Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi dalam Spektrum Integritas Bantuan Sosial dan Keadilan Penyelenggaraan Vaksinasi di Jawa Timur

POLICY BRIEF

 Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi dalam Spektrum Integritas Bantuan Sosial dan Keadilan Penyelenggaraan Vaksinasi di Jawa Timur

Sebuah Kolaborasi LaporCovid-19, EM UB 2021, BEM FEB UB 2021, & BEM FK UB 2021

Pandemi adalah persoalan multi sektor. Tidak hanya sektor kesehatan yang terdampak, sektor sosial dan ekonomi turut terkena imbas dari pandemi Covid-19. Pada sektor kesehatan, hari demi hari jumlah kasus positif Covid-19 terus meningkat dan jumlah kematian akibat Covid-19 terus terjadi. Eskalasi kasus positif dan kematian akibat Covid-19 yang tidak hanya terjadi pada aras nasional menimbulkan dampak pada skala provinsi.

Provinsi Jawa Timur sendiri, dampak Covid-19 menimbulkan 2 isu krusial, yakni: 1) Belum meratanya distribusi vaksin antar kota/kabupaten di Jawa Timur. Padahal apabila melihat data yang ada, Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di Indonesia, serta 2) Belum adanya transparansi dana bansos dan data yang jelas untuk penerima bansos yang akurat sehingga mengakibatkan belum terserapnya anggaran bansos secara optimal dan menimbulkan celah-celah untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam rangka memberikan masukan atau rekomendasi kebijakan terhadap 2 isu krusial di Jawa Timur tersebut serta sebagai wujud pengimplementasian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 5 ayat d yakni “terwujudnya pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Oleh karena itu, aliansi kami yang terdiri dari Lapor Covid-19, Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya melakukan pembuatan Policy Brief yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi dalam Spektrum Integritas Bantuan Sosial dan Penyelenggaraan Vaksinasi di Jawa Timur”. Harapannya, masukan di dalam Policy Brief ini dapat memberikan dampak positif berupa rekomendasi yang konstruktif bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur agar nantinya dapat mengatasi 2 isu krusial tersebut yakni ketimpangan penyaluran vaksin antar kabupaten/kota dan transparansi dana bansos, akurasi data bansos, serta problema korupsi bantuan sosial di Jawa Timur.

Selengkapnya dalam dokumen berikut ini…

 

Keluhan Warga Mengenai Bantuan Sosial Selama Pandemi Covid-19

ADVOKASI PANDEMI

 Keluhan Warga Mengenai Bantuan Sosial Selama Pandemi Covid-19

Oleh LaporCovid-19 dan Transparency International Indonesia (TII)

Pandemi yang berlangsung selama hampir setahun membuat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia terpuruk. Sebagai upaya untuk dapat melangsungkan perputaran ekonomi di masyarakat, pemerintah merespon situasi pandemi dengan memberikan bantuan material kepada sebagian penduduk Indonesia. Bantuan material ini diberikan kepada rakyat melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan bantuan kepada pelaku UMKM.

Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk program perlindungan sosial sebesar Rp 203,90 triliun pada tahun 2020. Berdasarkan catatan kementerian keuangan sampai dengan akhir Desember, realisasi anggaran perlindungan sosial Rp. 220,9 triliun. Meskipun melebihi pagu anggaran, pelaksanaan program ini menunjukkan masih banyak warga yang belum mendapatkan bantuan sosial karena berbagai permasalahan.

Selengkapnya dalam dokumen berikut ini…

 

Informasi yang Simpang Siur Terkait Jenis dan Jumlah Bansos yang Diterima KPM

JURNALISME WARGA

Informasi yang Simpang Siur terkait jenis dan jumlah Bansos yang diterima KPM

Oleh Hijrah Lahaling

Siang itu, Jumat (06/08/2021), kami tim pelaksana Aplikasi Sipkumham menuju Kabupaten Gorontalo Utara (Gorut), dengan tujuan mengumpulkan data terkait implementasi penyelenggaraan bansos di masa pandemi Covid-19 se-kab/kota Provinsi Gorontalo. Saya dan 2 orang tim lainnya ditugaskan mengambil data di Dinas Sosial Kabupaten Gorut. Harapan sebelum berangkat, kami dengan mudah bisa mendapatkan data yang dibutuhkan apalagi dibekali dengan surat tugas dari lembaga.

Kami berangkat pukul 07.30 dari Kota Gorontalo, dan tiba di tempat tujuan pukul 09.00 WITA. Kami pun langsung menemui staf di ruang tunggu, sambil menanyakan terkait surat permohonan permintaan data sekaligus audience dengan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Gorut.

Sambil menunggu kabar dari staf yang kami temui itu, saya memerhatikan gerak-geriknya yang sepertinya dia kebingungan mencari surat yang sudah dikirimkan sebelumnya. Keluar masuk ruangan yang juga kami tidak tahu itu ruangan apa. Akhirnya saya bertanya kembali, tentang bagaimana dengan surat kami dan apakah bapak Kadis sudah bisa kami temui? Stafnya menjawab oh iyya ibu, sementara disiapkan dan data apa yang ibu butuhkan? kami tim saling memandang dan senyam-senyum kecil, di dalam hati saya bergumam, pertanda surat kami belum dibaca.

Kami menunggu kurang lebih 1 jam lamanya, waktu kami terbuang percuma, apalagi hari Jum’at, laki-laki akan bergegas melaksanakan sholat Jum’at. Tiba-tiba saya melihat, keluar seorang bapak menggunakan pakaian olahraga dari sebuah ruangan yang dikawal oleh seorang laki-laki sambil menenteng tas menuju mobil yang hendak bergegas pergi. Sayapun bilang ke tim, sepertinya bapak itu Kepala Dinasnya, sebaiknya kita kejar dan sapa.

“Pak, maaf kami dari Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Gorontalo hendak bertemu dengan Bapak”, Ucap pak Bintang, salah satu tim dari kanwil Hukum dan HAM. Dan Bapaknya menjawab, “oh iya, sudah dari tadi yah? sebenarnya saya sudah mau balik ke rumah untuk siap-siap ke mesjid”. Dan akhirnya bapak Kadis bersedia untuk kami wawancarai meskipun dengan waktu yang terbatas dan ditempat yang kami lama menunggu.

Saya pun memulai menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami, sembari memperkenalkan kalau saya dipercayakan sebagai tim peneliti dari unsur akademisi oleh Kanwil Hukum dan HAM. Setelah mendengarkan maksud dan tujuan tersebut, bapak Kadis memanggil salah satu pegawai yang menurutnya paling tahu tentang data penerima bansos.

Sambil menunggu data yang kami butuhkan disiapkan, saya pun mulai bertanya kepada Kepala Dinsos Gorut, Bapak Marzuki Pulumoduyo, tentang sejauhmana implementasi penyelenggaraan bansos di daerah bapak. Dimulai dengan bansos apa saja yang didistribusikan, jenisnya apa dan sasaran penerimanya siapa.

“Untuk Kabupaten Gorut, kami tetap mengacu pada Peraturan Gubernur Gorontalo No. 10 Tahun 2020 yaitu berupa Bantuan Langsung Pangan Daerah (BLPD), yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Ada juga namanya Bantuan Sosial Tunai (BST). Bantuan yang diberikan berupa uang tunai yang langsung di transfer ke rekening masyarakat. Uangnya itu dibelanjakan sembako di warung-warung yang telah ditentukan, dan kami selaku pemerintah memonitoring untuk memastikan apakah uang itu betul dibelanjakan sembako sesuai dengan yang telah ditentukan,” ujarnya.

“Jumlah penerima bansos di Kab Gorontalo Utara sebanyak 2.622 KK, dengan jenis bansos yang diterima berupa sembako yaitu beras, telur, minyak goreng, gula semut, ada juga ikan. Untuk sasarannya adalah seluruh masyarakat yang terdampak Covid-19,” imbuhnya lagi.

Sementara, ada masyarakat yang mengeluhkan tentang bansos yang diterimanya. “Bansos yang saya terima hanya BLT Dana Desa, bansos lainnya tidak ada, sementara ada tetangga saya yang dapat sampai 3 jenis bansos, Sembako, BLT Dana Desa dan BST”, ujar Sartin Mantulangi (68 Tahun), warga Desa Titudu, Kecamatan Kwandang, Gorut, yang sehari-harinya bekerja sebagai penjual kue.

Belum lagi seorang Ibu Rumah Tangga (IRT), Kunino Potale (68 Tahun), yang hanya mendapatkan bansos sembako berupa beras 10 Kg. “Saya hanya dapat bantuan beras 10 Kg”, imbuhnya.

Selain di Gorut, ternyata di Kota Gorontalo juga terjadi kesimpangsiuran informasi terkait jenis bansos yang didistribusikan. Seperti yang dialami Hauria Lamato (67 Tahun), warga jalan Membramo, Kecamatan Sipatana. “Bantuan yang saya terima ada sembako, BLT Dana Desa, dan Listrik Gratis. Sembakonya ada Beras 3 kg, Gula pasir 1 kg, Minyak Kelapa 1 botol, telur ayam 10 butir, susu 1 kaleng, bawang merah dan putih 1 kg, ikan 1 kg. Untuk BLT saya terima Rp. 300.000 selama 3 bulan”. ujar ibu Hauria.

“Saya mendapatkan bansos sembako, berupa beras 10 Kg, Gula pasir 1 kg, Minyak Goreng 1 liter, dan telur ayam 1 Rak,” imbuh Poulimo (45 Tahun) warga Desa Kayumerah, Kab Gorontalo.

Selain informasi yang simpangsiur dari masyarakat penerima bansos, informasi dari Dinas Sosial baik Kabupaten, Kota maupun Provinsi Gorontalo, juga tidak jelas dan beragam. Termasuk terkait pelaksana bansos Covid-19, ada yang mengatakan Dinas Sosial dan Dinas Pangan yang bertanggung jawab terhadap distribusi bansos, ada juga yang mengatakan Kementerian Sosial, Pemerintah Provinsi, Dinas Koperasi,  Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial dan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin, sebagai penanggungjawab bansos selama Covid-19.

Bansos Covid-19 untuk Lansia di Pangkas 50 Persen

JURNALISME WARGA

Bansos Covid-19 untuk Lansia di Pangkas 50 Persen

oleh Hijrah Lahaling

 

Gorontalo, Kemitraan – Lansia (lanjut usia) adalah salah satu kelompok yang paling rentan terdampak Covid-19 selain kelompok rentan lainnya yaitu anak, perempuan dan penyandang disabilitas. Selama pandemi, upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam penyelamatan dan pemulihan perekonomian yaitu melindungi kelompok rentan tersebut. Melalui pemberian Bantuan Sosial dengan mekanisme penyaluran yang cepat, merata dan tepat sasaran. Namun, kenyataannya penyaluran bansos berupa uang tunai untuk kelompok lanjut usia di Kota Gorontalo masih bermasalah. Selain adanya pemotongan hingga 50 persen, sebagian lansia bahkan tidak mendapat bantuan sama sekali.

Zainun (60 tahun), mengeluhkan adanya pemotongan bansos uang tunai sebesar 50 persen tanpa sepengetahuannya. “Uang yang seharusnya saya peroleh Rp.600.000, tapi yang sampai ke tangan saya hanya Rp. 300.000, dan saya tidak tahu alasannya kenapa dipotong”, ujar Zainun, warga Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo, (Kamis/14/10/2021).

Ibu Zainun adalah seorang kepala keluarga yang ditinggal mati suaminya. Pekerjaannya sehari-hari sebagai penjahit, pendapatannya cukup lancar namun ketika pandemi Covid-19 pemasukannya menurun drastis. Akhirnya, sementara waktu belum bisa menerima orderan seperti biasanya.

Pemotongan bansos juga dialami Ma Ice (63 tahun). “Saya awalnya dalah penerima bansos Covid-19 berupa uang tunai selama 4 bulan sebesar Rp. 600.000, hanya saja di bulan Juni bantuan itu dipotong 50% menjadi Rp. 300.000. Kemudian pada bulan Juli status saya dialihkan sebagai PKH yang bantuannya berupa sembako yaitu beras 15 liter, telur 15 butir, gula 1 kg, serta 1 ikan kaleng. Selanjutnya, 2 bulan kemudian saya disuruh memilih salah satu jenis sembako tersebut, jadi saya lebih memilih beras, ternyata berasnya tidak berkualitas, bau dan cepat busuk jika dimasak”. Sebut Ma Ice, seorang buruh cuci pakaian.

Lain halnya dengan yang dialami Nenek Hauriah begitu sapaanya, adalah seorang perempuan lansia yang tinggal bersama cucunya. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai buruh cuci pakaian. Nenek Hauriah adalah peserta PKH dari kelurahan Bulotadaa Timur, Jalan Membramo, Kota Gorontalo. Saat diwawancarai, nenek Hauriah bermohon agar statusnya sebagai penerima bantuan PKH dialihkan menjadi penerima bansos Covid-19, karena mendengarkan tetangganya mendapatkan bantuan uang tunai setiap bulannya selama 6 bulan berturut-turut.

“Saya, sebenarnya berharap bisa terdaftar sebagai penerima bansos Covid-19, karena bantuan PKH ternyata diterima setiap 4 bulan sekali, saya kira diterima setiap bulan. Itu juga dialami oleh cucu saya yang menerima bantuan PKH senilai Rp. 730.000 juga diterima 4 bulan sekali, kalau saya terima sembako berupa beras, minyak kelapa, gula pasir, telur dan ikan kaleng. Kebutuhan saya sehari-hari tidak tercukupi, karena bantuannya saya tidak dapatkan setiap bulan”.

Jenis bansos di Provinsi Gorontalo adalah Bantuan Langsung Pangan Daerah (BLPD), sesuai Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2020. Sasaran BLPD adalah pengemudi bentor, ojek, pengemudi angkutan, pekerja serabutan pedagang kecil (UMKM), baik di tingkat Provinsi maupun di Kabupaten/Kota. Lansia tidak disebutkan sebagai sasaran yang juga berhak mendapatkan BLPD.

“Kami RW hanya diminta untuk mendata semua warga yang berdomisili di kelurahan kami. Setelah terkumpul, maka data tersebut kami teruskan ke kelurahan, kemudian dari pihak kelurahan meneruskannya ke Dinas Sosial Kota Gorontalo selaku instansi yang bertanggung jawab dalam penyaluran bansos, oleh petugas kecamatan kemudian melakukan verifikasi data yang telah dikirimkan untuk memastikan apakah warga yang diusulkan tersebut berhak mendapatkan bansos, yang menentukan kriteria penerima adalah Dinas Sosial sebagai instansi yang diberikan kewenangan dan sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Kota Gorontalo.” Ujar Bapak Romi Abdullah, selaku Ketua RW Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo, Kamis/28/10/2021

“Sebelumnya penerima BLT sebanyak 102  KK, kemudian berkurang menjadi 96 KK, karena dianggap sudah mendapatkan bantuan lain yaitu PKH (Penerima Keluarga Harapan), jadi dianggap double. Uang tunai yang diterima sejak Bulan April sampai Juli sejumlah Rp. 600.000, kemudian tahap selanjutnya yaitu dibulan Agustus sampai Desember mengalami penurunan sebesar 50% yaitu Rp. 300.000, aturannya berdasarkan Instruksi Presiden RI.” lanjutnya.

Sementara, upaya konfirmasi yang dilakukan kepada Kepala Dinas Sosial Kabupaten Gorontalo, 12 Oktober 2021, menuturkan bahwa “selain BLPD, di Desa juga ada namanya BLT sebagai inisiatif Pemerintah Desa, bantuan ini diprioritaskan kepada sektor transportasi yaitu abang bentor, kemudian pedagang kecil, dan masyarakat miskin lainnya. Untuk lansia, memang tidak disebutkan secara eksplisit sebagai KPM didalam regulasi, tapi lansia tetap mendapatkan bansos”.

Lika-Liku Proyek Wastafel di Aceh

JURNALISME WARGA

Lika-Liku Proyek Wastafel di Aceh

oleh Irma Sari

 

Hujan pagi itu, Kamis (9/12/2021), nyaris membuat rencana peringatan Hari Anti Korupsi Internasional di Kota Banda Aceh batal. Hujan membuat jalan basah dan licin. Bahkan, bisa memicu banjir dan menghambat aktivitas warga. Bisa-bisa, tidak ada yang datang ke acara kami. Sebagai panitia, bukan ini yang kami harapkan.

Beruntung, pukul 10.00 hujan mereda. Kami bernapas lega. Peserta mulai berdatangan ke kegiatan kami yang digelar di sebuah kafe. Acara itu diinisiasi oleh Gerak Aceh, sebuah organisasi anti korupsi. Diskusi berjudul “Demokrasi Tanpa Korupsi” itu menghadirkan perwakilan dari berbagai elemen masyarakat sipil di Kota Banda Aceh.

Saya dinobatkan menjadi fasilitator karena dianggap menguasai isu anti korupsi, khususnya korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa (PBJ). PBJ merupakan sektor korupsi terbesar di Aceh. Pengetahuan tentang isu ini saya dapatan ketika menjadi anggota Komite Pemantauan PBJ Aceh sejak Mei 2021.

Dalam forum itu, saya memaparkan pengadaan barang dan jasa, khususnya proyek wastafel yang telah merugikan negara pada masa sulit pandemi covid -19. Berita tentang temuan kami bisa dibaca di sejumlah media, seperti di https://www.kompas.id/baca/desk/2021/12/09/keterlibatan-milenial-aceh-dalam-isu-antikorupsi-butuh-dukungan/.

Namun, melalui tulisan ini, saya ingin menjabarkan lika-liku pemantauan yang kami lakukan sejak Agustus 2021. Awalnya, kami menelusuri beberapa kanal-kanal pemerintah untuk mendapatkan informasi awal pengadaan barang dan jasa. Kami juga mengunjungi kanal Layanan Pengadaan Secara Electronik (LPSE), Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (SiRUP LKPP), Sistem Informasi Penyedia Kinerja Penyedia (SIKaP-LKPP), Kanal Organisasi Masyarakat Sipil, seperti Internasional Corruption Watch (ICW) juga tidak luput dari pencarian kami.

Kami mengecek nama pembeli (SKPD), judul Proyek, nilai kontrak, pagu anggaran, kategori pekerjaaan, lokasi pelaksanaan, jenis prosedur pemilihan, jumlah penawaran, tanggal pemberian kontrak, kode tender, kode Rencana Umum Pengadaaan (RUP), juga waktu pemilihan dan sumber dana. Setelah itu, kami mendalami perusahaan pemenang proyek.

Kami mencoba mengorek rekam jejak perusahaan dalam mengerjakan proyek sebelumnya, alamat perusahaan, pemilik perusahaan, dan jabatannya. Pencarian ini penting untuk mengetahui ada tidaknya dugaan pelanggaran atau persekongkolan vertikal dan horizontal, monopoli, konflik kepentingan, serta koneksi politik perusahaan dengan pemangku kebijakan.

Akhirnya, kami mendapatkan informasi proyek wastafel ini menelan anggaran Rp.44.000.958.000. Proyek ini dibangun di 390 titik sekolah dengan metode pengadaan langsung di Provinsi Aceh. Setiap sekolah mendapatkan 11 unit wastafel dan satu unit tempat penampungan air. Proyek ini merupakan salah satu perwujudan disiplin protokol kesehatan seiring kembalinya siswa ke sekolah.

Pembangunan wastafel dengan anggaran fantastis ini mendorong saya untuk mendalami, apakah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh melalui satuan kerja perangkat daerah Aceh (SKPA) Dinas pendidikan Aceh ini sudah tepat sasaran? Lalu, bisakah proyek ini memutus mata rantai penularan Covid-19?

Setelah kami turun ke lapangan, hasilnya sangat mengejutkan. Terdapat sejumlah ketidaksesuaian dalam pelaksaaan proyek. Pembangunan wastafel dikerjakan asal-asalan, keran-keran air rusak, air tidak mengalir, dan pipa sambungan tidak sepenuhnya terpasang dengan wastafel. Bahkan, ada wastafel yang rusak total, tidak bisa digunakan. Observasi langsung saya lakukan di Sekolah menengah atas (SMA) 1 dan SMA 3 di Banda Aceh, serta SMA 1 dan SMA Peusangan Selatan di Kabupaten Bireun.

Temuan lainnya, tidak sedikit siswa sekolah yang tidak menerapkan protokol kesehatan dalam masa Pandemi Covid-19. Mereka tidak memakai masker, tak menjaga jarak, dan tidak mencuci tangan ketika masuk ke ruangan kelas.

“Siswa-siswi di sekolah kami agak acuh (tak acuh) mencuci tangan. Di sini sekolah pun seperti biasa, tidak ada belajar dari rumah. Kami sekolah tiap hari, seperti tidak ada Covid-19” ujar seorang guru SMA 1 Peusangan Selatan Kabupaten Bireun yang enggan disebutkan namanya. Bireun merupakan salah satu kabupaten di Aceh yang tidak menerapkan pembelajaran jarak jauh meski pandemi.

Artinya, proyek wastafel belum menjamin penegakan protokol kesehatan di sekolah. Di sisi lain, proyek Dinas Pendidikan Aceh dengan anggaran Rp.122.674.000 per paket dengan total 390 paket dinilai tidak wajar. Apalagi, jika berbicara kualitas proyek pembangunan yang tidak sempurna, dan  tidak dapat dimanfaatkan. Bahkan, sekolah harus membangun wastafel portabel yang lebih bagus dan efesien.

Proyek ini juga kurang transparan karena terindikasi tidak ada partisipasi publik. Papan pengumuman proyek di sekolah-sekolah yang saya kunjungi, misalnya, tidak tampak. Padahal, prinsip pengadaan yang dipraktikkan secara internasional harus mengutamakan efisiensi, efektifitas, persaingan sehat, keterbukaan, transpraransi, tidak diskriminastif, dan akuntabel.

Berbagai temuan ini mengantarkan saya melakukan konfirmasi ke dinas pendidikan setempat terkait pembangunan proyek westafel yang dianggarkan oleh Dinas pendidikan, apakah proyek tersebut dilakukan pengawasan setelah proyek dinyatakan selesai.  Saya dipertemukan dengan T. Fariyal, S.Sos, Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Teknologi Komunikasi dan Informasi (UPTD Tekkomdik) Dinas Pendidikan Aceh.

“Proyek pembangunan tempat cuci tangan wastafel untuk SMA di kabupaten/kota sudah melalui perencanaan yang baik. Tetapi, soal proyek yang dibuat asal-asalan dan wastafel tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan dengan baik itu bukan wewenang saya untuk menjawab. Saya bukan kuasa pemegang anggaran (KPA) di dinas pendidikan,” ujarnya.

Inilah tantangan terbesar saya dalam mencari informasi  proyek wastafel. Tidak semua orang yang saya wawancarai berani bicara dan terbuka tentang proyek ini. Saya menduga, ketakutan mereka karena proyek ini telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas LHP No: 23.A/LHP/XVIII.BAC/05/2021 tertanggal 3 Mei 2021 tentang laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah Aceh tahun anggaran 2020. Kasus wastafel ini bahkan sudah ditangani Kepolisian Daerah Aceh.

Pandemi covid-19 telah menghacurkan tatanan kehidupan manusia, dari segi kesehatan, sosial, ekonomi dan pendidikan. Pandemi covid-19 masa-masa sulit bagi semua penduduk dunia, tak terkecuali anak-anak yang harus terus menuntut ilmu di berbagai sekolah di kota banda Aceh dan kabupaten Bireun Provinsi Aceh. Harapannya semua proyek yang dianggarkan dengan uang rakyat harus sesuai kebutuhan masyarakat dilapangan, ada perencanaan dan pengawasan yang baik dari pemerintah dan masyarakat.  Proyek wastafel harusnya tidak hanya membersihkan tangan siswa, tetapi juga membersihkan Aceh dari korupsi.

Perempuan Kepala Keluarga di Banda Aceh Sulit Mengakses Bansos Covid-19

JURNALISME WARGA

Perempuan Kepala Keluarga di Banda Aceh Sulit Mengakses Bansos Covid-19

Oleh Irma Sari

 

BANDA ACEH, KEMITRAAN – Sebagai pencari nafkah dan pengelola rumah tangga, perempuan kepala keluarga di Kota Banda Aceh sangat terdampak pandemi Covid-19. Namun, mereka kesulitan mengakses bantuan sosial Covid-19 yang merupakan program pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi di tengah pandemi.

“Saya perempuan kepala keluarga yang tidak mendapatkan akses bantuan sosial dari pemerintah. Bahkan, anak-anak kami yang yatim tidak mendapatkan bantuan juga,” sebut Rosdiana, warga Desa Batoh, Kota Banda Aceh, awal januari 2022. Rosdiana adalah seorang perempuan kepala keluarga yang bekerja sebagai pedagang online. Pendapatannya tidak bisa diprediksi tiap bulannya sehingga Rosdiana harus meminta bantuan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, tiga anaknya masih duduk di bangku sekolah menengah atas dan sekolah dasar.

Nova, perempuan kepala keluarga di Desa Punge, Kota Banda Aceh, mengatakan, di daerahnya hanya orang-orang dekat kepala desa yang mendapatkan bansos. “Saya mempertanyakan tentang bantuan sosial kepada keuchik (kepala desa), kenapa saya yang seorang janda tidak mendapatkan bansos apa pun dari pemerintah. Padahal, saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan mempunyai 2 orang anak,” sebutnya.

Nova yang juga pemimpin Aliansi Inong Aceh, organisasi yang fokus pada perempuan, juga melakukan advokasi langsung terkait hal itu. Akhirnya, Nova bisa mendapatkan Bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah desa yang langsung di transfer ke rekeningnya sejumlah Rp.300.000 mulai Januari sampai desember 2021.

Perempuan kepala keluarga lainnya di Desa Ateuk Pahlawan kota Banda Aceh, Maya Sari, juga merasa berat menghadapi pandemi Covid-19. Maya tiap bulan mendapatkan uang pensiun dari almarhum suaminya yang seorang pegawai negeri sipil (PNS) sejumlah Rp.1.000.000. Namun, dana itu belum cukup memenuhi kebutuhan satu orang anak perempuannya yang sekolah di sekolah Tahfiz di kota banda Aceh.

‘Saya sangat terdampak langsung dengan pendemi Covid-19 ini, akan tetapi saya tidak mendapatkan bantuan sosial (bansos) Covid dan bantuan-bantuan sosial lainnya dari pemerintah. Padahal, saat Pandemi Covid-19 saya harus ekstra menjaga kesehatan sehingga kebutuhan saya meningkat. Saya harus membeli handsanitizer, masker dan vitamin,” ujar Maya yang sudah 13 tahun menjadi kepala keluarga.

Di Desa Ateuk Pahlawan, Banda Aceh, data penerima bansos Covid-19 berasal dari pemerintah pusat. Bansos dibagi menjadi dua, yakni dari Kementerian Sosial dan bansos yang dialokasikan dari dana gampong (dana Desa).

“Bansos dari Kementerian (Sosial) sudah ada datanya, kita tidak bisa otak-atik lagi. Sedangkan bansos dari dana desa diperuntukkan kepada masyarakat yang terdampak Covid-19. Kita tidak melihat apakah kepala keluarga itu laki-laki atau perempuan” ujar Kepala Urusan Pelayanan di Kantor Keuchik Ateuk pahlawan Banda Aceh, Fitri.

Dalam wawancara singkat dengan Bapak Devi Riansyah, A.KS.M.Si, Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Aceh, pada tanggal 10 Januari 2022 di Banda Aceh,  Ia menjelaskan bahwa bantuan sosial disalurkan merata kepada seluruh masyarakat yang terdampak Covid-19. Masyarakat yang sudah mendapatkan bantuan sosial seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program keluarga Harapan (PKH), tidak akan mendapatkan bantuan sosial Covid-19 lagi. Ini dilakukan agar bantuan merata kepada seluruh masyarakat yang terdampak Covid-19. Namun, perempuan kepala keluarga belum ada kekhususan sebagai  penerima bansos.

Terkait dengan tidak meratanya bantuan sosial Covid-19 ini, Pemerintah seharusnya turun langsung ke lapangan untuk mengecek penyaluran bansos, terutama untuk warga terdampak, seperti perempuan kepala keluarga. “Bansos Covid-19 seharusnya bukan diberikan kepada orang yang dekat dengan aparatur desa. Pemerintah juga harus memprioritaskan perempuan kepala keluarga. Mereka rentan terdampak kemiskinan, apalagi saat pandemi,” tutur Nova.

Proyek Wastafel di Aceh Belum Optimal

JURNALISME WARGA

Proyek Wastafel di Aceh Belum Optimal

Oleh Irma Sari

 

BANDA ACEH, KEMITRAAN – Proyek pembangunan wastafel yang dicanangkan Dinas Pendidikan Provinsi Aceh belum berfungsi optimal. Wastafel tersebut tidak mengeluarkan air dan kerannya rusak. Padahal, publik membutuhkan sarana cuci tangan untuk mencegah penularan Covid-19.

Sejumlah wastafel yang tidak bisa digunakan dengan maksimal antara lain berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Bireun. Proyek tersebut bersumber dari dana otonomi khusus (otsus) Aceh tahun anggaran 2020 dengan total Rp.44.000.958.000,00.  Program wastafel itu terbagi atas 390 paket pengerjaan yang tersebar di berbagai sekolah.

Pengamatan penulis, wastafel di sekolah menegah atas (SMA) 1 dan SMA 3 Banda Aceh, Rabu (14/12/2021), banyak wastafel rusak dan airnya tidak mengalir. Bahkan, ada wastafel yang digunakan sebagai wadah bunga. Pihak sekolah pun belum bisa memanfaatkannya. Sekolah bahkan harus mengeluarkan biaya sendiri untuk membangun tempat cuci tangan.

“Wastafel yang di bangun dinas pendidikan ada di bagian depan dan bagian dalam sekolah, tetapi tidak bisa dipakai lagi. Airnya tidak keluar, banyak wastafel yang rusak. Kran-krannya juga pada rusak. Jadi, anak-anak sekolah memakai wastafel portabel yang dibangun sekolah,” sebut  seorang  guru di salah satu sekolah di kota Banda Aceh yang tidak mau disebutkan namanya

Kondisi serupa ditemukan di SMA 1 kabupaten Bireun. Wastafel tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan dengan baik, “Di sekolah kami wastafelnya dibangun seperti asal-asalan. Tidak semua wastafel bisa dimanfaatkan dengan baik. Hanya beberapa wastafel yang bisa digunakan untuk mencuci tangan” sebut  guru SMA tersebut.

Di lokasi lain, SMA 1 kecamatan Peusangan Kabupaten Bireun, wastafel seperti hanya hiasan saja, tidak dipakai untuk mencuci tangan. “Di SMA 1 Peusangan, tahun 2020 dibangun wastafel untuk cuci tangan, tetapi siswa kami tidak menggunakannya karena anak-anak disini tidak paham tentang Covid-19. Mereka acuh,  Jadi alat cuci tangan memang tidak terpakai,” ujar guru di SMA 1 Peusangan.

Padahal, wastafel merupakan salah satu sarana mencuci tangan untuk menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi. Dengan begitu, penularan Covid-19 dapat dicegah atau dikurangi.

Dalam pertemuan dengan Dinas pendidikan Aceh, dalam hal ini diwakili oleh bapak T. Fariyal. S.Sos Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Teknologi Komunikasi dan Informasi (UPTD Tekkomdik) Dinas Pendidikan Aceh. pada tanggal 8 Desember 2021, beliau mengatakan bahwa “proyek pembangunan tempat cuci tangan Westafel untuk sekolah-sekolah SMA di kabupaten/kota  sudah melalui perencanaan yang baik, tetapi soal proyek yang dibuat asal-asalan dan westafel tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan dengan baik itu bukan wewenang saya untuk menjawab karena saya bukan Kuasa Pemegang Anggaran (KPA) di dinas pendidikan”

Gerak Aceh, salah satu organisasi masyarakat sipil yang fokus untuk isu anti korupsi di Aceh, menemukan banyak wastafel sekolah yang dibangun oleh Dinas pendidikan Aceh tidak dapat digunakan karena dibangun tidak sesuai dengan standar. Temuan BPK-RI atas LHP No: 23.A/LHP/XVIII.BAC/05/2021 tertanggal 3 Mei 2021 tentang Laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah Aceh tahun anggaran 2020, juga patut diperhatikan. Proyek wastafel oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) Dinas Pendidikan Aceh tidak terlepas dari perubahan kebijakan pemerintah atas Perpres pengadaan barang dan jasa. Akibatnya, dari audit secara forensik maka  ditemukan kerugian keuangan negara sebesar Rp.6.000.000,00 per proyek, kemudian dikalikan dengan 390 paket pekerjaan maka ditemukan sebesar Rp.2.340.000.000,00  uang negara yang harus dikembalikan ke kas negara. kerugian tersebut berakibat tidak berfungsinya seluruh tempat cuci tangan di sejumlah sekolah di Provinsi Aceh

Kisah Pemulung Laut di Kendari yang Bertahan Hidup Tanpa Bantuan

JURNALISME WARGA

Kisah Pemulung Laut di Kendari yang Bertahan Hidup Tanpa Bantuan

Oleh Rijal Yunus

 

KENDARI, KEMITRAAN – Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah perempuan pemulung sampah plastik di laut berupaya sekuat tenaga agar tetap bertahan. Mereka hanya bertopang pada sampah untuk memenuhi kebutuhan harian. Sebab, meski triliunan bantuan disalurkan pemerintah, nama mereka tidak pernah masuk sebagai kelompok penerima.

Sebagai salah seorang peserta jurnalisme warga yang digagas Kemitraan, salah satu isu yang ingin saya angkat adalah timpangnya bantuan untuk masyarakat kecil. Setelah mencari informasi ke sejumlah pihak, saya menemukan adanya kelompok pemulung sampah plastik di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, yang tidak kunjung menerima bantuan.

Setelah menerima informasi ini, saya lalu mengatur jadwal untuk mengunjungi para pemulung laut ini. Mereka adalah pemulung sampah plastik di laut yang menyisir perairan dengan sampan. Mereka mendayung sampan dengan jarak rata-rata lima kilometer setiap hari untuk mengumpulkan sampah.

Pada pekan kedua Desember 2021, saya bertemu dengan Marniati (39). Ibu dua anak ini menetap di RT 11/RW 05, Kelurahan Petoaha, Kecamatan Abeli. Lingkungan ini berada di pesisir Teluk Kendari yang dihuni sebagian besar nelayan maupun mereka yang mencari penghidupaan dan beraktivitas di laut.

Saat tiba di kediamannya, Marniati tengah menyusun berkarung-karung sampah plastik yang telah dikumpulkan. Sampah berbagai jenis tersebut telah dipilah berdasarkan jenis dan ukuran. Plastik kemasan minuman, hingga kemasan oli telah dipisahkan.

Menurut Marniati, harga sampah plastik yang dipilah jauh lebih mahal dibanding tidak dipilah. “Kalau dipilah bisa sampai Rp 3.500 per kilogram. Kalau tidak dipilah, rata-rata Rp 2.000 per kilogram,” katanya.

Memulung sampah telah dilakukan perantau asal Sulawesi Selatan ini sejak 2008 lalu. Saat itu, kebutuhan hidup keluarganya sangat pas-pasan. Setelah berusaha mencari pekerjaan, ia merasa memulung sampah di laut adalah hal yang paling mungkin ia lakukan.

Sejak saat itu, ia mulai memulung sampah. Setiap pagi, sekitar pukul 06.00 Wita, ia mulai mendayung sampan bekas miliknya menuju muara teluk. Sampah yang ditemui diangku ke sampan. Ia baru mendayung pulang ketika tengah hari, atau saat sampah yang diangkut telah dirasa cukup. Sebotol air mineral dan sepotong roti menjadi bekal saat ia bekerja.

“Kadang cuma bawa air saja kalau tidak ada uang,” sambungnya.

Saat mencari sampah, sejumlah kendala dihadapi. Tidak jarang ia pulang dengan hasil yang sedikit, atau sampan yang terbalik. Ia harus berenang, membalik sampan, dan kembali mengumpulkan sampah yang berceceran.

Mengumpulkan sampah menjadi penghasilan utamanya. Suaminya, Juhanis (41), yang seorang nelayan, terkadang pulang tidak membawa hasil. Sementara itu, anak bungsunya, Israfil (8), masih bersekolah dan membutuhkan biaya. Anak sulungnya, Nurul Hikmah (17) baru saja menikah.

Terlebih lagi, di masa Covid-19 ini, penghasilan semakin sulit. Harga plastik di pengepul tidak menentu. Belum lagi saat Pembatasan yang pernah berlangsung di Kendari. Ia harus keluar sembunyi-sembunyi mencari ikan atau kerang di laut untuk dimakan.

“Mau bagaimana lagi, karena tidak ada bantuan sama sekali. Kalau kita tidak kumpulkan sampah, kita tidak makan,” katanya.

Seumur hidup, tutur Marniati, ia tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Di masa Covid-19, di mana berbagai bentuk bantuan disalurkan pemerintah, ia tidak juga masuk sebagai penerima bantuan. Padahal, tidak terhitung jumlahnya ia menyetor berkas untuk menjadi penerima bantuan.

“Kalau ditanya berkas yang saya setor, mungkin data saya sudah setinggi plafon di kantor sana,” katanya tersenyum miris. “Tiga hari lalu saya diminta isi formulis lagi, tapi saya bilang tikak usah lah. Sudah capek saya menunggu bantuan.”

Tidak hanya dirinya, sejumlah pemulung sampah di laut di wilayah ini juga bernasib sama. Sebagian dari mereka adalah warga lanjut usia, juga janda. Di umur yang tidak lagi muda, mereka juga mengalami sejumlah problema kesehatan. Mulai dari hipertensi, diabetes, hingga stroke.

Di awal Januari 2022, saya kembali mendatangi wilayah ini. Meski sebelumnya telah berbincang dengan beberapa pemulung, saya ingin melihat lebih dekat keseharian, sekaligus memverifikasi cerita mereka.

Hanafiah (60), perempuan yang telah menjanda puluhan tahun ini bercerita, saat kehabisan uang, ia mencari kerang atau gurita di teluk. Jika hasil cukup, sebagian hasil ia jual ke pengepul, dan sebagian lagi dibawa pulang untuk dimakan.

“Tadi pagi saya ambil ikan yang terapung di dekat pelelangan. Sudah mati tapi masih bagus, insangnya masih merah. Ada tiga ekor tadi, saya makan sama kemanakan dan cucu,” kata warga RT 10/ RW 04 ini.

Ia lalu mengajak ke bagian belakang rumahnya yang difungsikan sebagai dapur. Di atas kompor, hanya ada sebuah periuk nasi yang terisi setengah. Tidak ada lauk lagi untuk makan malam.

“Kami hanya siram air putih saja biar tidak terlalu kering. Mau bagaimana lagi, kami tidak dapat bantuan,” katanya.

Melihat kondisi para pemulung sampah plastik di Teluk Kendari ini tentu menjadi hal yang ironi. Sebab, pemerintah menggelontorkan Ratusan triliun untuk bantuan ke Masyarakat miskin, dan terdampak Covid-19. Berbagai jenis bantuan tidak ada satupun yang menyentuh mereka.

Sejak bertahun-tahun lalu, berbagai bantuan disalurkan pemerintah. Selain Program Keluarga Harapan (PKH), di masa Covid-19 ini ada program Bantuan Pangan non-Tunai (BPNT). Bantuan ini berupa uang elektronik sebesar Rp 200.000 yang ditukarkan dengan bahan pangan. Tidak hanya itu, juga ada program BPNT-PPKM berupa bantuan sembako untuk masyarakat miskin. Selama 2021, total ada Rp 110 triliun bantuan yang digelontorkan oleh pemerintah untuk masyarakat miskin, dan terdampak Covid-19.

Saya lalu menemui pemerintah lingkungan setempat untuk mencari tahu pokok permasalahan.

Ketua RW 04 Petoaha Syarifuddin mengatakan, di wilayahnya terdapat 80 keluarga dengan total 258 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 keluarga mendapatkan bantuan PKH, 14 keluarga mendapatkan BPNT, dan 17 keluarga pada bantuan BPNT-PPKM.

“Hampir semua pernah dapat bantuan. Karena setiap ada pengumuman akan ada bantuan, kami pasti minta semua KK warga. Apalagi di sini hampir semuanya adalah masyarakat berenghasilan rendah,” katanya.

Meski begitu, ia tidak mengetahui persis mengapa sejumlah pemulung laut di wilayahnya tidak juga mendapatkan bantuan berbagai jenis tersebut. Sejumlah hal bisa menjadi penyebab, salah satu yang utama adalah data yang tidak terverifikasi di pusat.

Menurut Syarifuddin, data setiap orang harus sinkron dari daerah hingga ke pusat. Data tersebut harus benar-benar sesuai, baik itu di Kartu Keluarga (KK), juga di Kartu Tanda Kependudukan (KTP). Data ini harus dicek di kantor pemerintah untuk mengetahui apakah telah valid dan terverifikasi.

“Masalahnya, kami juga tidak tahu yang mana yang valid dan yang tidak. Kalau sudah terima bantuan, pasti sudah valid. Makanya kami sampaikan ke warga yang belum terima bantuan, berkasnya di cek di kantor kelurahan atau kantor kecamatan,” kata Syarifuddin. “Kalau belum terima juga, memang belum rezeki. Yang jelas, tiap akan ada bantuan, kami minta semua berkas warga tanpa terkecuali,” imbuhnya.

Ketua RT 10, RW 04 Petoaha Zainuddin menyampaikan hal serupa. Setiap akan ada bantuan, ia langsung menemui semua warga untuk meminta berkas kependudukan, khususnya, Kartu Keluarga.

Tidak hanya itu, ia mengaku seringkali membantu masyarakat untuk menguruskan berkas jika ada yang merasa tidak mampu untuk mengurus. Pengurusan berkas untuk mengetahui apakah telah valid dan tervalidasi ke data pemerintah pusat.

“Khusus untuk bansos, semuanya dipermudah hingga ke kecamatan. Tapi kalau kami tidak diminta untuk membantu, kami juga tidak bisa langsung menguruskan datanya,” tambahnya.

Dari perbincangan ini, saya melihat adanya persoalan mendasar terkait pendataan masyarakat. Warga hingga pengurus lingkungan tidak mengetahui apakah data yang disetorkan telah valid dan terverifikasi hingga ke pusat.

Ditemui terpisah, Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kendari Ishak Bulo menyampaikan, semua bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah diperuntukkan kepada masyarakat miskin, atau mereka yang telah masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Bantuan ini menyasar mereka yang paling sulit secara ekonomi, terbatas secara akses, dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian.

“Baik itu PKH, hingga BPNT, semuanya untuk masyarakat kecil. Termasuk juga kelompok pemulung laut yang ada di pesisir Kendari,” kata Ishak. Jika selama ini mereka tidak mendapatkan bantuan, ia menduga data warga tersebut tidak tervalidasi hingga ke data pusat. Akibatnya, meski berkali-kali dimasukkan, nama warga tidak masuk sebagai penerima bantuan.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar warga atau perwakilan keluarga segera mengecek nama dan berkas ke kantor pemerintah. Hal itu untuk mengetahui apakah data semua warga yang ada dalam KK benar-benar valid dan terverifikasi hingga ke pusat.

Ketua Kelompok Perempuan Pesisir Mutmainnya menyampaikan, sejumlah permasalahan ditemukan terkait penyaluran bantuan sosial ke masyarakat miskin. Selama ini, banyak dari perempuan yang juga kepala keluarga tidak tersentuh bantuan bertahun-tahun lamanya. Mutmainnya aktif mengorganisir perempuan pekerja informal, pemulung, dan ibu rumah tangga di pesisir Kendari. Sebagian dari mereka adalah kepala keluarga, juga warga lanjut usia.

Berdasarkan penelusuran awal, sedikitnya ada 20 keluarga berpenghasilan rendah yang terkendala dalam menerima bantuan, khususnya di Kecamatan Abeli dan Nambo, Kendari. “Khusus untuk pemulung, data kami ada enam orang yang tidak mendapatkan bantuan sama sekali. Selebihnya adalah mereka yang juga belum mendapatkan bantuan, atau telah masuk dalam daftar tapi tidak bisa mencairkan,” katanya. “Tapi untuk mengurus berkas saja mereka kan sulit karena harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan harian. Seharusnya pemerintah mengecek nama yang tidak bisa terdata daring, dan segera menguruskan, khususnya kepada warga miskin yang sulit mengakses,” tambahnya.

Ia berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada masyarakat miskin agar tidak semakin terbebani kebutuhan dasar, terlebih di masa pandemi Covid-19.

Perempuan Pemulung Laut di Kendari Tak Tersentuh Bantuan

JURNALISME WARGA

Perempuan Pemulung Laut di Kendari Tak Tersentuh Bantuan

Oleh Rijal Yunus

 

Sejumlah perempuan pemulung laut di Kendari, Sulawesi Tenggara,tidak menjadi prioritas penerima bantuan yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin. Bahkan, di masa pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, mereka tidak mendapat bantuan sama sekali. Kondisi ini menyebabkan kehidupan semakin sulit di tengah permasalahan kesehatan dan berbagai beban rumah tangga.

Moming (65), warga RT 11/RW 05, Kelurahan Petoaha, Kendari, salah seorang pemulung laut menuturkan, dua tahun terakhir, ia dan keluarganya tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Selama ini, ia hanya mengandalkan penghasilan dari memulung, dan melaut suaminya.

“Tapi sebulan ini saya tidak pergi memulung. Kaki saya sakit,” kata ibu tujuh anak ini sembari memegang kaki kirinya, Kamis (9/12/2021). Kakinya tidak bisa tertekuk akibat penyakit stroke yang diderita.

Selama 14 tahun terakhir, Moming rutin ke laut mencari sampah plastik. Sebuah sampan sepanjang dua meter, dengan Lebar 0,5 meter, menjadi akomodasi utama mencari sampah. Sejak pagi, ia mendayung sampan menuju Teluk Kendari, bahkan hingga di muara teluk. Ia menyusuri tepian untuk mencari sampah terbawa arus.

Sampah itu dikumpulkan setiap hari, lalu dijual ketika dirasa cukup. Pengumpulan biasanya dalam rentang tiga hingga empat pekan. Dalam satu kali penjualan, ia rerata mendapat sekitar Rp 400.000. Uang tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, utamanya membeli makanan.

Pendapatan Ali (69) suaminya, bergantung cuaca dan musim. Sebagai nelayan kecil, mendapat satu hingga dua kilogram ikan di teluk sudah lumayan baik. Saat musim ombak tinggi, ia terpaksa tidak melaut.

Saat ia dan suaminya tidak melaut, lanjut Moming, ia bergantung ke anak dan menantunya yang tinggal serumah. Di kediaman Moming yang berdinding papan itu dihuni tujuh orang lainnya. Selain suami, anak dan menantunya, tiga orang cucunya menetap di rumah yang telah dihuni puluhan tahun.

“Saya pernah dapat Bantuan Langsung Tunai tahun 2018 lalu. Tapi habis itu tidak pernah dapat lagi,” katanya. Ia sangat berharap bisa ikut mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti warga lainnya. Bantuan itu bisa meringankan beban sehari-hari, utamanya untuk kebutuhan makan keluarga.

Pemulung lainnya, Hanafiah (60) menceritakan, ia rutin menyetor berkas saat diminta oleh pengurus lingkungan setempat. Meski begitu, janda yang tinggal seorang diri ini tidak kunjung menerima laporan adanya bantuan atas nama sendiri.

Selama ini, ia bertahan hidup mengandalkan sampah plastik di laut. Setiap hari ia rutin keluar mengayuh sampan mencari plastik di laut. Ia hanya berdiam di rumah saat sakit, atau ada urusan mendadak.

“Kalau tidak keluar kita tidak makan. Karena cuma dari situ yang kita harapkan,” katanya.

Jika musim ombak tinggi, tutur Hanafiah, ia turun ke laut di depan rumahnya untuk mencari kerang atau ikan. Sebagian hasil yang diperoleh dijual, dan setengahnya lagi dibawa pulang untuk dimakan.

Meski belum mendapatkan bantuan, ia berusaha sabar dan berserah. Ia tidak pernah tahu apakah data yang telah dikumpulkan telah diverifikasi ke pemerintah pusat, dan tidak terkendala. Ia tidak tahu cara mengurus berkas dan terkendala biaya.

Marniati (39), koordinator Kelompok Pemulung Laut Petoaha mengungkapkan, dari 10 orang anggota, sedikitnya lima orang di antaranya tidak mendapat bantuan. Padahal, kondisi mereka sangat membutuhkan bantuan, terlebih di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Ibu dua anak ini menuturkan, pendataan untuk penerima bantuan rutin dilakukan. Permintaan untuk menyetor Kartu Keluarga (KK) untuk disetor ke pemerintah juga telah diikuti. Akan tetapi,  mereka tidak kunjung menerima bantuan.

“Mau bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan non-Tunai (BPNT), atau yang lain tidak ada sama sekali. Kami hanya dapat sekali-kali bantuan beras dari pembagian instansi-instansi,” katanya.

Menurut Marniati, ia tidak mengetahui di mana letak permasalahan sehingga ia dan rekan-rekannya tidak mendapatkan bantuan. Ia juga merasa malas untuk menanyakan permasalahan karena berbagai kendala.

“Pagi sampai siang kami cari sampah. Habis itu memasak untuk keluarga. Sore mengatur dan memilah sampah. Mana sempat kami pergi urus kartu-karut begitu,” ucapnya.

Untuk ke kantor kelurahan atau kecamatan, mereka harus mengeluarkan biaya. Sewa ojek, mengantre, biaya fotokopi, memerlukan biaya di atas Rp 50.000. padahal, nilai itu cukup untuk makan keluarga selama tiga hari.

Pendataan

Berbagai permasalahan di lapangan membuat masyarakat kecil yang paling bawah tidak menjadi prioritas penerima bantuan. Permasalahan itu mulai dari pendataan, data yang tidak sinkron, hingga informasi yang tidak disebarluaskan

Sujiatno (30), salah seorang petugas Puskesos Kelurahan Petoaha mengatakan, salah satu permasalahan yang paling sering ditemui adalah data warga tidak tervalidasi di kementerian. Padahal, data tersebut telah diinput dan disetor ke dinas terkait.

“Data semua warga itu harus di-online-kan agar terbaca di kementerian. Biasanya data tidak bisa valid kalau ada yang bermasalah di Kartu Keluarga,” ucapnya.

Permasalahan tersebut berupa data ganda, Nomor Induk Keluarga (NIK) yang berbeda di KK dan KTP, nama yang berbeda, atau KK yang belum diperbaharui. Semua hal ini harus segera diubah agar data bisa sinkron dan valid.

Di Kelurahan Petoaha, sambung Sujiatno, telah ada 7.100 data warga yang terinput dan dinyatakan sinkron hingga ke data pusat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 315 keluarga merupakan penerima bantuan baik itu PKH, BPNT, hingga yang terakhir adalah bantuan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Meski begitu, ia belum mengetahui berapa data pasti warga yang data kependudukannya masih bermasalah.

“Pihak kelurahan dan kecamatan sudah mengistruksikan agar warga segera mengurus data ke kantor setempat. Untuk warga yang mengurus keperluan bantuan sosial, dijamin akan diprioritaskan,” katanya.

Di satu sisi, ia paham kesulitan warga untuk mengurus administrasi ke kantor pemerintah. Selain butuh waktu, masyarakat harus meninggalkan pekerjaan harian yang menjadi pendapatan utama. Ia berusaha membantu jika ada yang meminta tolong untuk pengurusan.

“Tapi kerjaan saya bukan cuma itu. Harus input data semua warga secara manual. Apalagi bantuan ini banyak macamnya,” tutur Sujiatno.

Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kendari Ishak Bulo menyampaikan, semua bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah diperuntukkan kepada masyarakat miskin. Bantuan ini menyasar mereka yang paling sulit secara ekonomi, terbatas secara akses, dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian.

“Baik itu PKH, hingga BPNT, semuanya untuk Masyarakat kecil. Termasuk juga kelompok pemulung laut yang ada di pesisir Kendari,” kata Ishak.

Jika selama ini mereka tidak mendapatkan bantuan, ia menduga data warga tersebut tidak tervalidasi hingga ke data pusat. Akibatnya, meski berkali-kali dimasukkan, nama warga tidak masuk sebagai penerima bantuan.

Ia menyarankan agar warga segera mengecek data administrasi, untuk melihat apakah semua informasi yang dimasukkan telah sinkron satu dengan yang lainnya. “Kalau pun juga datanya benar, memang bisa saja belum rezeki juga. Ini Kan yang menentukan bukan kita, semuanya dari pusat,” ucapnya.

Ketua Kelompk Perempuan Pesisir Mutmainnya menyampaikan, sejumlah permasalahan ditemukan terkait penyaluran bantuan sosial ke masyarakat miskin. Selama ini, banyak dari perempuan yang juga kepala keluarga tidak tersentuh bantuan bertahun-tahun lamanya. Mutmainnya aktif mengorganisir perempuan pekerja informal, pemulung, dan ibu rumah tangga di pesisir Kendari. Sebagian dari mereka adalah kepala keluarga, juga warga lanjut usia.

Berdasarkan penelusuran awal, sedikitnya ada 20 keluarga dari organisasi yang terkendala dalam menerima bantuan. “Sejauh ini, ada enam orang pemulung yang tidak mendapatkan bantuan, atau telah masuk dalam daftar tapi tidak bisa mencairkan,” katanya.

Oleh karena itu, saat ini ia sedang mengumpulkan data dan permasalahan yang dihadapi para masyarakat kecil yang tidak kunjung menerima bantuan. Ia berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada masyarakat miskin agar tidak semakin terbebani kebutuhan dasar, terlebih di masa pandemi Covid-19.

Berulang Didata, Bansos Tak Kunjung Tiba

JURNALISME WARGA

Berulang Didata, Bansos Tak Kunjung Tiba

Oleh Rijal Yunus

Bertahun-tahun didata dan menyerahkan berkas kependudukan, sejumlah pemulung sampah plastik di Teluk Kendari tidak kunjung mendapat bantuan. Hidup mereka bertopang pada sampah, meski beraneka rupa bantuan sosial bernilai triliunan digelontorkan pemerintah. Pandemi Covid-19 membuat kehidupan mereka semakin muram.

Menjelang senja, Minggu (2/1/2022), Marniati (39) baru saja tuntas menyelesaikan pekerjaan di dapur. Secangkir kopi ia sajikan ke depan Juhanis (41) suaminya yang baru seminggu pulang melaut.

Di ruang tamunya anak-anak riuh bermain. Ruang tamu berukuran 4×2 meter itu sangat minimalis, tanpa meja dan kursi. Kumpulan sampah plastik masih tersisa di sudut ruangan. Ibu dua anak ini keluar ke halaman, mengecek sejumlah karung yang disenderkan ke pagar kayu. Karung tersebut berisi plastik beraneka rupa yang dikumpulkan beberapa waktu lalu.

“Tinggal ini yang tersisa. Sebagian sudah dijual dua minggu lalu,” katanya, di RT 11 RW 05, Kelurahan Petoaha, Kendari, Sulawesi Tenggara. Berjarak tiga meter dari pagar rumah Marniati, adalah bagian Teluk Kendari. Kawasan ini merupakan kawasan pesisir yang dihuni sebagian besar nelayan, pembuat perahu, hingga pemulung sampah di laut seperti dirinya.

Perantau asal Makassar, Sulawesi Selatan ini bercerita, dari hasil penjualan sampah plastiknya, ia mendapat Rp 700.000. Lebih dari 10 karung plastik minuman kemasan, hingga kemasan oli dijual ke pengepul. Nilai itu belum dikurangi biaya angkut, dan operasional. Jika dihitung bersih, ia mendapatkan Rp 500.000 untuk plastik yang dikumpulkan lebih dari satu bulan.

Penghasilan itu yang digunakan untuk kebutuhan harian, utamanya membeli beras, dan lauk pauk. Ia juga menyisihkan agar bisa membeli token listrik, hingga kebutuhan sekolah Israfil (8), anak bungsunya.

“Kemarin suami saya melaut sampai Sulawesi Tengah. Sebulan di sana, ikan tidak ada. Alhamdulillah ada yang dikasih ke saya Rp 200.000. Lumayan untuk bisa beli kebutuhan lainnya,” sambungnya.

Pendapatan suami yang tidak menentu, membuatnya harus bekerja ekstra. Memulung sampah plastik di lautan adalah hal yang paling mudah ia lakukan. Sebab, ia tidak memiliki ijazah, keterampilan, dan modal untuk berusaha.

Meski sering sesak, dan batuk darah, ia rutin turun ke laut mencari sampah plastik. Penyakit menahun yang diderita tidak membuatnya surut. Sesekali ke puskesmas, ia hanya diberi obat penurun tekanan darah.

“Kalau tidak cari sampah, kita tidak makan. Sambil cari sampah, kadang saya singgah di dekat muara sana, ambil daun ubi untuk sayur,” tuturnya. “Mau bagaimana lagi, kita tidak pernah dapat bantuan pemerintah. Sama sekali tidak ada.”

Padahal, telah bertahun-tahun ia rutin menyetorkan berkas kependudukan ke pemerintah setempat. Data Kartu Keluarga (KK), dan Kartu Tanda Kependudukan (KTP), ia perbanyak untuk disetor saat diminta.

Akan tetapi, berkali diminta, namanya tidak kunjung menjadi penerima bantuan. Ia tidak tahu apa yang menghambat sehingga ia tidak masuk dalam daftar penerima. Untuk mengecek ke kantor Kelurahan atau kecamatan, ia berpikir berkali-kali. Sebab, waktunya lebih banyak di laut mencari sampah.

Belum lagi biaya ojek, dan ketidaktahuan untuk mengurus berkas. “Kalau ditanya berkas yang saya setor, mungkin data saya sudah setinggi plafon di kantor sana,” katanya tersenyum miris. “Tiga hari lalu saya diminta isi formulis lagi, tapi saya bilang tikak usah lah. Sudah capek saya menunggu bantuan.”

Tidak hanya Marniati, sejumlah perempuan pemulung lainnya bernasib serupa. Mereka berulang menyetor berkas kependudukan, namun tidak pernah sekalipun mereka menerima bantuan pemerintah.

Padahal, berbagai bantuan disalurkan pemerintah bertahun-tahun lalu. Selain Program Keluarga Harapan (PKH), di masa Covid-19 ini ada program Bantuan Pangan non-Tunai (BPNT). Bantuan ini berupa uang elektronik sebesar Rp 200.000 yang ditukarkan dengan bahan pangan. Tidak hanya itu, juga ada program BPNT-PPKM berupa bantuan sembako untuk masyarakat miskin.

Hafiana (53), pemulung laut lainnya menyampaikan, meski berkali-kali menyetorkan berkas, ia juga tidak kunjung mendapatkan bantuan. Ia mengenang, terakhir kali mendapat bantuan saat sebelum reformasi.

“Tahun kemarin itu ada bedah rumah. Tapi kalau bantuan sembako, atau yang bulanan, tidak pernah sama sekali. Dikira kami Sudah kaya mungkin, jadi tidak dimasukkan sebagai penerima,” katanya, tertawa miris.

Setiap hari, janda lima anak ini rutin turun ke laut. Ia terbiasa keluar mencari sampah plastik sejak matahari belum tinggi, hingga tengah hari. Pada Minggu pagi, ia mendapatkan satu karung plastik setelah memulung sekitar lima jam.

Bermodal sebilah dayung, dan topi jerami, ia mendayung sampan menyusuri teluk. Salah satu lokasi utama pencarian plastik di sekitar muara. Jarak kediamannya dengan muara lebih dari tiga kilometer.

Ia mendayung sampan sembari menghindari kapal-kapal yang hilir mudik. Tidak terhitung ia terjatuh dari sampan saat ombak dari kapal menghantam. Seringkali juga sampannya terbalik, sehingga plastik hasil memulung terhambur.

“Kalau sudah begitu, kita berenang terus, kasi balik sampan. Baru kumpulkan lagi sampahnya,” tambahnya.

Berjuang mengumpulkan sampah harus terus ia lakukan. Sebab, jika tidak mengumpulkan sampah, kebutuhan harian akan sulit. Kebutuhan makan, dan rumah tangga bergantung pada banyaknya temuan sampah plastik.

Sedikitnya, ada lima orang pemulung sampah di laut yang tidak mendapatkan bantuan jenis apapun di wilayah ini. Mereka telah berulang kali didata, namun tidak jua mendapatkan bantuan yang didambakan.

Ketua Kelompk Perempuan Pesisir Mutmainnya menyampaikan, sejumlah permasalahan ditemukan terkait penyaluran bantuan sosial ke masyarakat miskin. Selama ini, banyak dari perempuan yang juga kepala keluarga tidak tersentuh bantuan bertahun-tahun lamanya. Mutmainnya aktif mengorganisir perempuan pekerja informal, pemulung, dan ibu rumah tangga di pesisir Kendari. Sebagian dari mereka adalah kepala keluarga, juga warga lanjut usia.

Berdasarkan penelusuran awal, sedikitnya ada 20 keluarga dari organisasi yang terkendala dalam menerima bantuan. “Sejauh ini, ada enam orang pemulung yang tidak mendapatkan bantuan, atau telah masuk dalam daftar tapi tidak bisa mencairkan,” katanya.

Oleh karena itu, saat ini ia sedang mengumpulkan data dan permasalahan yang dihadapi para masyarakat kecil yang tidak kunjung menerima bantuan. Ia berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada masyarakat miskin agar tidak semakin terbebani kebutuhan dasar, terlebih di masa pandemi Covid-19.

Ketua RW 04 Petoaha Syarifuddin mengatakan, di wilayahnya terdapat 80 keluarga dengan total 258 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 keluarga mendapatkan bantuan PKH, 14 keluarga mendapatkan BPNT, dan 17 keluarga pada bantuan BPNT-PPKM.

“Hampir semua pernah dapat bantuan. Karena setiap ada pengumuman akan ada bantuan, kami pasti minta semua KK warga. Apalagi di sini hampir semuanya adalah masyarakat berenghasilan rendah,” katanya.

Meski begitu, ia tidak mengetahui persis mengapa sejumlah pemulung laut di wilayahnya tidak juga mendapatkan bantuan berbagai jenis tersebut. Sejumlah hal bisa menjadi penyebab, salah satu yang utama adalah data yang tidak terverifikasi di pusat.

Menurut Syarifuddin, data setiap orang harus sinkron dari daerah hingga ke pusat. Data tersebut harus benar-benar sesuai, baik itu di Kartu Keluarga (KK), juga di Kartu Tanda Kependudukan (KTP). Data ini harus dicek di kantor pemerintah untuk mengetahui apakah telah valid dan terverifikasi.

“Masalahnya, kami juga tidak tahu yang mana yang valid dan yang tidak. Kalau sudah terima bantuan, pasti sudah valid. Makanya kami sampaikan ke warga yang belum terima bantuan, berkasnya di cek di kantor kelurahan atau kantor kecamatan,” kata Syarifuddin.

Sejumlah orang, ia melanjutkan, telah mengurus berkas pribadi secara mandiri. Jika merasa sulit untuk mengurus, ada warga yang siap membantu untuk mengurus berkas tersebut.

“Kalau belum terima juga, memang belum rezeki. Yang jelas, tiap akan ada bantuan, kami minta semua berkas warga tanpa terkecuali,” imbuhnya.

Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kendari Ishak Bulo menyampaikan, semua bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah diperuntukkan kepada masyarakat miskin. Bantuan ini menyasar mereka yang paling sulit secara ekonomi, terbatas secara akses, dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian.

“Baik itu PKH, hingga BPNT, semuanya untuk Masyarakat kecil. Termasuk juga kelompok pemulung laut yang ada di pesisir Kendari,” kata Ishak.

Jika selama ini mereka tidak mendapatkan bantuan, ia menduga data warga tersebut tidak tervalidasi hingga ke data pusat. Akibatnya, meski berkali-kali dimasukkan, nama warga tidak masuk sebagai penerima bantuan