga diperpanjang secara otomatis setiap bulan. Nakes juga mengalami kegamangan apabila berhenti bertugas, dikhawatirkan tunggakan insentif tidak dicairkan. Hal ini dialami oleh salah satu relawan tenaga kesehatan dari Jaringan Nakes Indonesia yang terpaksa diberhentikan pada 10 Mei 2021 setelah menyuarakan haknya sebagai relawan sebelum tunggakannya dibayarkan. Ini tentu berada di luar nalar kemanusiaan dan sangat tidak pantas dilakukan kepada warga negara yang telah bersusah payah membantu dalam masa krisis untuk menangani pandemi Covid-19.

Di sisi lain, Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa pembayaran insentif yang tertunggak telah disalurkan sejak 14 April 2021 lalu. Namun sayang, sebaliknya kita justru mendapat kabar bahwa masih banyak tenaga kesehatan yang hingga kini belum menerima.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh LaporCovid-19 sejak 8 Januari 2021 hingga 6 Mei 2021, secara akumulatif, terdapat 3484 nakes yang belum menerima insentif. Kami paham bahwa penunggakan insentif sudah mulai dibayarkan, namun sejak dikeluarkannya peraturan terbaru (KMK HK.01.07/MENKES/4239/2021) mengenai mekanisme pembayaran insentif dan santunan kematian, dari pertengahan April hingga awal Mei kami masih saja mendapati sekitar 84 nakes yang tersebar dari berbagai daerah tidak menerima hak insentif mereka. Persoalan terbesar yang ditemukan adalah distribusi jumlah insentif yang tidak teratur atau tidak dilakukan secara reguler, sehingga distribusi terhenti mendadak tanpa tahu kapan insentif kembali didistribusikan. Tidak hanya itu, mereka juga kerap mendapati adanya pemotongan dari faskes tanpa adanya persetujuan/kontrak yang membuat mereka menerima insentif kurang dari semestinya.

Seperti laporan yang kami terima dari salah satu tenaga kesehatan yang mendapatkan pemotongan pada insentifnya:

Sebagai perawat di ruang isolasi Covid-19, saya hanya mendapat insentif 3jt yang seharusnya menerima 7,5jt. Pemotongan insentif ini sudah terjadi sejak awal pencairan insentif dari Kemenkes. [terkait pemotongan insentif ini saya belum bisa memastikan berapa kawan-kawan saya yang terkena imbasnya, karena tidak ada transparansinya. Di RS kami ada penerima insentif sekitar 60 orang yang terdiri dari perawat, dokter umum dan DPJP. Kemungkinan untuk yg DPJP disalurkan penuh karena kalau insentif DPJP dipotong akan bersuara, sedangkan kami mau bersuara imbasnya juga di kami juga. Yang jelas, untuk pemotongan itu terakhir di bulan September 2020, kabarnya sudah masuk ke rekening RS tapi ada rencana pemotongan insentif untuk pencairan bulan November-Desember 2020. Sedangkan untuk bulan Januari – April 2021, saya masih belum mendapatkan kabar selanjutnya Kota Batu, Jawa Timur – 08 Mei 2021.

Tenaga kesehatan tidak bisa diminta untuk memaklumi lambatnya pencairan insentif dalam kurun waktu berbulanbulan dengan alasan tenaga kesehatan yang bertugas di Wisma Atlet secara sukarela mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Hal ini tidak dapat dijadikan pembenaran atas keterlambatan dan pemotongan insentif terhadap tenaga kesehatan. Insentif tersebut merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh negara, serta merupakan hak nakes yang rela membahayakan dirinya demi keselamatan warga negara.Karenanya, kami,

Koalisi Warga untuk Keadilan Tenaga Kesehatan Indonesia mendesak Kementerian Kesehatan untuk:

  1. Segera mencairkan dan memberikan dana insentif kepada para nakes yang bertugas melayani perawatan pasien Covid-19, terutama mereka yang bertugas di RSDC Wisma Atlet dan RSDC lainnya sebelum pertengahan Mei 2021.
  2. Memenuhi semua kewajiban sebagai aparatur negara yang bertanggung jawab untuk memberikan hak insentif dan santunan kepada nakes sesuai amanah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Memberikan insentif bagi nakes yang tidak bekerja pada fasilitas layanan kesehatan yang dikategorikan menurut KMK HK.01.07/MENKES/4239/2021 namun terinfeksi dan menderita Covid-19.
  4. Menghentikan semua pencitraan bahwa dana insentif dan santunan kepada tenaga kesehatan sudah dicairkan, padahal kenyataan di lapangan masih banyak nakes yang belum menerima.

Kami mengecam keras tindakan sewenang-wenang dan segala bentuk tekanan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkuasa, serta mendesak Bapak Budi Gunadi Sadikin dan jajaran Kementerian Kesehatan untuk segera mengambil langkah yang tepat dalam melindungi hak tenaga kesehatan dan mencegah adanya upaya-upaya kekerasan kepada tenaga kesehatan sebagai bukti adanya ketegasan dalam melindungi tenaga kesehatan yang telah mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan.

 

Koalisi Warga untuk Keadilan Tenaga Kesehatan Indonesia

__________________________________________________________________________________________
Narahubung:
Firdaus Ferdiansyah LaporCovid-19 (+62 878-3882-2426)
M. Isnur YLBHI (+62 815-1001-4395)


Koalisi Warga untuk Keadilan Tenaga Kesehatan Indonesia:
Kantor LBH dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Indonesia Corruption Watch (ICW)
Transparency International Indonesia
Lokataru Foundation
LaporCovid-19

 

_________________________________________________________

 

Referensi

https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/berita-utama/20210413/5137503/review-bpkp-selesaitun ggakan-insentif-nakes-tahun-2020-segera-dibayarkan/

 

 

Silahkan unduh siaran pers ini melalui tautan berikut

Antisipasi Tsunami Covid-19

Berdasarkan data yang dihimpun oleh laporcovid19.org Indoneisa banyak kehilangan tenaga kesehatan, tercatat hingga 6 Mei 2021 jumlah tenga kesehatan yang gugur dalam melawan Covid-19 berjumlah 900 orang, diantaranya Dokter sebanyak 343 orang, Perawat 288, Dokter Gigi 33 orang, Sanitarian 5 orang, Bidan 145 orang, Terapis Gigi 3 orang, Petugas Ambulan 2 orang, Rekam Radiologi 6 orang ATLM 26 orang, Apoteker 8 orang, Elektromedik 3 orang, Fisikawan Medik 1 orang, Entomolog Kesehatan 1 orang, Epidemolog 2 orang, Tenaga Farmasi 3 orang dan Lain-lain 31 orang.

Lebaran Sepekan Lagi dan Baru Keluarkan Pembatasan Bukber: Kebijakan Telat

Suara.com -?Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran tentang pembatasan kegiatan?buka puasa bersama?selama Ramadhan dan?pelarangan halal bihalal.

Namun instruksi pemerintah tersebut dianggap epidemiolog dan beberapa warganet sebagai hal yang terlambat mengingat puasa hanya sekitar satu minggu lagi dan telah terjadi klaster bukber.

Namun Kemendagri menegaskan surat edaran ini tidak telat karena merupakan kebijakan lanjutan untuk menajamkan upaya yang telah dilakukan sebelumnya, seperti pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan mengatakan klaster bukber adalah satu dari klaster lain seperti perkantoran, tarawih dan mudik yang berkontribusi meningkatkan kasus Covid-19 di Bulan Ramadhan.

Lebaran sepekan lagi dan pemerintah baru keluarkan pembatasan bukber, warganet dan epidemiolog sebut ‘kebijakan yang telat’

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan surat edaran tentang pembatasan kegiatan buka puasa bersama (bukber) selama Ramadan dan pelarangan halal bihalal.

Namun instruksi pemerintah tersebut dianggap epidemiolog dan beberapa warganet sebagai hal yang terlambat mengingat puasa hanya sekitar satu minggu lagi dan telah terjadi klaster bukber.

Namun Kemendagri menegaskan surat edaran ini tidak telat karena merupakan kebijakan lanjutan untuk menajamkan upaya yang telah dilakukan sebelumnya, seperti pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan mengatakan klaster bukber adalah satu dari klaster lain seperti perkantoran, tarawih dan mudik yang berkontribusi meningkatkan kasus Covid-19 di Bulan Ramadhan.

Sistem Karantina Lemah, Penyebaran Covid-19 Kian Berbahaya

SIARAN PERS

Sistem Karantina Lemah, Penyebaran Covid-19 Kian Berbahaya

 

JAKARTA Sistem karantina pada masa pandemi Covid-19 bagi warga negara asing yang masuk ke Indonesia masih lemah. Hal ini, antara lain, tampak pada kasus WNA yang berkeliaran di hotel karantina dan pungutan sejumlah uang kepada WNA untuk menghindari karantina. Longgarnya sistem karantina tersebut bisa membahayakan masyarakat seiring munculnya varian baru Covid-19.

Laporan Warga yang masuk ke chatbot LaporCovid-19 menyebutkan, sejumlah WNA berkeliaran tanpa mematuhi protokol kesehatan saat karantina. Hal ini sangat meresahkan masyarakat. Parahnya lagi, ditemukan praktik pungutan liar yang memanfaatkan lemahnya sistem karantina untuk keuntungan pribadi. Caranya, memfasilitasi warga negara India yang ingin masuk Indonesia tanpa karantina dengan membayar sekitar Rp. 6,5 juta.

Dua kasus ini menunjukan pelaksanaan karantina bagi pelaku perjalanan internasional memiliki celah untuk dilanggar. Penyebabnya, regulasi yang tidak ketat dan oknum petugas yang tidak berintegritas, kata relawan LaporCovid-19, Yemiko Happy, Selasa (4/5/2021), di Jakarta.

Padahal, Menurut SE No. 8/2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Covid-19, setiap orang yang ingin masuk ke Indonesia, termasuk WNA, diwajibkan melakukan 5×24 jam karantina dan pemeriksaan PCR ulang dengan hasil negatif. Jika negatif, yang bersangkutan diperkenankan melanjutkan perjalanan dan dianjurkan menjalani karantina mandiri selama 14 hari serta menerapkan protokol kesehatan.

Sayangnya, lanjut Yemiko, respons pemerintah terhadap longgarnya karantina cenderung normatif dan tidak tegas. Kasus Oakwood (hotel karantina), misalnya, Satgas Covid wilayah Kamal Muara dan Satpol PP hanya melakukan tanya jawab biasa dengan manajemen, tanpa pengusutan kasus lebih lanjut.

Pemprov DKI Jakarta akhirnya memberikan surat teguran setelah kasus tersebut viral. Adapun kasus penyuapan agar pelaku perjalanan tidak menjalani karantina kini dalam tahap proses hukum. Pelaku dan semua yang terlibat dalam kasus tersebut harus dihukum seberat-beratnya. Ini untuk menjamin penanganan pandemi berjalan dengan baik.

Mereka tidak hanya membahayakan nyawa masyarakat, tetapi juga memalukan nama Indonesia di mata dunia dalam penanganan pandemi. Di sisi lain, kasus positif Covid-19 mengalami peningkatan di sejumlah negara, terutama India. Bahkan, muncul varian baru virus SARS-CoV-2 di India, yaitu B.1.617, yang lebih ganas. Kegagalan dalam karantina bisa memperparah pandemi di Indonesia, ujarnya.

Yemiko menilai, kelonggaran karantina harus menjadi bahan evaluasi regulasi Pemerintah Pusat, Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dan Keimigrasian. Berbagai pemangku kebijakan perlu meningkatkan pengawasan karena tidak sedikit pelaku perjalanan dari luar negeri yang memanfaatkan celah untuk berwisata di tengah pandemi, katanya.

Pemerintah seharusnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan penanganan pandemi, termasuk pelaksanaan karantina. Kolaborasi dan tindakan tegas diperlukan untuk menunjukkan empati terhadap masyarakat yang sudah menaati protokol kesehatan. Ketidaktegasan, inkonsistensi, dan ketidakadilan dalam penanganan pandemi oleh pemerintah hanya akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, ujar Yemiko.

 

 

Silahkan unduh siaran pers ini melalui tautan berikut

Tes Covid-19 Indonesia, Minim dan Rentan Dikorupsi

SIARAN PERS

Tes Covid-19 Indonesia, Minim dan Rentan Dikorupsi

 

JAKARTA – Tes Covid-19 di Indonesia masih jadi problem meski pandemi sudah berlangsung lebih dari setahun. Selain jumlahnya masih minim dan tidak merata, tes Covid-19 juga rentan dikorupsi dengan modus pemalsuan dan pemakaian alat tes bekas. Tanpa pengawasan ketat pemerintah, praktik buruk ini bakal berlanjut.

Pengungkapan penggunaan alat tes swab antigen bekas di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, menunjukkan lemahnya pengawasan tes Covid-19 di Indonesia. Ini hanyalah puncak gunung es dari masalah tes Covid-19 di Indonesia. Bisa jadi, modus yang sama juga dilakukan di bandara dan laboratorium lainnya, kata Amanda Tan, relawan LaporCovid19, Sabtu (1/5/2021).

Seperti diberitakan media sebelumnya, Polda Sumatera Utara menetapkan lima tersangka penggunaan alat tes usap antigen bekas pakai di Laboratorium Kimia Farma Bandara Kualanamu. Tersangka beraksi sejak Desember 2020 dengan perkiraan korban sekitar 30.000 orang. Mereka bahkan meraup Rp 1,8 miliar.

Sebelum itu, keluhan masyarakat tentang pemalsuan surat hasil tes PCR ataupun antigen juga sudah berulangkali terjadi. Salah satu yang terungkap, seperti di salah satu puskesmas di Mojokerto, Jawa Timur, baru-baru ini. Pemalsuan surat hasil tes juga sempat terjadi di Bandara Soekarno Hatta sejak November 2020 dengan melibatkan petugas laboratorium hingga agen perjalanan.

Selain membahayakan keselamatan masyarakat, buruknya pelaksanaan tes ini juga rentan dengan tindak korupsi dan kolusi. Sejauh ini, kita juga belum mendengar adanya validasi merek rapid antigen yang dipakai di Indonesia. Apakah memang sesuai dengan yang direkomendasikan WHO? ungkapnya.

Laporan investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama sejumlah media mengungkap banyaknya rumah sakit mengembalikan ratusan ribu alat tes Covid-19 kepada BNPB. Potensi kerugian negara diprediksi sekitar Rp 170 miliar dari pengadaan alat tes tersebut.

Permasalahan itu mulai dari kualitas reagen hingga VTM (viral transport medium) yang buruk. Ini menunjukkan rentannya korupsi pengadaan tes, yang bisa berdampak langsung bagi keselamatan publik. Aparat keamanan perlu memantau pelaksaan tes di berbagai bandara dan laboratorium, ujarnya.

Kondisi ini juga ironis dengan minimnya tes Covid-19 di Indonesia. Misalnya, laporan Kementerian Kesehatan pada 30 April 2021 menunjukkan, jumlah orang yang diperiksa dengan RT-PCR hanya 26.939 orang, TCM (tes cepat molekuler) 246 orang, dan antigen 24.479 orang.

Jumlah ini sangat tidak memadai. Apalagi untuk tes PCR yang memiliki tingkat kekuratan sangat tinggi. Mnimnya tes ini terlihat dari tingginya positivity rate di Indonesia, yang rata-rata masih di atas 10 persen atau dua kali lipat dari ambang batas aman yang disarankan WHO, yakni 5 persen.

Selain jumlah tes yang terbatas, cakupan tes Covid-19 di Indonesia juga belum merata. Jakarta masih mendominasi pemeriksaan. Pada 30 April, proporsi tes PCR yang dilakukan di Jakarta mencapai 36% persen dari seluruh tes secara nasional.

Masalah lainnya adalah, transparansi pelaporan jumlah dan hasil tes di tiap daerah yang buruk. Sejauh ini hanya Jakarta yang secara konsisten melaporkan jumlah tesnya secara harian ke publik. Padahal, publik berhak mengetahui informasi tes. Data itu juga jadi basis kebijakan pemerintah, lanjut Amanda.

Tim LaporCovid19 juga menerima keluhan warga terkait penggunaan tes antigen yang belum 100 persen akurat seperti metode PCR. Hasil tes antigen, misalnya, menyatakan negatif Covid-19, tetapi setelah tes PCR hasilnya menunjukkan positif Covid-19.

Ini gawat karena swab antigen banyak digunakan sebagai syarat perjalanan, rapat, dan seterusnya, ujar Amanda menirukan laporan warga tersebut.

Amanda mengingatkan, tes merupakan salah satu kunci pengendalian pandemi oleh pemerintah, selain pelacakan dan isolasi. Pihaknya mendesak pemerintah memperketat pengawasan terhadap tes Covid-19, menginformasikan data terbaru, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas tes. Tanpa upaya ini, penanganan pandemi di Indonesia akan berlarut-larut, menelan korban jiwa, dan berimplikasi pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat, ungkapnya.

Referensi

https://kumparan.com/kumparannews/satgas-jelaskan-pengadaan-499-200-alat-tes-covid-19-1vMGd449INy/full

https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5542944/polisi-bongkar-pemalsuan-surat-tes-antigen-covid-19-di-mojokerto

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/01/26/07012591/pemalsuan-keterangan-hasil-swab-timbulkan-klaster-covid-19-di-pesawat?page=all

https://www.who.int/publications/i/item/antigen-detection-in-the-diagnosis-of-sars-cov-2infection-using-rapid-immunoassays

https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/04/29/lima-pegawai-jadi-tersangka-korban-alat-tes-bekas-capai-30-000-orang/

 

 

 

Siaran pers ini dapat diunduh melalui tautan berikut